Komisi IV DPR Apresiasi Satgas Pangan

by

Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron memberi apresiasi atas penegakan hukum di bidang pangan, sesuai UU Pangan 18 Tahun 2012.

Wartapilihan.com, Jakarta —“Terkait dengan kasus PT IBU yang merupakan anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera, yang kami ketahui adalah perusahaan di bidang perberasan yang kemampuan/kapasitas produksinya bisa mencapai 1 jt ton, ini merupakan perusahaan swasta terbesar setelah Perum Bulog yang memiliki kapasitas gudang 4 jt ton,” kata Herman di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (24/7).

Artinya, lanjut Herman, dugaan beras tersebut bersubsidi, ada 2 kemungkinan, bahwa beras tersebut alokasi Rastra atau Raskrin yang setiap tahun dialokasikan untuk keluarga miskin, kelas beras medium, dan disalurkan secara tetutup oleh Bulog dan Pemerintah Daerah. Atau beras subsidi yang dimaksud adalah bantuan terhadap petani dalam bentuk subsidi pupuk, benih, dan bantuan produksi lainnya.

“Kalau raskin atau rastra sudah ada peraturannya, sehingga kalau disalahgunakan tentu melanggar hukum. Tetapi jika yang dimaksud adalah petani yang mendapat subsidi produksi, maka belum ada aturan atas hasil produksinya, termasuk harus di jual kesiapa dengan ketetapan harga tertentu, karena belum ada aturannya, kecuali ada inpres 5 tahun 2015 yang mengatur HPP (Harga Pembelian Pemerintah),” terang Herman.

Saat ini HPP menjadi harga patokan pembelian pemerintah kepada petani atau pelaku usaha melalui pengadaan Bulog, dan aturan HET (Harga Eceran Teringgi) yang baru saja diberlakukan oleh pemerintah. Jika yang dimaksud adalah beras hasil petani yang disubsidi atau yang mendapat bantuan saprotan dan saprodi, belum ada peraturan yang mengikat terhadap hilirnya.

“Subsidi dan berbagai bantuan saprotan dan saprodi dimaksudkan agar usaha petani lebih kompetitif, produktif dan petani mendapatkan benefit. Dengan penguasaan lahan pangan yang sempit dipastikan usaha petani kurang ekonomis, sehingga harus dibantu dan diringankan biaya peroduksinya. Itulah pentingnya subsidi dan bantuan tersebut bagi petani,” ungkapnya.

Selain itu, Wakil Ketua Komisi IV tersebut mempertanyakan dihapusnya Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian di Kementrian Pertanian, karena tidak ada yang urus di hilrinya petani. Herman berharap, petani jangan dijadikan mesin produksi, tetapi harus menjadi subyek penyedia pangan dan terlibat sampai kepada procesing hasil produksinya, bahkan sampai ke pasar, sehingga benefit nya dapat dirasakan petani.

Secara terpisah, Ketua Umum APT2PHI (Asisiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia) Rahman Sabon Nama menuturkan, oplos beras sudah dilakukan semua pedagang grosir di Pasar Induk Cipinang PIK dari jaman Orba hingga saat ini.

“Perlu ada peraturan boleh tidak beras premium impor dioplos dengan beras lokal petani dalam negeri. Oleh karena ini dilakukan oleh semua pedagang grosir mereka membeli beras premium impor Bulog bukan beras subsidi (sebagaimana pemberitaan) dioplos dengan beras lokal petani dalam negeri,” ujar Rahman.

Menurutnya, motif pemberitaan ini perlu dipertanyakan karena membuat para pedagang ketakutan dituduh melakukan tindak pidana pengoplosan beras. Tindakan satgas pangan menurut dia tidak etis, polisi bicara beras dan pangan dengan bertindak sebagai wasit dan pemain membuat keadaan pasar semakin tidak terkendali bukan semakin baik ini harus ditertibkan.

“Satgas pangan bertindak konyol dan ini kesalahan terletak pada pemerintah, tidak jelas siapa berhak bicara masalah pangan semakin amburadul polisi bicara beras dan pangan dan juga bertindak ganda sebagai wasit dan pemain,” ungkapnya.

Gencarnya pemberitaan kasus ini, ia khawatir akan menimbulkan inflasi tinggi dari harga bahan kebutuhan pokok pangan khusus beras karena pedagang pangan antar pulau takut menjual beras oplos dituduh berbuat pidana oleh penegak hukum.

“Padahal melakukan pengoplosan beras menurut saya boleh saja dengan prosentase tertentu untuk menambah aroma dan rasa jadi bukan menipu. Yang tidak boleh adalah manipulasi harga mahal dengan kualitas beras medium menjadi kwalitas premium, itu yang tidak boleh,” ucapnya.

Sebab, yang jadi korban adalah rakyat sebagai konsumen dan petani produsen dijadikan obyek konsumsi pemberitaan dengan kehidupannya semakin termarjinalkan.

“Oleh karena itu hentikan viral pemberitaan terkait kasus ini dan segera proses kasusnya ke pengadilan, jangan jadi panggung politik karena akan membuat kepanikan pasar,” tutupnya. II

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *