Rabu, 9 Oktober 2019, saya dapat kabar Pak Tammat Anshory meninggal dunia. Pikiran saya langsung melayang kepada beberapa kali pertemuan saya dengan tokoh yang pernah menjadi Ketua Dewan Da’wah Jawa Timur ini.
Sekalipun tidak pernah berbincang panjang, namun dari pertemuan-pertemuan itu, ditambah dengan cerita dari para asatidz di Dewan Da’wah Pusat tentang Pak Tammat, saya mendapatkan kesimpulan bahwa beliau yang merupakan salah seorang kader Pak Natsir itu memiliki komitmen da’wah yang kuat dan kesederhanaan yang nyata.
Komitmen da’wah Pak Tamat nampak jelas dari kiprah da’wahnya yang tak pernah luntur apalagi hilang sampai akhir hayatnya. Bahkan di tengah sakitnya, ia tetap memiliki perhatian besar terhadap kemaslahatan umat. Beberapa kali saya baca postingan beliau di grup WA KB Dewan Da’wah. Tergambar jelas perhatiannya yang besar itu.
Sementara, kesederhanaannya nampak pada penampilan dan aksesoris yang dikenakannya. Tidak ada yang menonjol dan terkesan mewah. Satu kali pernah saya bertemu beliau, berbatik coklat agak lusuh, celana hitam dan peci. Di lantai dua gedung menara da’wah Dewan Da’wah. Jika saya belum mengenal beliau, mungkin saya akan menyangka jika beliau adalah seorang masyarakat biasa yang datang dari kampung.
Bukan hanya pada sosok Pak Tamat saya menemukan dua karakter itu; komitmen da’wah yang kuat dan kesederhanaan yang nyata. Hampir semua kader Pak Natsir memiliki dua karakter itu.
Pak Ridwal Elyas misalnya. Bulan lalu saya berjumpa dengan beliau dan sempat berbincang lama. Ketua Majlis Syuro Dewan Da’wah Maluku Utara ini juga berpenampilan sederhana. Padahal ia adalah mantan pejabat tinggi di Maluku sana.
Dalam perbincangan saya dengan Pak Ridwan, nampak jelas perhatiannya yang besar terhadap da’wah. Terutama terhadap kaderisasi da’i yang sedang gencar digalakkannya dan terhadap penataan organisasi Da’wah di Maluku Utara sana. Dalam kurang lebih 2 jam perbincangan kami, hanya dua materi itu saja yang ia bahas.
Demikian juga ketika saya berjumpa dengan Ustadz Suryadi, kader Pak Natsir yang memimpin pondok pesantren Lukmanul Hakim di Batumarta, Sumatera Selatan. Kesederhanaan adalah kesan pertama yang saya tangkap darinya. Tak ada yang menonjol dari penampilannya. Tidak sebagai pimpinan pondok, tidak juga sebagai tokoh yang sudah sangat dikenal di Batumarta sana.
Pun demikian dengan komitmen da’wahnya. Terus menggebu walau ia sudah sering sakit-sakitan. Anak sulungnya bercerita, jika keluarga meminta Pak Sur istirahat karena khawatir akan kesehatannya, ia akan marah sambil berkata, “Justru di masa tua ini saya harus lebih giat berda’wah, sekalipun harus mati maka saya harus mati di jalan da’wah”.
Dua karakter itu pula yang saya lihat pada diri Pak Sudirman Allahu Yarham di Jawa Tengah dan Pak Daud Gunawan di Jawa Barat. Komitmen da’wah yang kuat dan kesederhanaan yang nyata.
Namun, saya tidak heran menyaksikan itu semua. Karena saya faham, mereka adalah kader Pak Natsir yang juga sangat dikenal memiliki dua karakter penting bagi seorang da’i itu; komitmen da’wah yang kuat dan kesederhanaan yang nyata. Dari Pak Natsir lah para kadernya itu mencontoh. Karena Pak Natsir adalah sosok da’i yang memang patut untuk dicontoh.
Gambaran di atas juga menunjukan betapa kuatnya pengaruh karakter Pak Natsir terhadap kader-kadernya. Pengaruh yang ditancapkan bukan semata dengan kata, tapi dengan juga dengan contoh nyata.
Semoga saya dan kader-kader da’i lainnya, walaupun berat, dapat mengikuti jejak da’wah beliau-beliau semua. Senantiasa memiliki komitmen da’wah yang kuat dan selalu menjaga kesederhanaan hidup senyata-nyatanya.