Gelap Terang Jalan Politik Senayan

by

Langit Senayan digelayuti awan mendung, bukan karena cuaca, melainkan lantaran teror politik yang menyasar para wakil rakyat.

Wartapilihan.com, Jakarta--Kejadian penjarahan yang menyasar rumah-rumah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk nama-nama beken seperti Ahmad Saroni, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Nafa Urbach, bukan sekadar insiden kriminal biasa. Ada benang kusut yang ditarik oleh aktor tak kasat mata, mencoba menciptakan kekacauan di jantung kekuasaan.

Kolonel Purnawirawan Sri Rajasah, seorang mantan agen Badan Intelijen Negara, menganalisis bahwa serangkaian peristiwa ini bukanlah kebetulan. Ini adalah bagian dari teror politik. Tujuannya jelas: menciptakan rasa takut di kalangan anggota DPR agar mereka mengurungkan niat untuk mengambil langkah-langkah politik, seperti pemakzulan.

Tensi politik sebenarnya sudah mulai mereda. Gerakan-gerakan yang semula gencar menyerukan Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran melalui mekanisme DPR, seperti yang digalang oleh kelompok Revolusi Rakyat Indonesia, tiba-tiba dibegal. Narasi yang semula menuntut akuntabilitas malah berubah haluan menjadi seruan untuk Bubarkan DPR. Inilah inti dari grand design yang dijalankan oleh non-state actor—pihak di luar kendali pemerintah.

Sri Rajasah melihat, aksi ini begitu sistematis. Aksi-aksi anarkis seperti pembakaran pos polisi dan fasilitas kepolisian di berbagai daerah seperti Makassar dan Kediri terjadi dengan mudahnya. Seolah-olah ada pembiaran yang terencana. Kepolisian, yang seharusnya memiliki superioritas dalam penanganan huru-hara, terlihat pasif dan bahkan terkesan membuka ruang bagi keterlibatan militer. Padahal, ini adalah langkah yang sangat tidak lazim. Dalam setiap penanganan demo, polisi akan selalu berupaya mempertahankan perannya. Namun, kali ini, mereka seolah menyerahkan kendali, menciptakan kesan bahwa negara sedang berada dalam situasi “vacuum of power.”

Di sisi lain, publik juga menyaksikan bagaimana non-state actor ini begitu lihai memainkan opini. Ketika Presiden Prabowo yang baru menjabat 100 hari belum mengambil langkah signifikan, muncullah suara-suara sumbang yang menuntutnya mundur. Ini adalah langkah yang strategis untuk menjatuhkan Prabowo dengan menunggangi momentum yang diciptakan.

Sri Rajasah menegaskan, para aktor di balik ini bukanlah massa yang tidak terorganisir. Mereka adalah preman-preman yang dididik dalam politik praktis. Mereka dibayar untuk menciptakan chaos. Ini diperkuat dengan temuan bahwa banyak dari mereka adalah “langganan” demo yang dibayar dan terbukti dibayar.

Ancaman ini tak berhenti di situ. Selain kelompok yang menunggangi demo, ada juga para pelaku korupsi besar yang tidak ingin kekuasaan Prabowo terus berlanjut. Mereka adalah penjarah uang rakyat dari sektor pertambangan, perkebunan, hingga BUMN yang khawatir kebijakan antikorupsi Prabowo akan mengancam posisi mereka. Mereka, kata Rajasah, tidak akan tinggal diam. Apalagi bila Prabowo tidak tegas dan tidak berani menindak mereka.

Bagi Sri Rajasah, jalan keluar dari situasi ini adalah ketegasan dan keberanian Presiden untuk bertindak. Presiden harus segera melakukan reformasi di institusi hukum. Jika penegak hukum tidak berada di bawah kendali penuh, maka kendali aksi massa akan tetap berada di tangan aktor-aktor gelap ini.

  • Penting bagi Presiden untuk tidak terjebak dalam politik balas budi kepada mereka yang mendukungnya. Sebaliknya, politik balas budi yang sejati adalah dengan mengemban tanggung jawab moral kepada rakyat. Apabila Prabowo mampu menyelesaikan benang kusut ini, ia tak perlu bersusah payah berkampanye. Dukungan rakyat akan mengalir deras dengan sendirinya. Namun, jika tidak, di tengah situasi ekonomi yang sedang ambruk, bukan tidak mungkin aksi-aksi serupa akan kembali terjadi, dengan target langsung menuju istana.