Wakil Ketua DPR tersebut menilai, pemerintah terlalu berorientasi pada pembangunan infrastruktrur. Sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial dikesampingkan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hari ini, Jumat (20/10), tepat tiga tahun usia pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyampaikan bahwa tentu pemerintah akan menyampaikan cerita tentang keberhasilan dalam bentuk angka-angka. Sementara pihak-pihak lain, bisa memberi catatan kritis termasuk menyampaikan keadaan yang sesungguhnya.
“Ada sejumlah hal yang perlu diapresiasi dari pemerintah dalam tiga tahun terakhir. Misalnya, keseriusan pemerintah melakukan debirokratisasi perizinan dalam usaha. Peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business, EoDB) kita saat ini sudah naik ke posisi 40 dari sebelumnya 106. Itu capaian penting yang baik. Antara agenda dengan capaian bisa disebut berhasil,” kata Fadli dalam sebuah diskusi di Komlek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Sayangnya, lanjut Fadli, masih banyak yang tak tercapai bahkan terjadi kemunduran. Pertama, dalam bidang demokrasi. Dalam catatan dia, di masa Presiden Joko Widodo ini Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terus-menerus turun. Pada tahun 2014, IDI masih berada di angka 73,04. Angka itu kemudian terus turun menjadi 72,82 (2015). Dan kemudian turun lagi jadi 70,09 (2016). Menurut BPS, penurunan IDI pada 2016 disumbang oleh turunnya 3 aspek demokrasi, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, lambaga-lembaga demokrasi. Indikator ketiganya turun semua.
“Kita bisa melihat sendiri fakta turunnya kebebasan sipil dan hak-hak demokrasi itu. Kalau ada yang kritis terhadap pemerintah itu langsung ditangkap. Seperti yang terjadi pada Saudara Jonru. Menurut saya itu merupakan ketidakadilan yang sangat mencolok. Ini merupakan tanda bahwa pemerintahan Jokowi sangat represif dan otoriter,” tegas Fadli.
Dari sisi lembaga demokrasi, sambungnya, penerbitan Perppu Ormas bisa mengancam lembaga demokrasi. Itu sebabnya Partai Gerindra menolak Perppu yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, Perppu itu jangan hanya dilihat vis a vis ormas yang dianggap anti Pancasila, namun harus dilihat bahwa Perppu tersebut memberi pemerintah kewenangan sepihak untuk membubarkan organisasi-organisasi yang tak sehaluan dengannya tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu.
“Demokrasi itu dilindungi konstitusi dan hukum, serta bekerja melalui instrumen hukum, iadi tak bisa proses hukum digergaji hanya demi kepentingan rezim yang berkuasa,” terang politisi Partai Gerindra itu.
Kedua, dalam bidang politik. Dalam tiga tahun terakhir masyarakat kembali menyaksikan adanya praktik pecah-belah terhadap partai politik, hal yang dulu di ingat hanya terjadi di masa Orde Baru. Kubu yang tidak pro terhadap pemerintah tidak diakui keabsahannya meskipun mereka, misalnya, menang di pengadilan. Ini bentuk kemunduran politik.
“Ketiga, dalam bidang hukum. Saya menilai bahwa pemerintah ini sering sekali membolak-balikan opini hukum demi untuk membela kepentingannya sendiri. Coba saja lihat kasus reklamasi Teluk Jakarta. Tahun lalu, demi melegitimasi Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang pro terhadap reklamasi, pemerintah menyatakan bahwa kewenangan reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jadi, orang tak boleh memprotes kewenangan Gubernur Basuki terkait reklamasi,”.
“Nah, sekarang, begitu gubernurnya ganti dan mengusung agenda menghentikan reklamasi, pendapat pemerintah pusat berubah lagi, yaitu meminta agar gubernur baru tunduk kepada keputusan pemerintah pusat yang telah memutuskan untuk melanjutkan reklamasi. Ini jelas mempermainkan hukum dan akal sehat,” ungkap Fadli.
Inkonsistensi dalam penegakkan hukum, kata Fadli, dapat di lihat dalam kebijakan pertambangan dan renegosiasi kontrak karya yang berubah-ubah hanya demi menyenangkan kepentingan investor. Hukum dijadikan permainan, bukan ditegakkan.
“Keempat, dalam bidang ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang diklaim oleh pemerintah bisa jadi trigger untuk menggerakkan ekonomi, atau menyerap tenaga kerja, terbukti tidak terjadi. Dari data yang saya pegang, sektor industri logam dasar justru tumbuh negatif -3,06% pada kuartal I 2017. Industri logam tumbuh di bawah 1% adalah sebuah keanehan di tengah maraknya Proyek infrastruktur. Kita jadi bertanya-tanya, Ialu dari mana besi dan baja yang digunakan untuk membangun jembatan, jalan tol, dan rel kereta api?,” tanyanya.
Pembangunan infrastruktur, menurut Fadli, memang aneh, karena sejak awal dilakukan tanpa konsep dan strategi, sehingga hasilnya adalah anomali. Bagaimana bisa konsumsi semen secara nasional turun, padahal pemerintah sedang menggalakkan proyek infrastruktur? Dalam periode Januari hingga Juni 2017, konsumsi semen kita turun 13%, dari sebelumnya 29,4 juta ton, turun menjadi 28,9 juta ton. Padahal anggaran infrastruktur dalam RAPBN 2018 semakin dinaikan.
Begitu juga dengan klaim penciptaan Iapangan kerja. Penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru anjlok dari 8,21juta orang (2015) menjadi 7,98 juta orang (2016). Artinya, terjadi pengurangan penyerapan tenaga kerja sebesar 230 ribu orang di sektor konstruksi. Jadi, tenaga kerja mana yang sebenarnya diserap oleh pembangunan infrastruktur.
“Catatan lain, meskipun pemerintah mengklaim banyak melakukan pembangunan infrastruktur, namun peringkat logistik Indonesia selama pemerintahan Jokowi justru terus mengalami penurunan. Menurut data World Bank, pada 2013 Indonesia menempati peringkat 53, namun pada 2016 kita hanya menempati peringkat 63,” ucap Fadli.
Fadli Zon mengingatkan ada banyak hal yang telah dikorbankan untuk membangun infrastruktur. Salah satunya adalah anggaran subsidi, yang selama Presiden Joko Widodo berkuasa anggaran subsidi telah dipotong hingga lebih dari 60 persen.
“Saya ingin mengingatkan kembali pemerintah bahwa salah satu agenda yang mereka cantumkan dalam Nawacita adalah agenda untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat sejak awal pemerintahan ini, terutama subsidi energi, telah memukul daya beli masyarakat. Rendahnya angka inflasi dalam tiga tahun terakhir bukanlah indikator yang menggembirakan, karena di baliknya ada faktor penurunan konsumsi dan daya beli masyarakat,” tegas Fadli.
Secara keseluruhan, dia menilai jika raport pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla masih merah. Istilahnya, kelihatan banyak keria, tapi miskin kinerja. Kerja pun hasilnya tak dirasakan rakyat karena semakin banyak masyarakat merasa kehidupan makin sulit, cari kerja makin susah.
“Harusnya dilihat lagi ceklis yang menjadi janji-janji itu, sehingga pemerintah melihat multi player effect atau trikle down effect. Saya melihat persoalan Jokowi adalah manajemen. Jokowi terlalu one man one show. Mulai dari pekerjaan menjadi Presiden, menjadi Gubernur, menjadi Walikota sampai menjadi RT semuanya dilakukan. Padahal sebagai Presiden seharusnya dia bekerja seperti Dirjen,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi