Istilah ini kerap muncul dari sejumlah pegiat halal, khususnya dari perguruan tinggi.
Wartapilihan.com, Jakarta –Sejak beberapa pekan terakhir, istilah halal like dan layak halal kembali mengemuka di ranah publik. Sebelumnya, kedua istilah itu juga kerap muncul dari sejumlah pegiat halal, khususnya dari perguruan tinggi. Apakah layak halal dan halal like ini berarti sudah halal, atau setengah halal?
Divisi Informasi Lembaga Pengkajian, Penelitian Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Farid kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com) menjelaskan, gerakan memperkenalkan Halal Like atau Layak Halal pada awalnya ditujukan untuk mengedukasi kalangan dunia usaha, utamanya pelaku usaha kecil menengah agar sadar halal. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata terdapat kesalahan persepsi dan terkesan seolah-olah Layak Halal sama dengan sertifikat halal.
“Istilah Halal Like dan atau Layak Halal, tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, maka langkah tesebut justru kontra produktif dengan gerakan sosialisasi halal selama ini,” ujar Farid.
Selain itu, dia menilai, hal tersebut bertentangan dengan semangat Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mensyaratkan bahwa produk yang beredar di Indonesia haruslah bersertifikat halal, dan produk yang nyata-nyata tidak halal, harus pula dinyatakan Haram.
“Oleh karena itu, istilah Halal Like atau Layak Halal dapat menimbulkan konotasi bahwa makanan atau minuman yang dinyatakan layak halal adalah makanan yang layak dikonsumsi sebagai makanan atau minuman yang telah halal,” terangnya.
Pandangan tersebut, lanjut Farid, tidaklah tepat dan dapat menyesatkan masyarakat, baik produsen maupun konsumen. Sebab, untuk menyatakan sebuah produk telah memenuhi standar halal sesuai syariat Islam, diperlukan penelitian dari sisi ilmiah dan kajian syariah. Keduanya harus dilaksanakan secara komprehensif.
“Pelaksanaan pemeriksaan kehalalan dengan dua pendekatan, yakni aspek scientific dan aspek syariah, harus dijalankan secara terpadu dalam menetapkan kehalalan suatu produk, mengingat kedua instumen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Produk yang secara scientific, (melalui penelitian laboratorium) tidak terdeteksi adanya bahan haram, namun secara syariah ternyata tidak memenuhi kaidah halal,” papar Farid.
Sebagai contoh, jelas Farid, daging sapi atau domba. Jika hanya dilakukan pemeriksaan secara ilmiah melalui laboratorium tentu saja tidak terdeteksi adanya kandungan haram pada daging tersebut. Namun, jika sapi atau domba tersebut tidak disembelih menurut syariat Islam, maka hukumnya haram.
“Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan kebingungan masyarakat, kami mengimbau kepada semua pihak untuk tidak lagi menggunakan istilah Halal Like, Layak Halal atau sejenisnya, karena akan menimbulkan keresahan masyarakat dan mengacaukan prosedur sertifikasi halal yang selama ini telah dipercaya dan diakui masyarakat dan dunia internasional,” saran dia.
Ahmad Zuhdi