Ekonomi Indonesia Di Jurang Krisis?

by
Presiden Jokowi. Foto: Istimewa

“Anggapan bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dan mencoba memoles-moleh data ekonomi makro yang ada justru menjadi bumerang dan bisa menjadi sikap lengah dan kemudian bisa menjerumuskan ekonomi Indonesia betul-betul ke jurang krisis,” ujar Didik.

Wartapilihan.com, Jakarta — Ekonom senior INDEF Didik Rachbini mengatakana, pelemahan nilai tukar sudah terjadi 4-5 tahun yang lalu dan praktis tidak ada upaya kebijakan yang signifikan dan cukup serius untuk menahan laju pelemahannya selama 4 tahun terakhir ini.

Menurut dia, kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah Jokowo-JK tidak dapat mengatasi pelemahan nilai tukar tersebut. Nilai tukar terkuat 5 tahun lalu berada pada kisaran 9 ribu rupiah per dollar AS dan sekarang mencapai 15 ribu rupiah per dollar AS.

“Jadi kalau tidak diambil periode sepotong, maka pelemahan nilai tukar selama ini mencapai tidak kurang dari 60 persen. Data yang dipakai sepotong untuk memoleh pelemahan nilai tukar adalah 8 persen dihitung cuma beberapa bulan terakhir saja,” ujar Didik di Jakarta, Senin (17/9).

Didik menjelaskan, praktek memoles data untuk agar dilihat bagus oleh publik sudah terjadi secara terus-menerus sehingga lupa untuk membuat kebijakan makro yang nyata dan fokus pada masalah. Pelemahan nilai tukar selama 4 tahun terakhir adalah pelemahan yang terjelek.

“Lalu muncul kontroversi mendadak tanpa melihat proses yang terjadi sebelumnya. Kontroversi apakah Indonesia akan mengalami krisis seperti tahun 1998 sangat mengemuka sebagai diskusi publik. Yang satu menganggap bahwa nilai tukar sudah masuk ke dalam kawah panas krisis seperti tahun 1998, sementara ekstrim pihak satunya menganggap ekonomi baik-baik saja dan krisis tidak akan terjadi,” katanya.

Namun, lanjut Didik, di dalam kontroversi tersebut terus keluar kampanye make up dan pencitraan terus-menerus tanpa mau fokus ke permasalahan sebenarnya. Pelemahan nilai tukar yang dalam sekitar 60 persen selama 4 tahun terakhir ini adalah tanda bahwa kebijakan makro tidak pruden, tetapi karena pencitraan publik melihat kebijakan yang ada begitu pruden.

“Persoalannya bukan pada kontroversi tersebut dimana satu pihak sudah menganggap Indonesia siap masuk jurang krisis. Kondisinya memang berbeda dimana ekonomi pada tahun 1998 bercampur aduk dengan kepenatan politik terhadap kekuasaan yang sudah lama bertahta dan tidak tahu kapan ujung selesai dan pergantiannya,” jelas dia.

Menurutnya, saat ini sistem ekonomi politik Indonesia lebih terbuka sehingga semua kemungkinan terlihat secara transparan. Tetapi hal ini tidak otomatis ekonomi Indonesia bebas krisis dan nilain tukar terkendali.

“Anggapan bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dan mencoba memoles-moleh data ekonomi makro yang ada justru menjadi bumerang dan bisa menjadi sikap lengah dan kemudian bisa menjerumuskan ekonomi Indonesia betul-betul ke jurang krisis,” kata Didik mengingatkan pemerintah.

Semestinya, kaya Didik, pelemahan nilai tukar tidak kurang dari 60 persen selama beberapa tahun tersebut secara otomatis dapat menahan laju impor sehingga bisa memperkuat neraca perdagangan maupun neraca berjalan. Tetapi apa yang terjadi, kedua neraca yang sangat penting tersebut jebol karena memang terjadi kekosongan kebijakan ekonomi untuk menahan tekanan eksternal terhadap sektor eksternal dari ekonomi Indonesia.

“Ketika rupiah terpuruk ke puncak 15 ribu rupiah per dollar, maka make up yang dilakukan adalah faktor eksternal. Ekonomi Indonesia baik-baik saja. Anehnya, yang diterima publik betul-betul make up dan pencitraan tersebut,” ujar Didik, heran.

Didik menjelaskan, ekonomi Indonesia punya masalah akut yang tidak mampu diperbaiki dan tidak ada kebijakan sistematis untuk mengatasinya selama ini, yakni defisit neraca berjalan. Inilah sesungguhnya penyakit struktural yang tidak diatasi dan tidak pernah dicoba untuk dikurangi “magnitute” defisitnya.

“Pemerintah membiarkan saja penyakit struktural ini terus berjala sembari melakukan make up dengan menyatakan bahwa pengelolaan makro ekonomi dilakukan secara sangat berhati-hati dan pruden,” katanya.

“Padahal, defisit neraca berjalan tahun lalu mencapai tidak kurang dari 17,3 milyar dollar AS dan tahun depan diperkirakan lebih dari 24 milyar dollar AS jika kebijakan ekonomi dilakukan secara enteng seperti sekarang (as usual),” sambungnya.

Didik menjelaskan, penyakit struktural selain defisit neraca jasa, sudah menjangkiti neraca perdagangan dimana pada saat ini mengalami defisit perdagangan tidak kurang dari 3 milyar dollar.

“Jadi, penyakit struktural ini jangan dianggap enteng dengan mengatakan kebijakan makro ekonomi sudah dijalankan secara berhati-hati dan pruden. Selama indikator makro tersebut memburuk, maka seribu kata pruden dan berhati-hati tidak akan punya makna karena ekonomi akan terus memburuk. Tetapi karena hebatnya penguasaan media dan media sosial, maka kebijakan yang ada dinilai sangat berhati-hati dan prudent,” paparnya.

Selain sektor luar negeri, lanjut Didik, sektor pemerintah juga mengalami masalah yang sama, yakni defisit primer anggaran APBN. Defisit ini artinya, APBN untuk membiayai pengeluarannya sendiri tidak cukup, apalagi untuk membayar utang. Karena kedalaman defisit ini, maka pemerintah harus mencari utang untuk tidak hanya menutup utang itu sendiri, tetapi juga menutup defisit dirinya sendiri.

“Karena itu, utang yang harus dibayar bunga dan pokoknya semakin besar dari tahun ke tahun. Pembayaran bunga tidak bisa dihindari, tetapi pembayaran pokok diurai ke depan dan ditunda pembayarannya sehingga akan menjadi beban pada pemerintahan selanjutnya,” jelas Didik.

Apakah dengan kondisi seperti ini bisa dikatakan prudent dan sangat berhati-hati? Menurut dia, ekonom yang jernih jelas akan mengatakan tidak. Tetapi ekonom yang bisa berbohong dengan statistik pasti bisa menampilkan sisi lain seolah indikator kelihatan bagus.

“Presiden terlihat belum menyadari bahwa ekonomi sakit, mungkin karena para menterinya menyodorkan data yang dipoles atau dilihat dari sisi khusus sehingga ekonomi tidak kelihatan sakit,” terangnya.

Padahal, simpul dia, jika dilihat dari data di atas, maka Indonesia sebenarnya sekarang tengah mengalami penyakit kritis ganda empat bidang, yakni: defisit neraca jasa, defisit neraca berjalan, defisit neraca perdagangan, dan sekaligus defisit primer APBN. Indikator kritis ini adalah tanda-tanda ekonomi Indonesia bisa dan bukan tidak mungkin masuk ke dalam jurang krisis.

“Jangan bermain dan bohong dengan statistik sebab itu buruk untuk mencari solusi kebijakan yang sesungguhnya. Lebih baik kita mengatakan sakit sehingga kita bisa mencari obatnya daripada mengatakan tidak sakit padahal sakit sehingga lupa mencari obatnya,” pungkas Ketua Dewan Pengurus LP3ES ini.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *