Saat ini, istilah “Locavora” semakin banyak diperbincangkan oleh para pecinta lingkungan, aktivis pangan, dan masyarakat umum yang peduli dengan pola konsumsi sehat dan berkelanjutan. Bila pembaca lebih familiar mendengar omnivora, carnivora, dan herbivora, maka locavora adalah varian barunya. Locavora adalah gerakan yang mendorong konsumsi bahan pangan lokal, mengurangi jejak karbon, dan mendukung keberlanjutan lingkungan serta perekonomian daerah. Atau secara singkat, locavora adalah pemakan makanan lokal. Di tengah semangat ini, Kacang Koro Pedang muncul sebagai salah satu solusi lokal yang potensial.
Wartapilihan.com, Depok– Kacang Koro Pedang (Canavalia ensiformis) merupakan tanaman leguminosa yang tumbuh subur di Indonesia. Sayangnya, popularitasnya masih kalah dibandingkan dengan kedelai atau kacang tanah. Padahal, Kacang Koro Pedang memiliki kandungan protein tinggi, serat pangan yang melimpah, serta kaya akan mineral seperti magnesium, fosfor, dan zat besi. Lebih dari itu, kacang ini memiliki potensi besar sebagai bahan baku tempe, susu nabati, atau bahkan makanan ringan yang sehat.
Kacang Koro Pedang juga dikenal lebih tahan terhadap cuaca ekstrem, memerlukan lebih sedikit air, dan mampu tumbuh di tanah yang minim nutrisi. Selain itu, kacang ini dapat digunakan sebagai tanaman tumpang sari di antara tanaman utama petani, sehingga tidak menggantikan komoditas yang sudah biasa mereka tanam. Karakteristik ini menjadikannya tanaman yang sangat adaptif, cocok untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.
Keunggulan Kacang Koro Pedang dalam Gerakan Locavora
Dalam konteks Locavora, konsumsi Kacang Koro Pedang memberikan banyak manfaat. Pertama, mendukung petani lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor kedelai. Kedua, proses budidaya dan pengolahannya lebih ramah lingkungan karena tidak memerlukan transportasi jarak jauh, yang berarti mengurangi emisi karbon.
Selain itu, keberadaan Kacang Koro Pedang dapat menjadi alternatif pangan yang lebih murah bagi masyarakat. Harga kedelai impor yang fluktuatif seringkali membebani produsen tempe dan tahu di Indonesia. Menggunakan Kacang Koro Pedang sebagai substitusi dapat menjadi langkah strategis untuk menjaga kestabilan ekonomi produsen dan konsumen.
Memasyarakatkan Kacang Koro Pedang
Lantas, bagaimana caranya agar Kacang Koro Pedang dapat dikenal luas oleh masyarakat? Langkah pertama adalah edukasi. Pemerintah, institusi pendidikan, dan komunitas lokal harus aktif mempromosikan manfaat, cara pengolahan, dan praktik tumpang sari Kacang Koro Pedang untuk membantu petani bertransisi tanpa risiko besar. Workshop, pelatihan, hingga konten digital dapat menjadi sarana edukasi yang efektif.
Langkah berikutnya adalah inovasi produk. Kacang Koro Pedang dapat diolah menjadi berbagai makanan modern, seperti keripik, tepung koro, atau bahkan es krim berbasis kacang. Dengan pendekatan kreatif, kacang ini tidak hanya dapat diterima oleh generasi muda, tetapi juga mampu bersaing di pasar global.
Bila pembaca berminat untuk mengetahui seluk beluk kacang koro pedang dari mulai budidaya hingga pengolahan menjadi berbagai produk, penulis sarankan untuk berkunjung ke Rumah EduWisata Kacang Koro Pedang: Taman Yasmin, Jl. Bambu Apus III no.19, Sektor 7, RT.05/RW.11, Cilendek Tim., Kota Bogor, Jawa Barat 16112. Link Map: https://maps.app.goo.gl/3g4Coz7uDSqxC7dQ6
Inspirasi dari Tradisi untuk Masa Depan
Mengadopsi Kacang Koro Pedang sebagai bahan pangan sehari-hari bukan hanya soal mengikuti tren Locavora, tetapi juga menjaga tradisi dan warisan lokal. Di banyak daerah di Indonesia, Kacang Koro Pedang telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Kini saatnya kita menghidupkan kembali tradisi ini, memadukannya dengan teknologi dan inovasi modern, untuk menciptakan masa depan pangan yang lebih berdaulat.
Dengan mendukung gerakan Locavora melalui konsumsi bahan pangan lokal seperti Kacang Koro Pedang, kita tidak hanya menjaga lingkungan dan perekonomian lokal, tetapi juga turut memperkuat identitas bangsa. Mari mulai langkah kecil ini dari meja makan kita sendiri. Siapa tahu, Kacang Koro Pedang yang sederhana ini akan menjadi “bintang” pangan lokal di masa depan.
Abu Faris
(Praktisi Urban Farming, Alumni 7th Permaculture Design Course, Bumi Langit Institute, Yogyakarta)