Tiga tahun kepemimpinan Joko Widodo, terjadi perlambatan peran KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi.
Wartapilihan.com, Jakarta –Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menilai, komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan Joko Widodo sangat lemah. Hal itu disampaikan Dahnil dalam diskusi evaluasi pemberantasan korupsi di Gedung Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Rabu (27/12).
“Saya anggap Jokowi mendorong agenda pemberantasan korupsi ke era kegelapan. Kepercayaan publik menjadi sangat lemah pada lembaga anti korupsi. Sebab dipenuhi sikap pesimisme dan ada desain besar untuk mendemoralisasi agenda pemberantasan kourpsi,” ujar Dahnil.
Dahnil menyebut, pelemahan KPK terlihat dari kriminalisasi terhadap pimpinan KPK Novel Baswedan, pemberantasan kasus e-KTP dan ketakukan lembaga anti rasuah itu ketika berhadapan dengan aparat kepolisian.
“Epicentrumnya berasal dari kantor presiden. Sederhananya kita liat ketika KPK menuntaskan korupsi e-KTP, ada keterangan Miryam mendapat tekanan dari Novel dan lain sebagainya. Itu yang jadi pijakan, tapi tidak dikoreksi dan terus melakukan kebohongan baru dengan hak angketnya,” sesal Dahnil.
“Selain itu, kasus Novel Baswedan jadi batu sandungan berikutnya. Bahkan DPR tak memberikan tanggapan positif, seperti memberi dorongan menyelesaikan kasus Novel. Tapi malah menyerang bertubi-tubi,” imbuhnya.
Dahnil menjelaskan kekhawatirannya terkait permisifisme pemberantasan korupsi. Menurutnya, dalam Islam korupsi dapat menjadi sumber kejahatan utama. Bahkan, Rasulullah menyebut tidak diterima ibadah muslim yang melakukan korupsi. Baginya, korupsi adalah kejahatan induk. Kejahatan SARA kebencian SARA, narkoba, terorisme, dan semua kejahatan berangkat dari korupsi.
“Sebut terorisme, ada dugaan rente dan praktek korupsi. Narkoba juga sama, praktek rente, bahkan para bandar narkoba bisa membayar aparat. Termasuk penegakan hukum, membandingkan korupsi seolah kasus kecil dan menciptakan permisifisme itu bebahaya. Ini PR utama pemerintah Indonesia,” pungkasnya.
Senada hal itu, aktivis Anti Korupsi Haris Azhar menjelaskan, kasus Novel Baswedan bukan kasus pertama. Publik seolah membangun indikator korupsi terkait pimpinan KPK saja. Padahal sebelum Novel banyak pegawai KPK diserang, bukan hanya subyek tapi juga barang bukti.
“Kerjaan mereka (oknum) saling mengintel. Infomasi dicuri. Itulah yang membangun secara tak sadar jadi ruang tawar menawar. Di KPK banyak orang bekerja tapi semangat mereka digadai oleh orang yang sengaja dimasukkan ke KPK. Ditukar dengan tarik-menarik kekuatan politik,” sesal Haris.
Bahkan ketika Haris bersama rekan kuasa hukum mendatangi pimpinan KPK untuk membentuk TGPF (tim gabungan pencari fakta), pimpinan KPK justru menganggap hal itu tidak perlu setelah jumpa dengan Kapolda Idham Azis. Sebab Kepolisian telah membuat sketsa kedua.
“Jahat sekali kalau begitu. Memperdagangkan mata Novel dan uang rakyat hanya karena satu sketsa. Kita harus lihat korupsi secara menyeluruh, betul soal korupsi ini bukan soal egenda, tapi kejahatan yang harus dilawan secara terpimpin oleh Presiden,” tegasnya.
Jika Presiden tidak mau paham terhadap persoalan tersebut, kata mantan aktivis Kontras ini, maka kasus itu dapat diserahkan ke fungsional, Kejagung atau Kemenkumham, meskipun problemnya berada di presiden.
“Tiga tahun sudah Jokowi jadi presiden, menurut saya sudah cukup, tujuh tahun ke depan kondisi kita akan seperti tiga tahun ini. Karena tiga tahun ini kondisi yang tepat untuk melihat proyeksi presiden. Dua tahun ke depan tida ada waktu efektif membangun komitmen baru,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi