Efek penilaian positif masyarakat terhadap kinerja Presiden akan menentukan peta kekuatan partai politik pada pemilu mendatang.
Wartapilihan.com, Jakarta –Tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, rakyat Indonesia akan mengevaluasi dan memberikan sanksi politik pada kekuatan politik dan paling strategis lewat pemilihan umum tahun 2019 mendatang. Kekuatan politik utama tersebut adalah partai politik dan jabatan presiden.
“Sampai saat ini belum ada tokoh lain yang kompetitif terhadap Jokowi. Kecuali lawan lama yaitu Prabowo, dan itu pun cenderung stagnan. Sementara, meskipun belum ada dukungan kompetitif, dukungan terhadap Jokowi terus mengalir,” kata Direktur Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) Jayadi Hanan dalam penyampaian survey nasional ‘Kecenderungan Dukungan Politik, Tiga Tahun Presiden Jokowi’ di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (5/10).
Dia menilai, selama tiga tahun mantan Walikota Solo itu menjadi Presiden, kondisi politik, penegakan hukum, ekonomi, keamanan, dan ketertiban lebih positif dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Ditambah, kinerja Presiden dalam menanggulangi berbagai masalah. Diantaranya harga kebutuhan pokok, layanan kesehatan, sarana ransportasi, terorisme, pemberantasan korupsi, kesejahteraan rakyat, kesenjangan antara Indonesia Barat dan Timur, membangun wilayah perbatasan, membangun jalan tol, dan membangun jalan trans antar provinsi.
“Tetapi pemerintah memiliki sejumlah PR ke depan yang harus diselesaikan. Aspek terendah Jokowi terkait dengan ekonomi riil yaitu mengulangi pengangguran, harga barang kebutuhan pokok, mengurangi kemiskinan, dan lapangan kerja,” tambahnya.
Sebab, jelas dia, dukungan yang semakin besar pada Jokowi sebagai petahana tidak bisa dipisahkan dari persepsi rakyat terhadap kinerjanya sebagai presiden. Karena itu, dukungan pada Jokowi akan melemah ke depan bila kerjanya dinilai rakyat memburuk.
“Ada dukungan yang menguat antara dukungan kepada partai dan dukungan kepada presiden. Penilaian ekonomi politik yaitu Partai yang Presidennya baik, maka elektabilitas partainya meningkat. Termasuk petahana,” imbuhnya.
Wakil Sekjen Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin mengapresiasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Namun, kata dia, tidak boleh ada klaim sepihak. Sebab, pembangunan bersifat kesinambungan dan memiliki blue print.
“Apa yang dibangun SBY selalu disebut kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Seperti jalan tol Bandung dari jaman Mega (Megawati Soekarnoputri), lalu di selesaikan pada jaman SBY. Institusi KPK misalnya. Dalam politik, mengingatkan sejarah itu penting. Mana yang sudah dicapai lalu dilanjutkan,” ujarnya.
Sebab, kata mantan Anggota DPR RI Komisi III itu, publik tidak hanya melihat apa yang sudah dibangun. Pemerintah harus menghormati dan menghargai pembangunan pada era sebelumnya, bukan klaim sepihak untuk syahwat politik menuju kontestasi akbar lima tahunan.
“Saya tidak mengatakan Pak Jokowi tidak baik, tapi mungkin ada orang di sekitarnya yang mengatakan segalanya dilakukan Pak Jokowi. Misal dana desa, dana desa di legacy pada jaman SBY. Sekarang baru di optimalkan karena baru bisa di eksekusi hari ini. Itu harusnya klaim bersama pemerintahan yang ada di parlemen. Tinggal bagaimana dana desa ini tidak di korupsi,” saran Dedi.
Dia mengingatkan pemerintahan Jokowi untuk menghormati sejarah. Terlebih, dua tahun tersisa merupakan waktu fundamental untuk bisa diperbaiki dan dijaga guna mendapat dukungan publik. Termasuk perbaikan pada faktor ekonomi riil, daya beli, keamanan dan ketertiban, pengangguran, dan kesehatan.
“Kita hormati para pendahulu sebagaimana kami menghormati Ibu Mega, Gusdur, Habibie, bahkan Pak Harto, lebih jauh termasuk proklamator Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno dan Bung Hatta kan baru di era SBY mendapat gelar pahlawan, selama Orde Baru tidak mendapatkan,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi