Komunikasi saja tidak cukup untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Ada banyak sisi yang harus dipenuhi baik dari aspek spiritual, emosional, intelektual, material maupun manajerial, untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan.
Wartapilihan.com, Jakarta – “Komunikasi hanya salah satu unsur saja, yang harus ada. Namun mesti ditopang dengan berbagai unsur lainnya,” begitu tutur Cahayadi Takariawan, konsultan keluarga. Ia menjelaskan, suatu waktu John Gray, Ph.D yang merupakan pakar hubungan dan pernikahan sekaligus penulis buku Mars and Venus Together Forever menceritakan, pada beberapa seminar, ia bertanya kepada peserta, “Siapa yang memiliki orang tua yang masih bersatu dan tidak bercerai?”
Separuh peserta mengangkat tangannya. Kepada kelompok tersebut, ia bertanya lagi, “Siapa yang menganggap dirinya memiliki kecakapan hubungan dan komunikasi yang lebih baik dibandingkan orang tuanya?” Hampir setiap orang mengangkat tangannya.
Respons tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, “Jika memiliki kecakapan yang lebih baik, mengapa saat ini pasangan suami istri lebih banyak memiliki persoalan dalam hubungan? Mengapa begitu banyak terjadi perceraian?”
Ia juga menceritakan sepasang suami istri yang keduanya sama-sama sibuk. Sang suami adalah peneliti dan dosen di perguruan tinggi ternama, sedangkan Adi ialah seorang pengusaha yang sukses. Dunia keduanya berbeda, dan memiliki kesibukannya masing-masing.
Tak ada yang salah dari keduanya, mereka sering berkomunikasi, saling menghormati dan obrolan yang terkesan lancar di antara keduanya.
“Namun tidak ada yang menyangka bahwa sesungguhnya sang suami memendam kekecewaan yang sangat mendalam terhadap istri. Saking sibuknya sebagai pejabat struktural di kampus, dosen dan peneliti, sampai tidak memiliki waktu yang cukup untuk menemani suami. Bahkan akhir pekan pun sering tak ada waktu saking banyaknya tugas yang harus segera diselesaikan,” kata Cahayadi, berdasarkan laman pakcah.id, Selasa, (14/8/2018).
Sang istri sangat sering mengatakan “Don’t touch me,” ketika suami mengharapkan bisa berduaan dengan istri di malam Minggu. Lama kelamaan, suami memendam kekecewaan yang dalam. Sang istri tetap sibuk untuk menulis laporan yang harus dikumpulkan Senin besok.
“Terlalu sering ia mendengar kalimat “don’t touch me” dari sang istri. Setiap ada kesempatan liburan di rumah, suami selalu mengusahakan untuk bisa menikmati waktu bersama istri. Namun sangat jarang keinginan itu terlaksana. Yang lebih sering adalah, ia harus rela tidur atau ketiduran sendiri, karena menunggu Isti selesai menulis laporan,” tukasnya.
Melihat kasus tersebut, Cahayadi memaparkan, dalam bahasa Jawa, pasangan sering disebut sebagai “garwo”. Orang-orang tua zaman dulu mengajarkan, garwo adalah singkatan dari sigaraning nyowo, atau belahan jiwa.
“Ini adalah kondisi di mana suami dan istri saling merasakan kebersamaan yang kuat satu dengan yang lain, merasakan saling memiliki, saling mencintai, saling merasakan kehilangan saat tidak bisa berduaan,”
Menurut dia, inilah yang lebih esensial dibandingkan dengan kelancaran komunikasi. Suasana jiwa yang saling terikat satu dengan yang lainnya, membuat suami dan istri akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk pasangan.
“Suami dan istri yang sibuk dengan pekerjaan, profesi serta organisasi, harus bisa disiasati agar tidak membuat keringnya cinta kasih di antara mereka,” tegas penulis yang suka menulis tentang kiat-kiat berpasangan ini.
Kendati suami istri setiap hari terus berkomunikasi, namun dengan lemahnya keterikatan hati, menyebabkan mereka hanya berinteraksi sebagai teman tidur, teman makan, teman saat di rumah. Bukan sebagai belahan jiwa.
“Walau setiap hari selalu berkomunikasi, namun tidak disertai dengan suasana saling memiliki. Seperti komunikasi yang mekanis, rutin, menjalankan kewajiban layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Seperti robot. Seperti mesin. Mereka terus berkomunikasi, namun semata-mata menjalankan rutinitas kehidupan berumah tangga,” imbuh Cahayadi.
Dia menekankan, hal yang harus selalu dijaga dalam pernikahan adalah suasana belahan jiwa. Dimana akan merasa kehilangan pasangan saat tidak bisa berduaan dengannya. Perasaan kekosongan saat tidak bersama dirinya.
“Jadilah belahan jiwa, yang anda merasa tidak bisa hidup tanpanya. Jadilah kekasih yang dengannya anda merasakan kehidupan yang nyata. Dengannya anda mendapatkan makna. Dengannya anda meraih surge,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini