Misi itu berangkat dari hati, niat yang lurus, sehingga selalu melahirkan ketenangan, kecintaan, kebahagiaan, kreatifitas menemukan jalan dan cara terbaik untuk mewujudkan misi itu. Sedangkan obsesi melahirkan kegelisahan, kepanikan, kebuntuan berfikir, gelap mata dan keputus-asaan atau keserakahan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hal tersebut disampaikan oleh Harry Santosa, pakar pendidikan berbasis fitrah. Ia menceritakan, ada seorang istri yang bercerita soal suaminya.
Dulu, ia dan suaminya sama sama punya misi membangun pendidikan, mereka bersama berjuang merintis sekolah Islam di atas tanah waqaf pemberian ayah sang istri. Ayah sang istri adalah ulama pejuang yang banyak merintis pendidikan Islam.
“Sampai suatu hari, sang suami dicalonkan oleh sebuah parpol untuk menjadi anggota legislatif (aleg), sehingga kemudian terobsesi berat jadi aleg.
Pendek cerita, dimulailah debut obsesinya itu. Ternyata dua pemilu gagal masuk DPR Pusat, harta sudah banyak digadaikan, namun tak membuatnya berhenti menyadari bahwa itu bukan jalan satu satunya memperbaiki negara,” cerita Harry, Senin, (18/6/2018).
Lebih lanjut, ia mengatakan, padahal Ibu kandungnya, ketika pertama kali gagal, sudah menasehati agar fokus saja membantu istrinya mengembangkan lembaga pendidikannya.
“Nampaknya suaminya tak bergeming. Lalu sekarang ia frustasi dan galau. Padahal jika niatnya lurus masuk Senayan untuk membangun peradaban Indonesia, ia tak harus lewat jalan itu, ia bisa mencoba jalan lain,”
Kisah selanjutnya sudah bisa ditebak, frustasinya berlanjut, ia bahkan sudah tak peduli dengan anak dan istrinya. Obsesinya membawanya pada kegilaan dan kebodohan untuk mengabaikan dan mencampakkan karunia yang Allah karuniakan.
“Alih alih kembali kepada misinya semula untuk bersama istrinya membangun pendidikan, ia malah menceraikan istrinya,” tukasnya.
Ketika Misi Berubah Jadi Obsesi
“Ketika misi berubah menjadi obsesi atau ketika ketiadaan misi menyebabkan orang terobsesi maka kacaulah semuanya. Bayangkan, bagaimana bisa suami itu menyia nyiakan istri shalihah anak seorang Ulama besar, karena obsesi,” terangnya.
Obsesi itulah yang Rasulullah SAW sebut dengan hubuddunya, yaitu tujuan dan orientasi hidup yang tak mengarah kepada kemuliaan langit, tetapi terpuruk kepada kehinaan tanah. Kekuasaan, popularitas, kekayaan, ketenaran dll dianggap sebagai jalan kebahagiaan, lalu dijadikan orientasi hidup yang dikejar mati matian.
“Sebuah nasehat mengatakan, “Carilah kebenaran, jangan cari ketenaran. Jika kau cari kebenaran, maka kebenaran dan ketenaran akan datang. Jika kau cari ketenaran, maka kebenaran dan ketenaran akan hilang,” tukas Harry.
Senada dengan nasehat di atas “Carilah makna, jangan cari uang. Jika kau cari makna, maka makna dan uang akan datang. Jika kau cari uang, maka makna dan uang akan hilang” .
“Sudah banyak yang menasehati dan sudah banyak ayat ayat alQuran maupun alHadits yang mengingatkan, namun dasar anak Adam, pohon larangan memang selalu nampak menjanjikan keabadian,”
Islam pada dasarnya tidak melarang orang untuk berkuasa, terkenal dan kaya, namun Islam melarang orang untuk terobsesi dengannya, karena itu akan menyimpangkannya dari tugas atau peran spesifik atau misi hidup sesungguhnya yang Allah kehendaki baginya.
“Setiap kita jelas dihadirkan di muka bumi dengan tugas spesifik atau misi hidupnya masing masing. Maka temukan dan jalani saja misi hidup itu selaras fitrah yang Allah karunakan, lalu kekuasaan, kekayaan, ketenaran hanyalah efek dari manfaat dan rahmat yang kita tebarkan ketika menjalani misi hidup itu,” pungkas Harry.
Eveline Ramadhini