”Pertama 500 ton, 500 ton, 1 juta ton. Itu sudah keputusan rakor 4 bulan lalu,” ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di kantor Kemenko Perekonomian, beberapa waktu lalu.
Wartapilihan.com, Jakarta — Hingga Juli 2018, impor beras oleh Bulog sudah sekitar 1 juta ton. Yakni sebanyak 500 ribu ton beras pada Februari 2018 dan 500 ribu ton pada Mei 2018. Adapun sisa kuota impor 1 juta ton rencananya dilakukan sebelum akhir September 2018.
Menanggapi hal tersebut, Andi Akmal Pasluddin selaku Wakil Ketua Komisi IV DPR RI mengatakan, data yang digunakan antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian cenderung semrawut, sehingga pemerintah tidak bisa satu suara mengenai keputusan impor ini.
“Kita punya konsumsi beras 33 juta ton pertahun berarti ada surplus. Harusnya tidak ada alasan import. Kita punya cadangan beras pemerintah 1,8 juta ton, yakni ada 1,3 juta ton dari petani dan 500ribu ton dari impor,” tutur dia, dalam acara Indonesia Business Forum, TvOne, Jum’at malam, (31/8/2018).
Padahal, menurut dia, pemerintah sesuai janjinya akan membatasi bahkan melarang impor pangan, dan juga hendak melancarkan swasembada pangan. Hal ini menurut dia akan menyebabkan harga gabah petani menjadi anjlok, serta petani kehilangan semangatnya untuk menjadi petani.
“Ada apa? Sehingga semangat sekali impor beras? Ada apa mendekati pemilu semakin semangat, yang anehnya lagi, impor tidak memerlukan lagi persetujuan teknis, gak perlu persetujuan menterian lain. Janggal, harusnya yang tau jumlahnya adalah kementerian yang menggawangi,” tukasnya prihatin.
Di sisi lainnya, Prof. Bustanul Arifin selaku Ekonom Petani mengatakan, usaha tani di Indonesia cenderung sangat mahal. Hal yang menyebabkan ongkos bertani mahal ialah upah tenaga kerja, sewa lahan dan juga pupuk.
“Ini menjadi tantangan besar bagi kita, bagaimana bisnis di hulu bisa memberikan kesejahteraan bagi petani, sehingga nanti konsumen juga memperoleh beras yang tidak terlalu mahal. Siapa yang harus membenahi? Pemerintah,” tegasnya.
Sementara itu, Sutarto Alimoeso selaku eks kabulog tahun 2009 mengungkapkan, data ialah hal yang sangat penting yang bisa dijadikan landasan untuk pertimbangan keputusan yang akan diterapkan, yakni berkaitan denan situasi harga, juga stok beras yang dimiliki pemerintah.
“Untuk menetapkan pasti, pemerintah harus menghitung (stok beras) sampai posisi awal tahun depan. Mulai bulan September sampai Februari, posisi panen kita di bawah kebutuhan bulanan. Bisa nggak mencukupi 6 bulan ke depan, ini yang harus dihitung situasinya bagaimana,” terang dia.
Bayu Krisna Mukti selaku mantan Menteri Perdagangan tahun 2010 mengatakan, suatu keputusan pada zamannya tidak bisa memutuskan sendiri, melainkan harus melewati Kementerian Koordinasi pangan. Adapun dalam memutuskan impor, perlu dilihat kondisi harga, selalu melihat produksi, dan stok pemerintah secara keseluruhan.
“Terendah dalam sejarah Indonesia produksi saat ini, dan impor adalah sebuah kondisi yang dapat dilakukan pemerintah, namun demikian yang bisa didiskusikan lebih lanjut adalah dua hal. Menjelang tahun politik, mengapa sedemikian besar?
Dari sisi berprasangka baik, pemerintah memang tidak akan pernah mau mengambil resiko gangguan terhadap pangan pada tahun politik. Jadi dengan demikian, pemerintah harus punya stok yang kuat. Itu adalah syarat untuk menghadapi pemilu, apapun situasinya. Kalau dilihat dari sisi positif, negara sebesar RI pengaruh beras memang tidak boleh punya stok beras yang rendah,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini