IDI: Kebijakan BPJS Rugikan Rakyat

by
Foto: Google Plus.

Keputusan BPJS yang merilis tiga aturan baru berupa BPJS tidak lagi menjamin penuh layanan medis (1) katarak, (2) persalinan dengan bayi lahir sehat, dan (3) membatasi rehabilitasi medik. Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), hal ini merugikan masyarakat.

Wartapilihan.com, Jakarta –Prof. Dr. I. Oetama Marsis, Ketua Umum IDI mengungkapkan hal ini. Menurutnya, kebijakan yang kontroversial ini merugikan rakyat karena membuat dokter berpotensi melanggar sumpah, yaitu tidak melakukan praktek tidak sesuai standar.

“Lalu, kewenangan dokter dalam melakukan tindakan medis diintervensi oleh BPJS. Hal ini juga bisa meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien serta dokter dengan fasilitas pelayanan kesehatan,” kata Oetama, Jum’at, (3/8/2018).

Dalam kasus ini, dokter yang bersinggungan langsung dengan pasien akan terkena imbasnya. Lebih lanjut, IDI menginginkan agar mutu layanan tidak dikurangi oleh BPJS Kesehatan.

Oetama berharap, peraturan baru itu tidak merugikan pasien dan juga dokter tetap bisa memberikan pelayanan optimal.

“Untuk pasien, semua kelahiran harus mendapatkan penanganan optimal karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat, dan bahkan kematian.

Sementara untuk operasi katarak, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kebutaan tertinggi, jika peraturan itu jadi dijalankan, maka angka kebutaan semakin meningkat.

Untuk rehabilitasi medik, jika dibatasi maksimal 2 kali seminggu, itu tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik yang nantinya hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi,” ujar dia.

Seperti diketahui, ada beberapa hari yang lalu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek sempat meminta agar aturan itu ditangguhkan. Lebih keras lagi, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) meminta agar BPJS Kesehatan mencabut keputusan itu karena dinilai merugikan masyarakat.

Secara rinci, perdirjampel BPJS Kesehatan No. 2, 3 dan 5 tahun 2018 berisi tentang, (1) Bayi baru lahir dengan kondisi sehat post operasi caesar maupun per vaginam dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam 1 paket persalinan, (2) Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus kurang dari 6/18 dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota dan (3) Tindakan rehabilitasi medis dibatasi maksimal 2 kali per minggu (8 kali dalam 1 bulan)

“Berdasarkan hal di atas bahwa Perdirjampel nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 merugikan. Masyarakat perlu mendapatkan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas,” tegas Oetama.

Sesuai perpres nomor 12 tahun 2013 pasal 22 dan pasal 25, menurut dia, semua jenis penyakit di atas harusnya dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Perdirjampel nomor 2,3 dan 5 berpotensi melanggar UU SJSN No. 40 tahun 2004 pasal 24 Pasal 24 Ayat (3). Menurut Oetama, dalam melakukan upaya Eeisiensi, BPJS Kesehatan seyogyanya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien.

“Selain itu BPJS Kesehatan dapat membuat aturan tentang iur/urun biaya. Perdirjampel nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 tidak mengacu pada Perpres 19 tahun 2016 tentang JKN khususnya pasal 43a ayat (1) yaitu BPJS Kesehatan mengembangkan teknis operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas,” tukasnya.

Perdirjampel nomor 3 Tahun 2018, papar Oetama, bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 76 tahun 2016 tentang pedoman INACBG dalam pelaksanaan JKN.

“IDI meminta BPJS Kesehatan membatalkan Perdirjampel nomor 2,3 dan 5 tahun 2018 untuk direvisi sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya membahas teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis,”

Adapun persoalan defisit BPJS, ia menekankan, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas pelayanan. Dokter harus mengedepankan pelayanan sesuai dengan standar profesi.

“IDI bersama-sama stakeholder lain, di antaranya PERSI mendorong Kemenkes untuk memperbaiki regulasi tentang penjaminan dan pengaturan skema pembiayaan untuk mengatasi defisit pembiayaan JKN. IDI mendorong terbitnya peraturan presiden tentang iur/urun biaya sesuai amanah UU nomor 40 tahun 2014 tentan SJSN,” tekannya.

BPJS Alami Defisit

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengaku sedang berupaya menekan defisit yang diperkirakan mencapai Rp 16,5 Triliun.

Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan menetapkan ketiga peraturan yang mencakup penyakit katarak, persalinan dan rehabilitasi medis yang mulai diterapkan per 25 Juli 2018.

“Sekitar Rp364 miliar bisa didapat dari efisiensi kalau ketiga aturan itu yang dilaksanakan sejak Agustus,” kata Deputi Direksi Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief di Jakarta, Kamis (2/8), dilansir dari detik.com.

Budi menegaskan, upaya penghematan anggaran bukan hanya melalui penerbitan tiga aturan tersebut. Sebagai upaya lain, BPJS Kesehatan juga sedang menonaktifkan perekrutan pegawai baru. “Jadi efisiensi pegawainya luar biasa,” ujar Budi.

Selain itu, BPJS Kesehatan berencana melakukan pembayaran anggaran ke rumah sakit berdasarkan performa rumah sakit tersebut. Budi menyebut akan membahas indikator performa umah sakit dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

“Kami akan ajak PERSI supaya memberikan masukkan ke kita, tidak semua rumah sakit dibayar sama. Kalau ada yang baik, indikatornya kita tetapkan bersama PERSI,” kata Budi.

Namun, Budi memperkirakan aturan itu baru bisa keluar tahun depan karena masih butuh perumusan yang mendalam.

BPJS Kesehatan juga masih menjamin semua jenis persalinan, yakni persalinan normal (baik dengan penyulit atau tanpa penyulit) maupun tindakan bedah caesar, termasuk pelayanan untuk bayi baru lahir dapat ditagih oleh rumah sakit/puskesmas dalam satu paket persalinan dengan ibunya.

Namun, apabila bayi membutuhkan pelayanan khusus lantaran gangguan kesehatan, rumah sakit/puskesmas dapat menagihkan klaim di luar paket persalinan tersebut.

“Karena keterbatasan dana, bayi yang sehat kita bayar bersama praktik persalinan ibunya. Bagaimana kalau sakit, bayi harus pakai NICU? Itu bayar (tersendiri),” kata Budi.

Kemudian, terkait dengan peraturan tentang rehabilitasi medis atau fisioterapi, pelayanan tersebut tetap dijamin dengan kriteria frekuensi maksimal yang ditetapkan peraturan baru, yakni maksimal delapan kali sebulan. Sebelumnya, kuota frekuensi fisioterapi yang ditanggung BPJS Kesehatan itu tidak dibatasi.

Lebih lanjut ia berharap, pajak cukai rokok dapat menguat kembali untuk jadi bagian membiayai BPJS.

Di sisi lain, Muhammad Maulana alumni Flinders University Australia yang menulis tesis tentang ‘NGO dan Politik Anggaran Kesehatan’ menganalisis, ada dua kondisi yang menyebabkan BPJS kesehatan defisit, yaitu pertama, fleksibilitas penggunaan pelayanan jaminan kesehatan.

“Peserta BPJS yang baru daftar sebagai peserta sudah dapat melakukan klaim pelayanan kesehatan. Akibatnya, nilai klaim yang diajukan peserta BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan premi yang ada.

Namun, per 1 Juni 2015 peserta BPJS Kesehatan baru dapat melakukan klaim setelah hari ke-14 dan telah melakukan pembayaran satu bulan pertama,” kata Muhammad.

Kedua, terdapat banyak peserta BPJS Non-PBI yang menunggak pembayaran iuran premi.

Data pada Juni-Juli tahun lalu terdapat 10 juta peserta BPJS yang menunggak pembayaran premi.

“Di balik kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang defisit, ada tabir yang belum banyak diketahui publik. Muncul kesan, BPJS tidak dikelola dengan baik dan menuju kebangkrutan,” tegas dia.

Namun ia melihat, sejauh ini, komitmen pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan mengalami perbaikan.

“Setidaknya terlihat pada kebijakan alokasi anggaran kesehatan yang sudah memenuhi mandat UU Kesehatan No. 36/ 2009, yaitu 5% dari total APBN yang dimulai sejak 2015.

Bahwa masih ada kekurangan dalam pelayanan kesehatan seperti antrean yang panjang dan beberapa obat yang tidak dapat ditanggung, itu adalah catatan yang harus tetap dikawal untuk diperbaiki,” pungkasnya.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *