Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof Rokhmin Dahuri, ketika menjadi pembicara dalam Next Summit dengan tema “Options at the Crossroads” di Dubai World Trade Center (25/11/2019), menyampaikan bahwa Ekonomi Kapitalisme memang telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan PDB Dunia.
Namun, hingga saat ini sekitar 1 milyar penduduk dunia masih hidup dalam kemiskinan absolut (pengeluaran lebih kecil dari 1,25 dolar AS per hari), dan sekitar 3 milyar warga dunia masih hidup miskin (pengeluaran kurang dari 2 dolar per hari).
Kesenjangan penduduk kaya-miskin pun kian melebar, baik antar negara maupun di dalam suatu negara. Pertumbuhan ekonomi selama 250 tahun pun telah mengakibatkan terkurasnya SDA, pengikisan biodiversitas, pencemaran, dan pemanasan global dimana itu semua membuat keberlanjutan (sustainability) ekosistem alam (bumi) dan pembangunan ekonomi terancam.
Oxfam dalam pertemuan rutin tahunan World Economic Forum 2020 di Davos melalui laporannya yang berjudul “Time to Care” mengemukakan bahwa gap antara si kaya dan si miskin semakin jauh. Banyak indikatornya, antara lain: jumlah miliuner dunia pada 2019 mencapai 2.153 orang. Kekayaan mereka melebihi kekayaan 4,6 miliar orang di dunia. Akumulasi kekayaan 22 orang terkaya di dunia versi Forbes mencapai US$ 1,28 triliun atau setara dengan Rp 17.930 triliun, lebih besar dari output perekonomian Indonesia. 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan dua kali lipat dibanding 6,9 miliar orang di dunia.
Kapitalisme Liberal
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, menyebut Indonesia telah menganut sistem kapitalis yang liberal walaupun malu untuk mengakuinya.
“Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal,” kata Surya dalam diskusi bertajuk Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan di Universitas Indonesia, Jakarta Pusat (14/8/2019).
Praktik ekonomi kapitalis liberal tersebut indikatornya adalah: pertama, dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Kedua, nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Ketiga, privatisasi BUMN. Keempat, tunduk pada kolonialisme WTO dan perjanjian GATT (Radlyah Hasan Yan, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian dari Deutsche Bank Research (2019), untuk evaluasi pertumbuhan jangka panjang dari 2006 hingga 2020, Indonesia diprediksi sebagai negara dengan pertumbuhan PDB terbesar ke-7 di dunia setelah Irlandia, Turki, Thailand, China, Malaysia, dan India.
Tahun 2020 ini, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang dan dinyatakan sebagai negara maju dalam perdagangan internasional bersama China, Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Namun, menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), kesenjangan ekonomi di Indonesia parah yaitu urutan keempat di dunia setelah Rusia, India dan Thailand.
Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat (9/10/2019), mengatakan, satu persen warga Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Hitungan kasarnya, 90 persen warga Indonesia memperebutkan hanya 30 persen aset nasional.
“Kalau di Amerika kesenjangan juga tinggi, namun orang yang paling miskin masih bisa beli mobil dan sewa rumah. Di Thailand kesenjangan tinggi namun kulitnya sama. Pak JK (Wapres Jusuf Kalla –red) suka ngomong jika ada 10 orang kaya, 9 orang bukan muslim, jika ada 10 orang miskin, 9 orang muslim,” papar Bambang seperti dikutip detik.com (9/10/2019).
Ekonomi Syariah
Oleh karena itu, kata Prof Rokhmin Dahuri dalam Dubai World Trade Center tadi, dunia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Untuk itu, sistem ekonomi Kapitalisme harus diganti dengan sistem ekonomi yang lebih efisien, hemat dan tidak merusak lingkungan hidup. Selain itu, sistem ekonomi yang baru harus dapat mendistribusikan kue pertumbuhan ekonomi untuk mensejahterakan suluruh warga dunia secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Itulah yang kita yakini sebagai ekonomi Islam. Ekonomi syariah, yang insya Allah sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Alhamdulillah, di tengah sistem kapitalisme liberal yang semakin destruktif, perkembangan sektor keuangan syariah di Indonesia semakin baik. Refinitiv mencatat, peringkat Islamic Finance Development Indicators (IFDI) Indonesia tahun 2019 naik ke posisi empat dunia dari sebelumnya peringkat kesepuluh. Peringkat pertama Malaysia, kemudian Bahrain dan Uni Emirat Arab. Hal ini dikemukakan Proposition Manager Islamic Finance Team Revinitiv Thomson Reuters, Shaima Hassan, di Jakarta (12/11/2019).
Ada lima indikator keuangan syariah suatu negara menurut IFDI yaitu pertumbuhan kuantitatif, pengetahuan, tata kelola, kesadaran, dan Corporate Social Responsibility (CSR).
Kerjasama Indonesia-Malaysia
Indonesia-Malaysia pernah mengadakan pertemuan besar dalam rangka kerjsama perekonomian. Waktu itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengadakan pertemuan bilateral dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Sri Mohammad Najib Tun Abdul Razak di Istana Wakil Presiden, Jakarta (8/12/2004).
Pertemuan itu dihadiri Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Panglima TNI dan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia. Sedangkan dari pihak Malaysia, juga dihadiri oleh Menteri Pertahanan dan sejumlah Menteri terkait lainnya.
Alhamdulillah, lebih konkret lagi, perusahaan-perusahaan dari dua negara serumpun telah bekerjasama membangun kawasan pusat keuangan syariah internasional di wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Jakarta Utara.
Pada Ahad (08/12/2019), dilakukan pemancangan perdana (ground breaking) pembangunan gedung kembar Menara Syariah tersebut.
Semoga hasil diskusi Forum Ekonomi Manusiawi ini, turut mendorong akselerasi kerjasama kedua negara.
*) Sambutan pada Forum Ekonomi Manusiawi – Komparasi Negeri Jiran, Alternatif Tata Kelola Ekonomi Inklusif, Zakat dan Wakaf di Gedung Menara Dakwah Jakarta 27-02-2020