Alokasi Dana Haji

by

Pemerintah mulai melirik dana Haji umat Islam Karena hutang APBN sudah lebih dari batas maksimal, pemerintah mulai melirik dana haji.

Wartapilihan.com, Jakarta —Wacana menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur di tanah air mengundang pro kontra publik. Ada yang mendukung dengan sejumlah argumentasinya, dan banyak pula yang menentang pemanfaatan dana haji untuk keperluan pembangunan infrastruktur. Secara umum, polemik yang muncul dapat dikelompokkan pada dua masalah besar, yaitu masalah fiqh dan masalah psikologis umat Islam terhadap pemerintahan saat ini. Demikian disampaikan Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) Institut Pertanian Bogor Irfan Syauqi Beik di Jakarta, Senin (31/7).

“Masalah fiqh terkonsentrasikan pada pembahasan seputar akad dan kejelasan penggunaan dana haji untuk diinvestasikan ke sektor dan kegiatan bisnis apa saja. Sementara masalah psikologis sangat terkait dengan dinamika hubungan umat dengan pemerintah, dimana umat memandang kepemimpinan nasional saat ini yang cenderung tidak akomodatif terhadap kepentingan umat, dan malah menjadikan umat sebagai sasaran isu radikalisme dan anti NKRI. Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan reaksi keras umat terhadap wacana pemanfaatan dana haji untuk pembangunan infrastruktur,” kata Irfan.

Meski demikian, lanjut Irfan, jika melihat UU No 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang diluncurkan di akhir masa pemerintahan Presiden SBY, maka UU ini boleh dikatakan sangat “revolusioner” dari perspektif keuangan syariah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, inilah UU pertama yang secara tegas menunjukkan keberpihakan 100 persen terhadap ekonomi dan keuangan syariah, dimana UU ini “mengharamkan” penempatan dana milik umat pada instrumen konvensional.

“Sebelum adanya UU ini, maka sebagian dana haji telah ditempatkan di instrumen berbasis bunga, antara lain deposito perbankan konvensional. Bahkan pernah ada kejadian, salah satu bank konvensional enggan untuk memindahkan uang haji yang disetorkan jamaah kepada bank tersebut, senilai Rp 11 triliun, ke bank umum syariah yang menjadi anak perusahaannya, karena menunggu eksekusi UU No 34/2014 ini. Ada kecenderungan ditunda-tunda,” jelas Alumnus IPB tersebut.

Secara jujur harus diakui, kata Irfan, tidak ada UU lain yang mewajibkan penempatan dana umat pada instrumen syariah selain UU ini. Dengan demikian, keberpihakan UU ini diharapkan dapat ikut mendongkrak aset keuangan syariah di Indonesia. Mudah-mudahan ke depan kita akan memiliki UU seperti ini yang secara tegas berpihak pada ekonomi dan keuangan syariah.

“Kedua, UU ini mengamanahkan berdirinya BPKH, yang diharapkan dapat mengoptimalkan dana tunggu para calon jemaah haji yang telah dibayarkan. UU ini memisahkan antara aspek penyelenggaraan ibadah haji, yang tetap berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Haji dan Umrah Kemenag, dengan aspek pengelolaan keuangan haji, yang menjadi domain kewenangan BPKH,” imbuhnya.

BPKH diberikan kewenangan untuk menempatkan dan menginvestasikan dana haji berdasarkan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan dan nilai manfaat (Pasal 24). Dana haji yang dimaksud, bukan hanya dana setoran yang diberikan calon jemaah semata, namun juga mencakup DAU (Dana Abadi Umat), nilai manfaat keuangan haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat (Pasal 5). Diharapkan BPKH dapat mengoptimalkan dana tunggu haji sebagaimana yang dilakukan oleh Lembaga Tabung Haji Malaysia, yang mampu mengoptimalkan dana haji mereka, sehingga hari ini LTH menjadi salah satu institusi yang sangat berhasil dalam pengelolaan dana haji. Dengan jumlah jemaah haji sebanyak 20 ribu orang tiap tahunnya, LTH mampu mengelola aset hingga lebih dari Rp 160 triliun.

“Menggunakan hitungan sederhana, mestinya BPKH mampu mengelola dan mengembangkan aset keuangan haji hingga Rp 1500-2000 triliun karena jumlah jemaah kita 10 kali lipat Malaysia. Kalau ini bisa dilakukan, BPKH bisa menjadi salah satu institusi keuangan syariah terbesar di dunia,” jelas Irfan.

Menyikapi dua permasalahan di atas beserta dua argumentasi mengenai terobosan dengan adanya UU No 34/2014 terhadap keuangan syariah, ia merekomendasikan tiga hal sebagai solusi. Pertama, dari sisi akad, penulis menyarankan agar BPKH meminta secara resmi kepada DSN MUI untuk mengeluarkan fatwa mengenai skema akad antara calon jemaah haji dengan BPKH. Meski pemerintah mengatakan menggunakan akad wakalah, namun masih dimungkinkan untuk menggunakan akad lain, seperti al-ijarah maushufah fi dzimmah (IMFD), sebagaimana yang pernah dibahas dalam Ijtima Komisi Fatwa MUI tahun 2012, dua tahun sebelum lahirnya UU tentang Pengelolaan Keuangan Haji ini. Apalagi akad wakalah bukan harga mati karena tidak disebut eksplisit dalam UU. Ini untuk memastikan mengenai akad yang paling tepat untuk digunakan, agar tidak jatuh ke dalam jenis akad yang dilarang, sekaligus memberikan kepastian dan kenyamanan dari sisi calon jemaah haji.

“Kedua, pemerintah harus menyegerakan penyelesaian perangkat peraturan yang terkait dengan pelaksanaan UU No 34/2014 agar BPKH bisa segera menjalankan operasional kegiatannya dengan baik, efektif dan efisien. Ekspektasi dan harapan umat terhadap BPKH sangat luar biasa besar, sehingga masyarakat ingin melihat dengan cepat kerja dari BPKH ini. Jangan sampai ada ganjalan dari sisi regulasi yang bisa menghambat kinerja BPKH,” terang dia.

Ketiga, pemerintah harus merubah pola komunikasi dan kebijakan yang dilakukannya, agar lebih dapat merangkul umat secara keseluruhan. Kebijakan-kebijakan yang tidak akomodatif dan bertentangan dengan aspirasi umat hendaknya dicabut dan diubah.

“Ini sangat penting agar pemerintah dan umat tidak menghabiskan energi untuk berpolemik dan berkonflik. Energi yang ada hendaknya disalurkan untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat,” tutupnya.

Senada dengan hal itu, Wakil Ketua Umum PP Persis, Jeje Zainudin, menuturkan, secara tinjauan hukum syariat. Pada dasarnya harta tabungan umat Islam boleh digunakan oleh negara selama mengikuti akad tabungan itu. Jika tabungannya diakadkan wakalah artinya dititipkan dan dipercayakan kepada negara untuk dikelola apapun selama terjamin keamanannya sampai tiba waktu penggunaan oleh pemiliknya, maka bisa saja digunakan atas kewenangan negara sebagai wakil pemilik.

“Maka penggunaan itu harus sinkron antara hukum syariah dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Jika akadnya hanya wadhi’ah, titipan saja, tidak untuk digunakan apapun, maka tidak bisa digunakan kecuali ada persetujuan dari semua pemiliknya. Atau jika akadnya digunakannya kepada proyek yang terkait dengan sarana, prasarana, dan aktivitas haji, maka hal itu dibolehkan,” kata Jeje.

Selain itu, dari tinjauan perundang-undangan. Penggunaan dana masyarakat bagi kepentingan pembangunan diatur oleh undangan undang, mungkin dalam hal ini ditetapkannya dalam UU APBN.

Sedang untuk pengelolaan dana haji diaturnya dalam Undang-undang Pengelolaan Keuangan Haji Nomor 34 Tahun 2014. Terutama pada Bab V Pasal 45 dan seterusnya.

“Selain dua aspek yuridis diatas, penggunaan dana haji oleh Pemerintah juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek psikologis dan sosiologis umat Islam sebagai pemilik dana tersebut. Jangan sampai terkesan bahwa umat Islam hanya dituntut berkorban dengan jiwa dan harta untuk kepenting pembangunan negara, berkontribusi dalam dan dengan segala hal, tetapi di sisi lain mayoritas umat merasa kepentingan dan aspirasi mereka tidak dilayani secara serius oleh negara”.

“Bahkan ada kesan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah lebih banyak bersebrangan dengan kepentingan dan hajat hidup mayoritas umat Islam.

Maka dalam hal ini pemerintah juga harus mendengar apa aspirasi umat dan fatwa para ulamanya tentang penggunaan dana umat Islam itu,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi