Menurut riset, para orangtua millennial (millennials parents) kelahiran 70-90, menjadikan Google dan tetangga baru sebagai New Grandparents, tempat bertanya apapun. Tepatkah hal tersebut?
Wartapilihan.com, Jakarta — Setiap orangtua butuh referensi dalam mendidik anak, itu benar, namun kalau belum apa-apa sudah banyak bertanya pada manusia apalagi google maka kita akan bingung sendiri dan akan sakit kepala karena informasi bisa berbeda.
Hal tersebut disampaikan Harry Santosa, pakar parenting berbasis fitrah. Dia mengatakan, keluarga muda tanpa warisan yang cukup sudah pasti tinggal di daerah pinggiran, di perumahan baru dan tetangga baru serta masjid pun juga masih baru.
“Terlebih sang ayah seringkali bekerja jauh ke tengah kota, berangkat gelap pulang gelap, kadang tak siap dicurhati istri. Ini jelas kondisi parentless,” kata Harry, berdasarkan laman Facebook pribadinya, Ahad, (21/10/2018).
Sementara sang ibu harus membesarkan anak anaknya nyaris sendirian, orangtua jauh di desa dan tak paham kondisi sehingga informasi terdekat dalam mendidik didapat dari seminar parenting dan google.
“Ya itu tadi, malah informasi bisa berbeda beda dan membuat bingung. Apalagi google, hasil pencarian google itu yang teratas bukan yang paling benar tetapi yang teratas itu yang paling tenar,” tutur dia.
Akibatnya, para orangtua millennial jadi Hyper parenting, dimana informasi membanjir namun sedikit hikmah yang bisa diambil. Dengan kata lain, kata dia, seperti Drowning in information but Starving in Knowledge.
“Ditambah lagi anak-anak mereka adalah gen Z, kelahiran 1995 ke atas bahkan gen Alpha kelahiran 2010 ke atas yang super duper ajaib karena memang Allah ciptakan agar bisa hidup pada zamannya bukan zaman ortunya,” ia menegaskan.
Kasus kasus di luar rumah, seperti penculikan, human traficking, LGBT, narkoba, pornografi, depresi dll semakin membuat para ortu menjadi paranoid, riset bahkan menyebut gaya parenting orangtua millennial condong kepada Helycopter Parenting, serba protektif. Ini justru kelak membuat anak jadi lambat dewasa dan tidak mandiri.
“Ketahuilah bahwa tiap zaman unik, tiap anak unik, tiap keluarga unik, tidak ada tips dan trik parenting yang berlaku utk semua orang dan semua kondisi. Tiada magic medicine yg bisa menyelesaikan dan menyembuhkan semua hal,” Harry menekankan.
Aqidah Islam pada dasarnya mengajarkan untuk “iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’in” , yakni mintalah pertolongan pertama kepada Allah dan pertamalah bertanya meminta pada Allah.
“Lalu tanyalah nurani dan bangkitkan fitrah dan aqal kita utk temukan solusi. Jadi jangan belum apa apa sudah bertanya pada manusia dan google,” tukas dia.
Harry menyarankan agar sambutlah panggilan menjadi orangtua sejati. Al-Qur’an menampilkan sosok Luqmanul Hakim, seorang hamba sahaya, bukan nabi, bukan rasul, namun keren dalam mendidik anak-anaknya sehingga dipilih menjadi ayat ayat di dalam surat Luqman, sekaligus mengabadikan nama Luqmanul Hakim.
“Sungguh-sungguh kami curahkan hikmah yang banyak kepada Luqman, karena ia banyak bersyukur. Inilah kuncinya, “syukur”, yaitu menyambut panggilan dengan suka cita menjadi ayah bunda sejati dalam mendidik anak,”
Jadi, dia menekankan bahwa orangtua versi terbaik dan ahli parenting terbaik untuk anak-anak adalah orangtua sendiri, ayah bundanya. Pasalnya, Allah telah instal fitrah parenting dalam diri tiap orangtua yang diberi amanah anak, maka bangkitkan saja fitrah itu dengan penuh bahagia.
“Tiap manusia atau tiap anak itu sangat rumit dan kompleks, maka tiada solusi instan dan mudah, semua solusi hanya bisa diperoleh dengan membersamai tumbuh kembang fitrahnya.
Mintalah Allah untuk senantiasa intervensi memberikan solusi, agar tak menjadi orangtua yang hyper parenting tetapi orangtua yang rileks dan optimis membersamai tumbuh kembang fitrah ananda,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini