Empat tahun Pemerintahan Jokowi-JK dalam memimpin sebuah negara yang punya beragam permasalahan. Namun hingga hari ini banyak kebijakan dan keputusan yang diambil dalam periode kekuasaannya belum menjadi solusi atas segala aspek permasalahan bangsa.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Lapangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Deni Setiadi. dia mengatakan, empat tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi kepala negara yang tega membawa rakyatnya dalam genangan penderitaan.
“Tak ada hentinya KAMMI menemukan berbagai macam solusi – solusi aneh yang ditawarkan pemerintah saat ini. Di saat kondisi negara sedang panen raya, Impor pangan merajalela.
Di saat Kejahatan terhadap uang negara menggelora, Hukum terasa disandera, serta masih banyak lagi hal-hal yang mengakibatkan perpecahan dan memperlebar jurang kesenjangan sosial di era saat ini,” tutur Deni, (22/10/2018), di Jakarta.
salah satunya, masalah utang luar negeri yang terus naik. Pada akhir Agustus 2018 tercatat sebesar USD 360,7 miliar atau Rp 5.484 triliun (estimasi kurs 15.206 per dolar AS). Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 181,3 miliar atau Rp 2.756 triliun dan utang swasta termasuk BUMN sebesar USD 179,4 miliar atau Rp 2.727 triliun.
Analisa Moody’s dari Bloomberg pada Mei 2018 bahwa Indonesia dalam kondisi berbahaya jika dilihat dari jumlah utang luar negerinya. Terlebih, dia melanjutkan, lagi utang pemerintah digunakan untuk membayar utang dan gaji, ini semakin membuktikan bahwa kinerja pemerintahan saat ini cenderung mengalami kemerosotan dalam pengelolaan negara.
“Rakyat tidak dapat dibohongi dengan angka-angka yang diciptakan oleh pemerintah, tapi rakyat dapat merasakan secara langsung efek dari kebijakan-kebijakan yang dilontarkan pemerintah,” tegas dia.
Demikian juga dengan sengkarut kebijakan impor beras. Ketidakkompakan birokrasi secara nyata dipertontonkan melalui perseteruan antara Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog). Kemendag ngotot impor, sedangkan Bulog menolaknya.
Data Angka Ramalan (ARAM) I 2018 BPS yang menyebut, produksi padi diperkirakan meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 83,0 juta. Mengacu data produksi ini, diperkirakan pada 2018 produksi beras mencapai 48 juta ton, sementara kebutuhan beras dalam negeri sekitar 30 hingga 33 juta ton per tahun.
“Ini menunjukkan produksi dalam negeri sudah jauh melebihi kebutuhan dalam negeri. Stok beras tidak hanya ada di gudang Bulog, tetapi juga ada di rumah tangga, industri, hotel, restoran, dan katering. Sehingga Indonesia tidak perlu lagi harus Impor Beras, namun fakta yang terjadi Kemendag tetap ngotot dengan kebijakan Impor Beras, ada apa?” ia mempertanyakan.
Masalah lainnya, Deni menjelaskan, pemerintah saat ini telah gagal paham dalam mengamalkan sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak adanya satu kasus pun pelanggaran HAM masa lalu yang diselesaikan tuntas selama pemerintaan ini.
Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas. Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita. Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
Kemudian, kata dia, Jokowi juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu disebutkan pula delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi beban sosial politik.
“Kedelapan kasus tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk, dan Tragedi 1965. “Para pelanggar HAM itu telah menyatakan mendukung jokowi. Itulah kenapa kasus-kasus pelanggaran HAM berat hingga kini berakhir dengan nol besar,” telisiknya.
Masalah Tenaga Kerja Asing juga semakin membuat rakyat jengah. Peraturan Presiden (Perpres) No 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) itu cenderung mempermudah masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia.
Padahal, kata dia, masih banyak tenaga kerja lokal masih butuh lapangan pekerjaan. Walaupun Pemerintah butuh tenaga kerja asing untuk menarik investasi dan tenaga ahli ke Indonesia, namun, peraturan itu akan menimbulkan dampak negatif lebih besar. Termasuk keterbatasan kemampuan pemerintah mengawasi.
“Bisa saja, orang-orang itu diiringi barang-barang ilegal, termasuk narkoba Selain itu, tidak ada jaminan tenaga kerja asing mendongkrak investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja.
Padahal, pemerintah juga punya pekerjaan rumah untuk menekan angka pengangguran. Apalagi, jumlah pengangguran masih menjadi persoalan utama. Karena itu, kalau tenaga kerja asing dipermudah masuk, berarti persoalan pengangguran belum terselesaikan,” tukas Deni.
Selanjutnya, Deni menjelaskan, masih ada permasalahan soal narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan bahwa bandar narkoba yang tertangkap sampai saat ini baru 20%. Sisanya masih berkeliaran mengoperasikan jejaring peredaran narkoba di semua golongan usia dan profesi. Ironisnya, bandar yang sudah dipenjara pun masih bisa mengatur bisnis ilegal dari balik bui.
Sementara jumlah pengedar dan gembong narkoba yang ditangkap masih sangat sedikit. Kerugian negara mencapai puluhan triliun setiap tahunnya. Narkoba juga menyebabkan kriminalitas, seks bebas, dan penyebaran penyakit seperti HIV.
“Dampak narkoba ini begitu parah. Seperti di Depok beberapa pekan lalu, seorang anak tega membunuh ibunya lantaran tidak diberi uang untuk membeli narkoba. Rata-rata ada sekitar 30 orang meninggal setiap hari karena narkoba. Ini menjadi Pekerjaan Rumah yang serius yang harus diselesaikan oleh Pemerintahan saat ini,” pungkasnya.
Seperti diketahui, pada hari ini, KAMMI melakuka demonstrasi di depan Istana Negara pada pukul 12.30 hingga selesai. Mereka hendak menyampaikan langsung aspirasinya terhadap pemerintah.
Eveline Ramadhini