Beberapa hal menjadi sorotan FSGI tentang sistem dan kualitas pendidikan bangsa Indonesia.
Wartapilihan.com, Jakarta –Federasi Serikat Guru Indonsia (FSGI) merilis beberapa catatan pendidikan Indonesia sepanjang 2017, diantaranya kebijakan Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peseta Didik Baru (PPDB) yang langsung diterapkan 100% di seluruh Indonesia, kebijakan kontroversi “Lima Hari Sekolah” yang populer dengan istilah Full Day School dan kekerasan di pendidikan yang semakin masif dan mengerikan, baik yang dilakukan sesama siswa maupun dilakukan guru.
Sekjen FSGI Heru Purnomo kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com), menuturkan, kebijakan sistem Peneriman Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi menuai banyak masalah di daerah, karena diberlakukan menyeluruh di Indonesia tanpa melalui pertimbangan data kecukupan sekolah negeri di suatu lokasi yang ditentukan sebagai zonasi. Kebijakan dituangkan dalam Permendikbud 17 tahun 2017 tentang sistem PPDB.
“Banyak kabupaten/kota yang ternyata hanya sedikit sekolah negerinya. Ketika zonasi dilakukan, maka ada beberapa kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, misalnya Gresik, Akibatnya, anak-anak di kecamatan tersebut hanya memiliki peluang 5% saja diterima di sekolah negeri dari kecamatan yang terdekat. Ketentuan batas usia maksial dalam sistem PPDB online juga membuat sejumlah siswa di Tangerang tidak diterima di SMPN 3 karena usianya sudah lebih dari 15 tahun meskipun nilainya tinggi dan tempat tinggalnya berada di zona ring satu,” ujarnya di Jakarta, Selasa (26/12).
Selain itu, kata dia, kebijakan yang popular dengan istilah Full Day School yang selanjutnya dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah. Pro kontra kemudian diakhiri oleh Presiden dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Menurutnya, penilaian PPK yang langsung wajib diimplementasikan tahun ajaran 2017/2018 juga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi guru dan sejumlah sekolah. Misalnya, hampir di seluruh SMA unggulan di kota Mataram, NTB tidak bisa bagi rapor pada sabtu, 16 Desember 2017 lantaran para guru kesulitan menyelesaikan proses penilaian yang sangat rumit.
“Implementasi PPK oleh guru-guru di sekolah banyak mengalami kendala. Dikarenakan sangat minimnya guru mendapatkan pelatihan dari pemerintah, apalagi pelatihan terkait pengintegrasian PPK dalam Kurikulum 2013. Sehingga PPK tersebut hanya sekedar muncul secara administratif dalam dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru. Tapi sukar bahkan tidak dalam implementasinya,” paparnya.
Lebih lanjut, Heru menjelaskan, kekerasan di Pendidikan terjadi semakin masif dan mengerikan. Di Sukabumi, siswa kelas 3 SD yang bernama SR (9 tahun) tewas setelah terlibat perkelahian dengan temannya di belakang sekolah. Meski berdasarkan hasil otopsi, kematian SR bukan disebabkan oleh pukulan temannya, akan tetapi pukulan tersebut mengakibatkan SR terjatuh dan pingsan. Karena SR memiliki sakit bawaan berupa pengentalan darah, maka posisi jatuh tersebut mengakibatkan darah yang kental tidak bisa mengalir secara lancar.
“Di Lombok Barat, KPAI dan SGI Mataram pernah menerima laporan terkait kasus pemukulan terhadap sejumlah siswa yang kerap dilakukan oleh seorang oknum guru. Bahkan, kekerasan tersebut diam-diam ada yang merekam dan menjadi barang bukti. Uniknya, guru tersebut justru menjadi andalan kepala sekolah dalam menertibkan para siswa. Kepala Sekolah justru sangat menaruh hormat dan kebanggan terhadap guru tersebut,” ungkap Heru.
Sebelumnya, ujar Heru, kasus buku pelajaran yang menuai kontroversi lantaran lemahnya kontrol dan penilaian buku oleh Pusbukkur Kemendikbud RI. Ada sejumlah masalah terkait buku pelajaran seperti lolosnya buku berisi ajaran radikalisme, buku yang berisi konten kekerasan dan pornografi. Terakhir yang sangat heboh adalah kekeliruan penulisan buku IPS SD kelas VI terkait penyebutan Yerusalem sebagai ibukota Israel, ini sangat memprihatinkan karena buku tersebut lolos penilaian perbukuan dalam program “bse” (buku sekolah elektronik) oleh pusat perbukuan Kemdikbud RI.
