Kuantitas Tanpa Kualitas: Menguak Arah Sertifikasi Halal Indonesia

by

Di tengah semaraknya Indonesia International Halal Festival (IIHF) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di JCC Jakarta pada 20-22 Juni, sebuah laporan mengejutkan datang dari Kepala BPJPH, Babe Haikal. Ia melaporkan bahwa jumlah produk bersertifikat halal di Indonesia telah mencapai 6 juta produk. Angka ini tentu membanggakan, mengingat Indonesia telah mencatatkan diri sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan sertifikasi halal tercepat di dunia dalam beberapa tahun terakhir.

Wartapilihan.com,Jakarta– Namun, di balik capaian kuantitatif yang mengesankan ini, muncul sebuah pertanyaan mendasar yang patut direnungkan: apakah lonjakan jumlah produk bersertifikat halal benar-benar mencerminkan peningkatan kualitas jaminan halal, ataukah hanya sekadar pemenuhan target administratif?

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) merupakan langkah maju yang patut diapresiasi. Regulasi ini memberikan kerangka hukum yang kuat untuk melindungi konsumen Muslim di Indonesia, yang merupakan mayoritas penduduk4. Namun, implementasi UU JPH melalui BPJPH masih menyisakan pekerjaan rumah, terutama dalam hal konsistensi terhadap standar halal yang substansial.

Ketika Sertifikat Menjadi Sekadar Formalitas

Dalam praktiknya, sertifikasi halal saat ini cenderung dikejar sebagai target kuantitatif. Program seperti sertifikasi self-declare bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) memang membuka akses yang lebih luas. Namun, program ini tak luput dari kritik. Minimnya pengawasan terhadap klaim kehalalan, lemahnya proses audit, dan kurangnya literasi pelaku usaha mengenai sistem jaminan produk halal yang benar menjadi sorotan utama.

Tanpa mekanisme validasi dan pembinaan yang memadai, sertifikasi halal berisiko menjadi sekadar label administratif. Jika kondisi ini terus dibiarkan, citra halal Indonesia di mata dunia berpotensi rusak. Dampaknya tidak hanya mengganggu kepercayaan konsumen domestik, tetapi juga dapat menghambat peluang ekspor ke negara-negara dengan standar halal ketat seperti Uni Emirat Arab, Malaysia, atau Uni Eropa.

Terpinggirkannya Peran Ulama dan Standar MUI

UU JPH secara eksplisit menegaskan bahwa fatwa halal adalah kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, dalam implementasi di lapangan, banyak pelaku industri dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) mengeluhkan bahwa proses teknis dan kebijakan BPJPH tidak sepenuhnya mengacu, bahkan cenderung mengabaikan, standar halal MUI yang selama ini menjadi rujukan nasional dan internasional.

Peran ulama tidak boleh direduksi hanya sebagai penandatangan fatwa setelah proses audit selesai. Halal bukan semata urusan administratif, melainkan menyangkut nilai, akidah, dan maqashid syariah. Penetapan standar halal oleh pihak administratif tanpa penguatan di sisi syar’i akan menimbulkan fragmentasi kepercayaan publik.

Minimnya Harmonisasi dengan Standar Halal Global

Ambisi Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia seringkali digaungkan. Namun, ironisnya, standar halal Indonesia saat ini belum sepenuhnya diakui atau harmonis dengan standar internasional seperti SMIIC (OIC), GSO (Gulf), MS1500 (Malaysia), atau Codex. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya integrasi sistem halal nasional dengan kebutuhan global, seperti traceability (ketertelusuran), HACCP berbasis halal, hingga standardisasi logistik dan distribusi halal.

Tanpa harmonisasi ini, sertifikat halal Indonesia akan sulit diterima di pasar global20. Ini menjadi penghalang besar bagi ekspor produk halal Indonesia, sekaligus menjauhkan negara ini dari ambisi besar sebagai global halal hub.

Reformasi Strategis: Mengembalikan Esensi Sertifikasi Halal

Sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini BPJPH, menggeser paradigma dari “administratif halal” menuju “substantif halal”. Beberapa langkah strategis yang perlu diambil secara serius antara lain:

  • Menguatkan sinergi dengan MUI dan LPH, berlandaskan kepercayaan bukan kompetisi atau dominasi.
  • Menjadikan standar halal MUI sebagai rujukan teknis utama, termasuk dalam pengawasan proses audit, pelatihan SDM, dan sertifikasi produk.
  • Menjamin kualitas program self-declare dengan pembinaan, audit acak, dan sistem digital yang kuat serta transparan.
  • Mengadopsi standar halal internasional dan menjalin kerja sama bilateral demi pengakuan sertifikasi Indonesia secara global.
  • Menumbuhkan kesadaran publik dan industri bahwa halal bukan sekadar stempel, tetapi sistem nilai yang mengikat.

Penutup

Sertifikasi halal adalah instrumen krusial untuk melindungi umat dan meningkatkan daya saing industri nasional. Namun, jika hanya menjadi sekadar angka atau target politis, kita berisiko merusak esensi halal itu sendiri. Indonesia memiliki sumber daya melimpah: populasi Muslim terbesar di dunia, ulama yang kompeten, dan jaringan lembaga halal yang kuat. Yang dibutuhkan saat ini adalah kerendahan hati untuk berbenah, bersinergi, dan meneguhkan kembali halal sebagai nilai, bukan sekadar formalitas. (Abuhar)