“Hampir 50 tahun Freeport Indonesia mengelola tambang di Papua, selama itu pula porsi kepemilikan Indonesia hanya mencapai 9,36 persen. Kini, holding industri pertambangan kita, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), atau Inalum, telah mencapai kesepakatan awal dengan Freeport McMoRan untuk meningkatkan kepemilikan kita di PT Freeport Indonesia menjadi 51,2 persen. Alhamdulillah,” tutur Joko Widodo.
Wartapilihan.com, Jakarta — Hal itu disampaikan Presiden RI, Joko Widodo, Jum’at, (13/7/2018) di laman Facebook miliknya. Ia mengatakan, selama 3,5 tahun telah mengupayakan hal ini dengan negosiasi yang tidak mudah.
“Dan ini jelas sebuah lompatan. Kita harapkan nantinya akan mendapatkan pemasukan yang lebih besar dari pajak, dari royaltinya, dari dividen, dari retribusinya sehingga nilai tambah dari komoditas tambang yang ada di sana bisa dinikmati oleh kita semua. Kepentingan nasional harus tetap dinomorsatukan,” pungkasnya.
Sementara itu, PT Freeport Indonesia juga mengatakan hal senada. Disepakatinya perpanjangan kemitraan antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport-McMoran Inc hingga tahun 2041 mendatang diyakini oleh Richard Adkerson, Presiden dan Chief Executive Officer Freeport-McMoran Inc sebagai peningkatan keuntungan bagi Indonesia.
“Perpanjangan operasi ini akan meningkatkan manfaat secara signifikan
bagi Pemerintah Indonesia di masa mendatang. Dengan kepastian investasi dan operasi hingga tahun 2041, kami
memperkirakan manfaat langsung kepada pemerintah pusat dan daerah, serta dividen kepada Inalum dapat melebihi USD 60 miliar,” kata Richard, berdasarkan siaran persnya yang sampai kepada Warta Pilihan.
Menanggapi hal ini, Drajad Wibowo yang merupakan Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) merasakan, pencitraan yang dilakukan sudah kelewat batas bahkan dinilai membodohi rakyat.
“Apakah Freeport sudah direbut kembali seperti klaim bombastis yang beredar? Belum! Transaksi ini masih jauh dari tuntas. Kepada media asing seperti Bloomberg dan lainnya, pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati,” kata Drajad, Jum’at, (13/7/2018).
Dalam berita Bloomberg, Rio secara resmi menyatakan “Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed”.
“Jadi, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas,” kata dia.
Menurut Freeport dalam berita Bloomberg, isu besar itu adalah: (a) hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041, (b) butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan (c) kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.
Adapun soal kesepakatan, menurut Drajad ialah lebih pada harga. Tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan Inalum), Freeport-McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto sepakat pada harga US$ 3.85 milyar, atau sekitar Rp 55 triliun. Harga ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI.
“Rio Tinto terlibat dalam negosiasi karena dia ber-joint venture dengan FCX, di mana hingga 2021 dia berhak atas 40% dari produksi di atas level tertentu dan 40% dari semua produksi sejak 2022. Gampangnya, meskipun FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40% produksinya sudah di-ijon-kan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini,” tegasnya.
Adapun kesepakatan harga yang terjadi pada bulan ini, ia menduga, hal ini tidak lepas dari fakta bahwa IUPK sementara (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) bagi Freeport Indonesia habis pada 4 Juli 2018. Melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang.
Drajad mengungkapkan, aset Inalum saat ini sekitar Rp 90 triliun. Dengan kesepakatan harga US$ 3.85 milyar, transaksi ini nilainya setara 61% aset Inalum.
“Saya ingatkan, jangan sampai Inalum over-stretched, yang bisa menjadi masalah besar di kemudian hari,” tegas Drajad.
Berdasarkan fakta di atas, ia menyimpulkan, Freeport belum “direbut kembali”. Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas.
“Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang. Qulil haqqa walau kaana murran,” pungkas Drajad.
Eveline Ramadhini