Heru menilai, kualitas pendidikan Indonesia masih jeblok menurut indikator PISA. PISA adalah singkatan dari Programme for International Students Assessment. Program ini digagas oleh the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). OECD melakukan evaluasi berupa tes dan kuisoner pada beberapa negara yang ditujukan pada siswa-siswi yang berumur 15 tahun atau kalau di Indonesia sekitar kelas IX atau X.Dari hasil tes dan evaluasi PISA yang termutakhir, performa siswa-siswi Indonesia masih tergolong sangat rendah. Berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Peringkat dan rata-rata skor Indonesia tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil tes dan survei PISA terdahulu pada tahun 2012 yang juga berada pada kelompok penguasaan materi yang sangat rendah. Materi yang dievaluasi adalah sains, membaca, dan matematika.
“Bukti ini menunjukkan bahwa performa pendidikan nasional kita belum beranjak naik signifikan. Program literasi nasional yang dikembangkan pemerintah relatif bersifat formalitas dan administratif belaka. Buku-buku yang berkualitas belum hadir di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Budaya baca bagi guru masih belum berkembang. Sehingga akses literasi guru dan siswa jauh dari kata sempurna, apalagi jikalau bicara budaya membaca, rasanya masih jauh,” katanya.
Dia menandaskan, tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang kerap disebut tunjangan sertifikasi terkait perubahan kode mata pelajaran akibat kebijakan Kurikulum 2013, yang banyak menimpa para guru SMK, seperti Kepala SMK dan para guru SMK. Banyak guru SMK terutama mata pelajaran produktif mendapatkan SK tunjangan profesi yang memiliki tenggat waktu 1 bulan yaitu bulan juni 2017, sehingga muncul persepsi hanya cair satu bulan dari masa pencairan Januari s/d Juni. Seharusnya menerima 6 x gaji pokok, tetapi akhirnya di Tasikmalaya banyak guru dan Kepala Sekolah SMK hanya mendapat 1 bulan TPP, artinya tunjungan yang 5 bulan tidak cair. Ditanyakan di Unit Layanan Terpadu Kemdikbud, jawabannya itu berlaku untuk 6 bulan januari sampai Juni, namun semuanya diserahkan kepada pengelola di Disdik Provinsi tentang pencairannya.
“Sosialisasi konversi mata pelajaran (mapel) kurang mendalam sehingga ada salah persepsi di beberapa rekan dan operator, beberapa diantaranya ada yang berpersepsi semua peserta setifikasi 2007 s.d 2009 harus konversi mapel, padahal tidak harus semua,” ucapnya.
“Kami merekemondasikan pemerintah mesti melakukan pemetaan yang utuh, valid dan komprehensif terkait jumlah terkait pembagian zonasi sehingga, kecamatan yang tak memiliki sekolah negeri mendapatkan akses yang sama utuk bersekolah di negeri. Pemerintah haru memiliki data yang pasti terkait sekolah negeri yang terdapat di suatu kecamatan atau zona tersebut. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah pusat melakukan sosialisasi dengan waktu yang cukup atau jauh-jauh hari yang melibatkan seluruh kepala dinas se-Indonesia, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi,” saran Heru.
Kedua, pemerintah mesti melakukan evaluasi sistem penilaian berbasis PPK dalam Kurikulum2013, karena kurangnya sosialisasi, waktu yang mepet menginput nilai dan banyaknya indikator untuk mengukur sikap spiritual dan sosial, sehingga penilaian terkesan asal-asalan dan kurang valid. Harus ada model erapor yang mempermudah guru dalam menginput nilai, bukan malah sebaliknya seperti yang terjadi sekarang.
“Ketiga, guru-guru harus diberi pelatihan cara mencegah dan menangani kekerasan di sekolah, karena banyak guru dan kepala sekolah gagap dalam menghadapi kekerasan di sekolah. Selain itu pemerintah harus melakukan percepatan dan sosialisasi program sekolah ramah anak,” tukasnya.
Keempat, pemerintah harus memberdayakan Pusat Kurikulum dan Perbukuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mengontrol buku-buku pelajaran agar berkualitas agar tidak mengandung konten kekerasan dan pornografi.
“Semoga kualitas dan perbaikan pendidikan kita ke depan menjadi lebih terwujud,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi