Pemerintah telah menetapkan UU Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014, tetapi anak masih dalam bayangan ancaman penganiayaan yang besar. Mengapa?
Wartapilihan.com, Jakarta –Idham Khalid sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak Wilayah Provinsi Papua menanggapi kejadian yang menimpa SR, seorang anak kelas II SDN Longkewang di Sukabumi Jawa Barat ini diakibatkan oleh sikap pemerintah yang lalai dan juga Pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang pelit. Misal, kewajiban pemerintah untuk menyediakan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di setiap kabupaten dan kabupaten kota, tetapi tidak disediakan.
“Saya katakan, pemerintah pelit untuk menganggarkan kepada pihak lembaga-lembaga pekerjaan sosial perlindungan anak untuk melakukan seperti Sosialisasi kepada para anak tentang UU SPPA,” ujar Idham kepada Warta Pilihan, Kamis sore (11/8/2017).
“Agar mereka mengetahui bahwa meraka sebenarnya bisa mendapatkan hukuman apabila mereka melakukan hal-hal seperti tindak pidana,”
Selain sosialisasi kepada anak, orangtua dan guru perlu juga diberikan pemahaman, Idham mengungkapkan. “Mulai dari tingkat kota sampai ke pedesaan RT/RW harus disesuaikan agar masyarakat berhati-hati, sehingga tidak sembarang melakukan kekerasan terhadap anak,”
Untuk diketahui, Pemerintah pada dasarnya wajib untuk melakukan pencegahan, pengurangan risiko dan penanganan kasus yang melibatkan lembaga sebagaiman tercantum pada pasal 116 ayat 1. Adapun yang dimaksud pencegahan adalah (1) memperkuat kemampuan dan keterampilan Orang Tua melalui program pendidikan dan program pelayanan konseling;
(2) memperkuat kemampuan dan pemahaman Anak tentang Hak Anak dan perlindungan Anak;
(3) meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat, melalui program
pendidikan dalam memahami Hak Anak dan perlindungan Anak;
(4) memberikan pedoman monitoring dan evaluasi Pengasuhan Anak yang dikembangkan bagi penyelenggara Pengasuhan Alternatif;
(5) meningkatkan kemampuan penyelenggara Pengasuhan Alternatif dan Pengasuhan.
Idham menjelaskan, dalam Undang-Undang memang sudah diatur, tetapi dalam implementasinya, tidak diberikan edukasi kepada masyarakat dan juga anak. “Walaupun pemerintah dn Negara membuat UU PA, tapi kalau tdk diberi edukasikan kepada masyarakat, tetap kejahatan dan kekerasan terhadap anak akan berkelanjutan,” ia menegaskan.
Idham memaparkan, sebagaimana dalam UUPA nomor 23 thn 2002 dn juga telah dituangkan ke dlm UUPA no 35 tahun 2014, bahwa anak adalah titipan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam dirinya terdapat harkat dan martabat sebagai manusia yang seutuhnya. “Anak adalah harapan orang tua dan keluarganya, dan anak adalah aset negara, harapan bangsa dan Negara. Maka oleh sebab itu, Orang tua khususnya, keluarga, masyarakat pemerintah dan Negara punya hak dan tanggung jawab atas perlindungan anak, tapi kenyataannya, berbagai jenis kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun makin marak bahkan sampai ke pembunuhannya seperti yg kita saksikan saat ini,” ia prihatin.
Maka dari itu, Idham berharap pemerintah lebih menaruh perhatian dari segi anggaran kepada lembaga sosial yang harus melakukan pendampingan pada anak korban kekerasan. “Misal, dalam hal ini ada dari pihak salah satu lembaga pekerja sosial anak atau misalnya LPA mau lakukan sosialisasi UU tersebut di atas, kegiatan pendampingan korban kekerasan terhadap anak atau ABH, dn kegiatan anak lainnya,”
“Dalam hal ini, dinas BP3A-KB dn Dinas Sosial di Daerah kurang merespon.
Anak-anak di jalanan yang seharusnya usia mereka belajar dan bermain tapi dibiarkan berkeliaran di jalanan sampai larut malam; dieksploitasi oleh oknum orang tua dan orang luar, serta lembaga yang tidak bertanggungjawab,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini