Dewan Pakar ICMI: Keputusan Politik, Kunci Penanganan Terorisme

by

WARTAPILIHAN.COM, Jakarta – Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Anton Tabah Digdoyo mengatakan, peristiwa yang terjadi di Gedung WTC, Pentagon, Amerika Serikat 2001 silam dapat diatasi dengan singkat dalam waktu 19 hari dengan membuat keputusan politik yang melibatkan seluruh pihak. Mulai dari lembaga seperti di Indonesia mulai dari eksekutif, legislatif, Menlu, Menhan sampai Mendagri.

“Keputusan politik adalah demokrasi yang paling humanis diikuti oleh seluruh dunia. Sekecil apapun konflik, tentara tidak boleh dilibatkan ke dalam wilayah sipil, kecuali dengan keputusan politik,” kata Anton saat diskusi akhir pekan di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu (3/6).

Lebih lanjut, Anton menjelaskan, program deradikalisasi selama ini tidak efektif, MoU Polri dengan salah satu ormas harus di evaluasi. Sebab, nanti Polri akan kewalahan harus melakukan MoU dengan seluruh organisasi masyarakat yang ada.

“Seharusnya Polri MoU dengan MUI, karena MUI payungnya ormas-ormas Islam. Pembahasan revisi undang-undang terorisme menurut saya sangat bertele-tele. Seperti pasal Guantanamo, melibatkan tentara dalam memberantas terorisme, itu harus mempertimbangkan aspek yurisprudensi dan yurisprudiksi,” ujarnya.

Menurutnya, keputusan politik walaupun hanya dua tahun, tetapi memberikan implikasi yang luar biasa. Berbeda dengan undang-undang yang permanent, ketika membutuhkan revisi memerlukan waktu lama ditambah ada kepentingan-kepentingan politik di dalamnya.

“Jadi kita masih sibuk pasal demi pasal, sedangkan para teroris sudah melakukan persiapan dengan matang. Kalau dikatakan intoleran merupakan benih radikal tidak benar juga, sebab ada perintah Ilahiyah yang memang harus dijalankan seperti memilih pemimpin yang seiman,” tandasnya.

Dalam kesempatan sama, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan bahwa sikap intoleran antar anak bangsa ataupun umat beragama menurutnya adalah benih munculnya pemikiran dan gerakan radikal.

“Semua stake holder harus paham intoleransi ini. Intoleransi, radikalisme dan terorisme adalah suatu rangkaian. Hal ini harus dipahami supaya kita tidak mendapatkan resida-residu terorisme. Teroris adalah ancaman nyata bernuansa global, oleh sebab itu terorisme bisa menyasar kepada kita sepad,” kata Setyo.

Penanganan secara kekerasan dalam kasus terorisme, lanjut Setyo hanya 10%, selebihnya sebesar 90% menggunakan penanganan secara intelejen. Namun apabila kapasitas Polri tidak sebanding dengan para teroris tidak menutup kemungkinan Polri akan meminta BKO (bantuan kendali operasi) kepada TNI seperti kasus Santoso.

“Contoh di gunung dan laut, Kepolisian tidak mempunyai kemampuan itu. Oleh sebab itu kemampuan tersebut dimilik TNI, maka TNI yang main. Ini perlu kita pahami bersama bahwa revisi UU merupakan kebutuhan bukan kepentingan,” pungkasnya.

Reporter: Satya Wira