Masyarakat di Asmat rata-rata bercocok tanam dan mencari ikan di laut. Untuk menjala ikan mereka dapat menempuh ke sungai perbatasan antara Agats dengan Pulau Tiga, Timika.
Wartapilihan.com, Timika –Jam handphone menunjukan pukul 04.20 Waktu Indonesia Timur (WIT). Saya terbangun dari istirahat yang dimulai pukul 01.00 WIT. Pukul 04.30 WIT terdengar suara pengajian dari masjid yang tidak jauh tempat kami tinggal. Tak lama, adzan Subuh berkumandang.
Usai melaksanakan shalat Subuh, saya melanjutkan dengan tilawah Surat At-Taubah sampai pukul 05.30 WIT. Pukul 07.00 saya ke teras penginapan. Terlihat masyarakat Asmat lalu lalang beraktifitas. Mulai dari tingkat pelajar, warga yang hendak ke kebun dengan membawa sebilah golok panjang, ada juga yang membawa alat untuk memancing.
Kami menyusuri Jalan Dermaga Baru, 50 meter melangkah, terlihat warga Asmat sedang memindahkan air mineral dan teh kotak ke arah Sungai Cemnes Agats. Saya coba menghampirinya dan menyapa “Selamat Pagi”. Sapaan yang biasa diucapkan masyarakat disini menyesuaikan dengan waktu. Jika siang hari, mereka menyebut “Selamat Siang” dan seterusnya.
“Pagi Pak,” sapa saya ke salah satu warga yang akan mengangkut tumpukan air mineral tersebut. “Pagi,” jawab dia sambil tersenyum. “Ini (air mineral) mau dibawa kemana Pak?,” tanya saya. “Mau di bawa ke Ewer,” sambungnya. “Bandara Ewer maksudnya Pak?,” kata saya memastikan. “Iya betul,” responnya.
“Hayuuuk Pak saya bantu,” ungkap saya. “Oooh iya terima kasih,” jawabnya. Satu persatu dus air mineral kami angkut ke sebelah perahu yang akan digunakan.
Masyarakat di Asmat rata-rata bercocok tanam dan mencari ikan di laut. Untuk menjala ikan mereka dapat menempuh ke sungai perbatasan antara Agats dengan Pulau Tiga, Timika. Mereka menggunakan perahu fiber dengan mesin 40 PK. Harganya berkisar Rp 20 juta sampai Rp 30 juta. Sedangkan untuk speed boat harganya bisa mencapai tiga kali lipat.
“Kalau speed boat dia ekor (mesin) pendek, larinya lebih cepat. Banyak (perahu mesin panjang) yang terbalik kalau kena ombak,” ucapnya.
Hasil laut yang didapatkan rata-rata ikan kakap, kerapu, duri, dan lain sebagainya. Ikan tersebut ada yang dijual di Pasar Asmat ada juga untuk konsumsi kebutuhan sehari-hari.
Setelah selesai berbincang-bincang, saya menuju Masjid Saiful Bukhori. Masjid ini merupakan masjid kedua di Kabupaten Asmat setelah Masjid Jami Al-Hidayah. Dominasi cat hijau dan putih melekat di tembok-tembok masjid. Selain sarana ibadah, sebelah kiri masjid kami menjumpai sarana pendidikan Taman Pembacaan Al-Qur’an (TPA). Kami melaksanakan shalat dhuha sebelum kembali ke penginapan untuk bersiap menuju distrik Soret Yausakor di Kabupaten Asmat.
Sosok Habib Rizieq Shihab di masyarakat Asmat
Tokoh masyarakat Asmat Norbertus Kamona menceritakan ada satu kampung Katolik di Asmat yang pindah ke Islam. Awalnya, sempat ada ketegangan, namun tidak lama hal itu menghilang karena masyarakat sadar hak beragama dijamin oleh Undang-Undang.
“Artinya (di Asmat) juga ada orang Islam. Ketika (umat Islam) takbiran kami selalu membantu dan mengawal. Masalah kehidupan umat beragama disini tidak ada,” tuturnya.
Pria asli Papua yang juga Kasi Transportasi dan Kenyamanan Penumpang Kemenhub ini ternyata kagum dengan sosok Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia menilai, HRS tegas dan komitmen dalam menegakkan kebaikan serta mencegah kemungkaran.
“Kejahatan diberantas, itu harus. Kalau sudah tidak bisa pakai otak, (pakai) otot. Saya setuju (dengan gaya HRS) karena kita tidak boleh terlena dengan sifat iblis. Akhirnya tidak ada kesejahteraan. Ini negara demokrasi toh? Kalau kita tidak pakai kekerasan, kita mau pakai negara bentuk apa? Konsekuensi dari demokrasi adalah anarkis,” tandasnya.
Menuju Distrik Siret Yausakor
Pukul 11.45 kami melakukan briefing di lapangan Yos Sudarso Asmat. Uniknya, lapangan ini bukan tanah merah atau rumput hijau, melainkan terbuat dari papan kayu. Setelah melakukan briefing, kami bergerak menuju dermaga Asmat.
Sebelum tim ACT berangkat, sekitar 60 personil Satgas TNI dan Polri sudah bergerak menuju distrik-distrik di Asmat. Untuk menuju distrik tersebut, rata-rata memerlukan waktu 2 jam perjalanan, bahkan distrik terujung di Asmat bisa menghabiskan 8 jam perjalanan laut.
“Hayuuk teman-teman kita berangkat. Kapalnya sudah siap,” seru koordinator lapangan ACT Lukman Aziz. Kami akan menuju Distrik Siret Yausakor menggunakan perahu Jhonson milik Dinas Perhubungan Kabupaten Asmat. Perahu tersebut berkapasitas 25 orang, biaya sewa perahu pulang-pergi sebesar Rp 10 juta.
Lima ratus meter dari dermaga merupakan perlintasan menuju sungai Asmat dan perairan Arafura. Saat di tengah perairan Arafura, nahkoda dihubungi oleh rekannya dari BMKG yang mengatakan bahwa ombak sedang besar Akhirnya, ia mengurungkan niatnya melewati perairan Arafura dan putar arah menuju sungai Asmat.
Dalam perjalanan tidak jarang nahkoda harus mengarahkan perahu ke kanan dan kiri karena ada fondasi kayu yang masih tertancap di tengah sungai. Bahkan, tiga kali kami harus menabrak kayu tersebut karena tidak terlihat di permukaan. Alhamdulillah kapal yang kami tumpangi tidak terjadi apa-apa.
Kurang lebih tiga jam kami mengarungi luasnya sungai Asmat. Sepanjang sungai jarang ditemukan rumah penduduk, hanya terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi banyak pepohonan. Karena tidak ada petunjuk arah, nahkoda sempat tersasar sampai tiga kali dan akhirnya menemukan dermaga distrik Siret Yausakor.
“Pace, kalau punya kampung beri nama sudah biar kami tahu,” teriak ABK (anak buah kapal) kepada salah satu warga distrik Siret yang berada di pinggir dermaga.
Kami tiba di dermaga pukul 15.15 WIT disambut oleh TNI, masyarakat sekitar dan beberapa tenaga kesehatan (nakes). Antusiasme masyarakat terlihat dan ingin membantu membawakan barang bawaan yang kami jinjing. Di distrik Siret terdapat pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dengan jumlah 26 nakes yang terdiri dari 11 bidan, 7 perawat, 4 tenaga kesehatan lingkungan (kesling), dan 4 kader puskesmas tunggal (Pustu).
Fasilitas Puskesmas ini diantaranya poli umum, IGD, kebidanan, ruang inap, dan pelayanan administrasi. Aktivitas terlihat tidak ada karena jam pelayanan sudah tutup. Namun ada beberapa nakes dan Kepala Puskesma dan personil Satgas.
Salah satu perawat Devi Dewiyani mengeluhkan saat ia berkeliling ke beberapa kampung. Pasalnya, ketika ingin melakukan imunisasi, warga takut dan masuk ke dalam rumah. “Bulan 11 kita imunisasi ke kampung-kampung. Di Siret kita tangani 9 kampung, semua sudah di imunisasi. Bulan ini tanggal 20 imunisasi lagi,” ujarnya.
Kendati demikian, ia dan beberapa Nakes tetap mensosialisasikan imunisasi bekerjasama dengan kader Pustu. Balita yang sudah mendapatkan imunisasi terdaftar dalam buku DPT polio dan campak menyesuaikan dengan umur. “Kita tidak bisa paksa (masyarakat melakukan imunisasi), kalau di paksa terkadang marah menuntut,” imbuhnya.
Tak hanya itu, warga terkadang menolak untuk dirujuk ke RSUD Agats. Terpaksa, Nakes memberikan tanda tangan surat penolakan rujukan. Penyebab kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi asmat, kata Veni, yaitu terkait pola hidup bersih dan sehat masyarakat (PHBS).
“Kemarin, Selasa malam, ada pasien kita rujuk jam 12 malam. Pasien bayi terkena malaria. Kejang-kejang dan demam tinggi,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi