Komnas HAM Bicara Soal Persekusi

by

Istilah persekusi sedang ramai digunakan oleh aparat penegak hukum. Walaupun sudah masuk dalam KBBI, istilah ini masih debatable.

Wartapilihan.com, Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencermati perkembangan terakhir terkait dengan tindakan berupa perburuan dan berbagai tindakan sewenang-wenang oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain (persekusi), serta terkait dengan pelaksanaan kebebasan berekspresi khususnya di media sosial.

“Kita semua memahami bahwa kebebasan berekspresi tidak bersifat tak terbatas. Kebebasan berekspresi dapat dibatasi oleh negara berdasar undang-undang atas dasar klausul pembatas “menghormati hak atau nama baik orang lain; melindungi keamanan nasional; atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat” sesuai dengan asas proporsionalitas dan asas nesesitas dalam negara yang demokratis,” kata Nur Kholis, Ketua Komnas HAM saat konferensi pers di Gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa (6/6).

Artinya, lanjut Nur Kholis, lndonesia telah membatasi kebebasan berekspresi berdasarkan butir di atas dalam UU antara lain, KUHP dan UU IT. Oleh karena itu, Komnas HAM mengutuk keras karena melanggar setidaknya hak atas kemerdekaan berpendapat atau pun hak atas kemananan diri serta melanggar prinsip negara hukum.

“Tindakan tersebut di atas dapat dikualifikasi sebagai perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas tersebut yang dalam hukum internasional disebut sebagai persekusi,” sambung Nur Kholis.

Selain itu, Komnas HAM menyerukan aparat negara khususnya Polri untuk sigap dan tegas dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelakunya dengan menggunakan instrumen hukum yang ada dalam hukum lndonesia. Komnas HAM menghargai upaya Polri untuk beberapa kasus yang terjadi serta mendukung Polri lebih sigap terhadap kasus-kasus lain.

“Kami menghimbau ada koordinasi antara Polri dan LPSK dalam hal perlindungan target maupun yang telah menjadi korban. Kami juga menghimbau Polri dapat mengambii tindakan proaktif demi melindungi para target maupun korban tersebut,” ungkapnya.

Terakhir, Komnas HAM menyerukan kepada masyarakat untuk menempuh jalur hukum dan tidak melakukan tindakan main hakim sendiri jika terdapat dugaan penghinaan terhadap seseorang atau kelompok.

“Kami menghargai dan mendukung upaya pemerintah mengambil tindakan terhadap akun media sosial yang terlibat dalam persekusi ini, guna mendorong upaya bersama menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia,” pungkasnya.

Senada dengannya, Imdadun Rahmat menuturkan, persekusi disebutkan Statuta Roma sebagai perbuatan pidana jika dilakukan secara sistematis. Polisi bisa menggunakan beberapa pasal berlapis, jika tidak sistematis hanya menggunakan pasal hukum pidana biasa.

“Akan jadi indikasi pelanggaran HAM berat apabila ada unsur meluasnya atau sistematis. Jika tidak, kembali ke ordinary crime dan itu otoritasnya Kepolisian, kalau hukum pidana biasa maka acuannya KUHP dan ini ranahnya polisi. Tugas kami memastikan polisi bekerja sesuai prosesur, tidak ada upaya mengada-ngada, sesuai saja dengan keharusan yang ada,” kata Imdadun

Imdadun melihat, apabila ditarik ke KUHP, persekusi ada irisannya dengan pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan. Kemudian pasal 170 pengrusakan, kekerasan orang dan barang.

“Dalam persekusi ada elemen identitas. Identitas bisa macam-macam termasuk pandangan politik. Kedua perampasan, kekerasan sampai mengintimidasi seseorang. Paramater sistematis, di dalam hukum pidana undang-undang pasal 26 diterjemahkan penganiayaan padahal berbeda,” tandasnya.

Satya Wira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *