‘’Buat orang yang rada senangan, apalagi sampe senang beneran, anak-anaknya jangan sampe gak dibawa melihat ke bawah. Jangan sampe gak diajarin nginjek bumi.’’
Wartapilihan.com, Jakarta —Ahad (21/01) Dr Fardinand Rabain mengajak istri dan ketiga anaknya jalan-jalan. Bukan ke tempat wisata atau pusat perbelanjaan seperti jamaknya keluarga menengah-atas, tapi ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Kalideres, Jakarta Barat.
‘’Kita menengok saudara-saudara kita seiman dari luar negeri, yang sedang menderita karena tidur di trotoar dan emperan,’’ ujar pakar terapi narkoba yang tinggal di Bogor itu kepada anak-anaknya.
Murtadhaa ‘Azhiimi (9 tahun), Ikram Rabbani (7), dan Akhtari Rahim (3,5), girang saja sepanjang perjalanan Bogor-Kalideres. Mereka banyak bertanya, mengapa ada orang sampai tidur di tepi jalan; Kenapa mereka sampai ke Indonesia; dan seterusnya.
Memasuki Jalan Peta Selatan, Kalideres, Fardinand mengajak keluarganya berbelanja sembako seperti beras, gula, teh, susu, dan lain-lain. Mereka juga membawakan karpet untuk alas tidur.
Sesampai di depan kantor Rudenim, Dr Fardinand Rabain memperkenalkan diri dan keluarganya kepada para pengungsi dari Afghanistan, Somalia, Sudan, Amerika Latin, dan Rohingya.
Murtadhaa, Ikram, dan Akhtari, antusias berkenalan dengan anak-anak sebayanya dari berbagai negara. Ketiga bocah turut memberikan hadiah sembako kepada pengungsi.
‘’No video, no video,’’ sergah seorang pengungsi sambil menggerakkan tangannya ketika Murtadhaa ingin merekam dengan video ponsel.
Ketiga bocah imut malah tertawa. Mereka pun menirukan ucapan dan gerakan tangan pengungsi tersebut. Si pengungsi tersenyum jadinya. Melihat ketulusan tamunya, para pengungsi mengijinkan Keluarga Fardinand memotret.
Para pengungsi yang berjumlah sekitar 60 orang itu sudah sebulan lebih menggelandang di sana. Seorang pemuda warga Jalan Peta Selatan mengungkapkan, awalnya pengungsi di depan Rudenim Kalideres hanya dua orang. ‘’Beberapa hari kemudian, datang lagi secara bertahap dan bertambah banyak,’’ tuturnya saat ditemui di sebuah warung dekat Rudenim, Senin (22/01).
Para pendatang yang terdiri dari bayi, balita, remaja, pemuda, dewasa, hingga orang sepuh, itu hidup bernaung terpal plastik di trotoar. Malam hari, yang dewasa tidur di emperan toko. Sebagian menumpang di mushola dan masjid terdekat. Untuk mandi, buang air, mereka menumpang di warung, masjid, atau mushola.
Kepala Rudenim Jakarta Barat, Morina Harahap, menjelaskan, ‘’gelandangan asing’’ itu tak mungkin diijinkan masuk Rudenim. Pasalnya, Rudenim saat ini sudah sangat over-capacity.
“Di sini kapasitas untuk 100 orang maksimal, tetapi sekarang dihuni 429 orang,” terang Morina kepada wartapilihan.com di Rudenim.
Ia menjelaskan, penghuni Rudenim adalah warga asing yang melanggar keimigrasian seperti over stay, terlibat tindak kriminal, dan sebagainya. ‘’Ada satu penghuni dari Rohingya yang terdampar di sini karena faktor kemanusiaan. Diapun mengisolasi diri dari yang lain,” ungkapnya.
Selain itu, imbuh Morina, jika pemukim trotoar diijinkan masuk maka mereka akan mengajak teman-temannya dari tempat lain. Seperti dikatakan pengungsi dari Afghanistan, Zaenal, awalnya dia bermukim di Bogor. ‘’Saya diajak teman untuk ke sini, karena katanya lebih enak di sini,’’ tuturnya dalam Bahasa Inggris.
Belum lagi, nanti akan memicu konflik dengan penghuni lain yang sudah berjejalan di dalam.
Nah, kok, Fardinand Rabain mengajak anak-anak piknik ke tempat runyam seperti itu?
‘’Buat mengasah kepekaan dan kepedulian sosial mereka,’’ terang doktor medis alumnus Western Michigan University, Amerika Serikat, kepada wartapilihan.com.
Kiat pembelajaran tersbeut dibenarkan KH Yusuf Mansur, pendiri Yayasan Daarul Qur’an.
‘’Buat orang yang rada senangan, apalagi sampe senang beneran, anak-anaknya jangan ampe gak dibawa melihat ke bawah. Jangan sampe gak diajarin nginjek bumi. Pake sepatu terus. Di mobil terus. Jangan ampe jadi orang kaya yang gak peduli sama orang miskin, orang susah, lantaran jangan kan begaul,’’ tuturnya dalam dialek Betawi.
Allah saja yang Maha Kaya, Maha Tinggi, disebut sebagai Robbul Mustadh’afiin. Tuhannya mereka yang kesusahan, yang miskin, yang menderita. Sehingga Allah senantiasa memanggil mereka agar mendekat. Sehingga bisa dibebaskan-Nya dari kesusahan, kemiskinan, penderitaan.
Untuk menumbuhkan simpati dan empati anak, lanjut Yusuf Mansur, bocah harus dikenalkan pada derita orang lain.
‘’Ungkapkan perasaan empati Anda pada orang lain. Kalau perlu menangislah di depan anak-anak, lalu ceritakan bahwa Anda sedang sedih karena ada pengungsi sebatang kara, kehilangan istri dan anak-anaknya. Selain untuk mengajarkan simpati, cara ini juga mengajak anak mengenali ekspresi kehidupan.’’
Kemudian, ajak anak untuk menghayati, seandainya aku jadi dia. Memposisikan buah hati sebagai anak lain yang sedang menderita. Dan tentunya disertai contoh konkret berbagi kepada mereka yang kesusahan.
Ahmad Zuhdi dan Nurbowo