Budaya korupsi menjadi warisan lemahnya sistem pengawasan dan tantangan besar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Wartapilihan.com, Jakarta –Kemenangan praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus e-KTP menjadi sorotan dan pernyataan publik. Pasalnya, Ketua Umum Partai Golkar itu telah beberapa kali lolos dari perkara yang menjeratnya. Diantaranya Cessie Bank Bali (1999), beras Vietnam (2003), limbah B3 (2006), proyek PON Riau (2012), Papa Minta Saham (2015), dan kampanye Donald Trump (2015).
Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah, menilai, Pansus Angket KPK sejak awal pengambilan keputusannya, tidak kuorum. Di sisi lain, kata dia, kinerja DPR sangat rendah sejak 2014-2015, ironis hanya 4 perundang-undangan saja dari 38 RUU. Meski demikian, 6 perundang-undangan selesai dibahas, dari 50an yang direncanakan. Hal itu menunjukan rakyat semakin hilang harapan, ditambah lagi ada 12an kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR.
“Betul bahwa wilayah pimpinan DPR adalah wilayah pimpinan partai. Namun jika terus seperti ini, harusnya partai Golkar melakukan evaluasi, kepercayaan semakin menurun, implikasi dalam pemilu 2019. Prilaku politisi pemilu hanya menjadikan kendaraan untuk bersenang-senang, bancakan untuk mereka,” kata Syam dalam diskusi ‘KPK VS Setnov; Membuka Kotak Pandora’ di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (10/10).
Senada hal itu, Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho, menambahkan dua hal. Pertama, bicara soal kinerja, yang paling buruk adalah DPR. Target menyelesaikan UU, tidak mencapai 10 persen. Kedua, publik melihat DPR sebagai institusi yang dianggap melemahkan KPK. Hal ini, jelasnya, tidak bisa dilepaskan dari ketuanya sendiri yang tersandung perkara korupsi.
“Publik membaca bahwa prosesnya dianggap ilegal. Kita lihat, kesan yang muncul mendeligitimasi KPK. KPK kerja dianggap tidak benar. Di sini, DPR mempersoalkan institusi lain, padahal institusi sendiri enggak becus-becus banget,” ujarnya.
Selain itu, dia menilai ada upaya penghindaran yang legal melalui praperadilan. Jalurnya dibuka oleh MK. Kedua, dengan sakit. Emerson meminta Dewan Kehormatan IDI bisa melakukan pemeriksaan. Sebab, hal itu berdampak pada keraguan publik. Selama ini, ujar dia, ICW mengamati ada upaya-upaya tertentu mengulur waktu. Misalnya OC Kaligis, Udar Pristono, yang lupa bawa kursi roda. Ada 3 kasus yang tampaknya ada penyelidikan.
“Saya membacanya begini, jadi ketika ada proses hukum e-ktp berjalan. Jawabannya dari saksi dan lain-lain seragam, serahkan pada hakim, bukan pada proses hukum. Pihak-pihak sebelah sana bisa jadi sedang mendekati hakim. Walaupun lagi-lagi tadi, koruptor juga licin, belut masuk oli, atau belut masuk mentega. Upaya merekayasa. Ada politisi yang dijerat, karena menghalangi proses penyelidikan,” tuturnya.
Oleh karena itu, pasca Setnov menang di sidang Pra Peradilan, dia menyarankan KPK bikin sprindik baru. Praperadilan hanya memutuskan sah tidaknya keputusan tersangka, bukan yang lain. Jika KPK punya bukti kuat, KPK segera bikin sprindik baru, langsung tahan. Agar keadilan yang memutuskan bersalah atau tidaknya.
“Ini istilahnya, ada banyak jalan menuju roma, banyak jalan bebas kasus E-KTP. Rekayasa, penghindaran legal adalah praperadilan. Jadi tidak menyebut aktor utama di kasus E-KTP. Masak sama belut, kalah he he he,” tukasnya berseloroh.
Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan Etik IDI Priyo SidiPratomo menuturkan, KPK dapat menggunakan nota kerjasama antara IDI dengan lembaga antirasuah yang sudah disepakati sejak 2012. Adapun terkait pemeriksaan medis ulang, hal itu dapat diajukan oleh institusi pengadilan.
“Karena itu, KPK pergunakan saja apa yang sudah disepakati. Perjanjian kita dengan KPK, jika ada second opinion, maka yang harus dimenangkan adalah organisasi IDI. Jika ada second opinion,” ungkapnya.
Direktur MediaLink Mujtaba hamdi, menambahkan, kasus integritas dan komitmen masih artifisial. Yang dikedepankan hanya teknologi saja, misalnya e-ktp. Tetapi dengan kasus ini sifatnya permukaan. Integritas dan akuntabilitasnya tidak dapat dielakkan.
“Oleh karena itu, kasus Setnov hanya mengafirmasi bahwa indeks kita tidak ada perbaikan. Apalagi ada upaya pelemahan KPK. Ini pengaruhnya besar. Pengaruhnya adalah soal pelayanan publik. Ini terhubung ke banyak hal, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya,” tegasnya.
Menurutnya, apabila proyek seperti ini dicederai dan menjadi ajang bancakan, maka masyarakat akan memiliki kepercayaan rendah terhadap aplikasi elektronik yang lain.
“Kita ada 100 percontohan dengan smart city. Tahun ini diluncurkan 25 kabupaten/kota. Kalau kasus ini tidak diselesaikan, maka publik akan curiga. Saya ingin tegaskan lagi dampaknya bukan hanya ke Setnov, tetapi ke semua lembaga negara, partisipasi politik juga akan menurun,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi