Lepas dari kontroversi pernyataan Mentan Amran, bagaimana kehalalan keong untuk dikonsumsi?
Wartapilihan.com, Jakarta — Selasa (5/12/2017), jagat media sosial Indonesia gempar. Gara-garanya, pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran di sela inspeksi dadakan Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. Kata Pak Menteri, kalau daging sapi harganya mahal dan terbeli, ya makan tutut (keong sawah) saja. Bergizi tinggi kok.
Mungkin karena menyarankan keong sawah sebagai pengganti daging sapi dianggap ‘’down grade’’, pernyataan Mentan jadi heboh. Padahal, bukan sekali ini ia mempromosikan tutut. Pada acara Hari Pangan Sedunia ke-37 di Makodam XII Tamjung Pura, Kubu Raya, Kalimantan Barat, 19 Oktober 2017, Menteri Amran mengatakan makanan lokal sangat sehat dan diversifikasi akan terus digalakkan.
“Pangan lokal sangat mudah didapatkan, kalau mau ubi tinggal ambil di kebun, kalau mau sayuran tinggal petik, mau ayam tinggal pelihara sendiri, kalau mau keong tinggal ambil di rawa. Semua sehat dan bergizi tinggi,” ujar Pak Menteri.
Terlepas polemik pernyataan Mentan tersebut, bagaimana tinjauan hukum mengonsumsi keong?
Keong ada dua jenis. Yang hidup di darat, biasa disebut bekicot (Halzuun barriy, Helix sp, Achatina Sp). Yang di air disebut keong (Al-Halazun, Bellamya javanica/ Viviparus javanica).
Keong sawah (Pila ampullacea) adalah sejenis siput air yang mudah dijumpai di perairan tawar Asia tropis, seperti di sawah, aliran parit, serta danau. Hewan bercangkang ini dikenal pula sebagai keong gondang, siput sawah, siput air, atau tutut. Bentuknya agak menyerupai siput murbai, masih berkerabat, tetapi keong sawah memiliki warna cangkang hijau pekat sampai hitam.
Sebagaimana anggota Ampullariidae lainnya, keong sawah memiliki operculum, semacam penutup/pelindung tubuhnya yang lunak ketika menyembunyikan diri di dalam cangkangnya. Hewan ini dikonsumsi secara luas di berbagai wilayah Asia Tenggara dan memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung protein yang cukup tinggi.
Menurut para ulama, keong air, baik yang hidup di perairan tawar atau laut, hukumnya halal, meskipun langsung dimasak tanpa disembelih.
Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Quran: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…’’ (QS. Al-Maidah: 96).
Ibn Abbas dalam riwayat yang sangat masyhur, mengatakan, “Binatang buruan laut adalah hewan laut yang diambil hidup-hidup, dan makanan dari laut adalah bangkai hewan laut” (Tafsir Ibn Katsir, 3/197).
Al-Bukhari membawakan satu riwayat dari Syuraih, Sahabat Nabi SAW, yang mengatakan: “Semua yang ada di laut, statusnya sudah disembelih” (HR Bukhari secara muallaq).
Sedangkan hukum mengonsumsi bekicot, diperselisihkan ulama.
Pendapat pertama, bekicot termasuk hasyarat. Hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Daud Ad-Dhahiri, dan Syafiiyah. An-nawawi mengatakan, “Madzhab-madzhab para ulama tentang hewan melata bumi…, madzhab kami (syafiiyah) hukumnya haram. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Daud. Sementara Malik mengatakan, boleh.” (Al-Majmu’, 9/16)
Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak halal makan bekicot darat, tidak pula binatang melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa terbang maupun yang tidak bisa terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua binatang yang semisal. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: ‘Diharamkan bagi kalian bangkai, darah…..’ kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan menyatakan, ‘Kecuali binatang yang kalian sembelih.”
Kemudian Ibn Hazm menegaskan: “Sementara dalil yang shahih telah mengaskan bahwa cara penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau dada. Untuk itu, hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan kaluar untuk bisa memakannya, sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan dimakan, kecuali dalam keadaan bangkai, yang tidak disembelih’’ (Al-Muhalla, 6/76).
Pendapat kedua, merupakan kebalikannya, bekicot hukumnya halal. Ini adalah pendapat Malikiyah. Mereka punya prinsip bahwa hewan yang tidak memiliki sistem transportasi darah merah, tidak harus disembelih. Mereka mengqiyaskannya sebagaimana belalang.
Cara menyembelihnya bebas, bisa dengan langsung direbus, dipanggang, atau ditusuk dengan kawat besi, sampai mati, sambil membaca basmalah (Al-Mudawwanah, 1/542).
Bekicot yang populer dengan nama escargot menjadi makanan mewah yang dipopulerkan oleh Prancis. Di Paris, bahkan ada resto khusus yang menyajikan olahan binatang berlendir tersebut. Pasalnya bekicot mengandung protein sekitar 12% dari 100 gram dagingnya.
Sejumlah resto di Jakarta juga menyediakan menu escargot. Misalnya Resto L’Escargot, Café de la Bastille di Cipete, Jakarta Selatan. Kemudian Boka Buka Restaurant, di kawasan yang sama dengan menu andalan Escargot a la Bourguignonne’. Juga ada Emilie French Restaurant di Jalan Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kemudian Rive Gauche Restaurant di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, dan Liberté French Brasserie di Pacific Place Mall.
Nah, untuk memperoleh informasi lebih lengkap mengenai bekicot, terutama dari aspek ilmiahnya, Sidang Komisi Fatwa MUI pada 15 Desember 2011 menghadirkan Drh Djoko Waluyo MS dari Departemen Biologi FMIPA IPB, yang dikenal sebagai pakar bekicot.
Komisi Fatwa MUI akhirnya memutuskan bahwa mengonsumsi bekicot hukumnya haram. Fatwa ini disahkan pada 2012, ditandatangani Prof DR Hasanuddin AF selaku Ketua Komisi Fatwa MUI.
Bowo