Politisi Partai PAN itu melihat, dalih-dalih persatuan dan kesatuan NKRI, Perppu Ormas diterbitkan. Padahal, ancaman nyata bangsa Indonesia adalah korupsi, narkoba dan miras.
Wartapilihan.com, Jakarta —Pimpinan Fraksi PAN MPR Ali Taher menegaskan, pihaknya sejak awal menolak Perppu Ormas Nomor 2 Tahun 2017 karena pasal 22 ayat 1 Undang-Undang 1945 mengisyaratkan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan (Perppu) dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Sebab, lanjut dia, tidak ada gejala ataupun indikasi fenomena sosial manapun yang menyatakan bahwa negara dalam keadaan genting. Justru, kata Ali, kegentingan memaksa di negara ini adalah korupsi, narkoba dan miras.
“Saya kira kalau menyangkut peristiwa hukum, peristiwa sosial, kalau sekedar untuk melihat HTI dalam perspektif isu itu terlalu kecil. Yang saya lihat adalah pemerintah dalam hal ini, melihat kekuatan masyarakat terlalu kuat. Sangat kuat ini karena faktor-faktor utama karena krisis kepercayaan,” papar Ali Taher dalam diskusi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11).
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, lanjut dia, dapat dilihat dari dua hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi tidak mampu memberikan kesejahteraan rakyat secara maksimal. Pasalnya, hampir 28 juta masyarakat miskin belum keluar dari kemiskinan.
“Kedua, penegakan hukum sekarang tidak masif. Tidak sesuai dengan supremasi hukum. Padahal kita melihat bahwa terjadinya pergeseran reformasi dari posisi pembagian kekuasaan kemudian reformasi terjadi pemisahan kekuasaan dimaksudkan agar ada satu klausul berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kita (Indonesia) ini negara hukum,” jelas Ketua Komisi VIII itu.
Dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 ada empat unsur yang mendasar dalam negara hukum. Pertama, supremasi hukum. Segala sesuatu diukur dengan aspek hukum. Kedua, aspek pengakuan Hak Azasi Manusia termasuk kebebasan berserikat dan berkumpul. Ketiga adalah pembagian kekuasaan. Dan keempat, Peradilan bebas dari intervensi apapun.
“Keempat inilah yang kita kenal sebagai berjalannya kekuasaan hukum berdasarkan Separation Of Power dalam konteks Trias Politika. Maka kehadiran Undang-Undang Ormas ini bagi saya dari Fraksi PAN membelenggu kebebasan Pers menyampaikan pandangan-pandangannya, menyampaikan aspirasi masyarakat, menyampaikan keluh-kesah masyarakat, sekalipun termasuk di dalamnya adalah melakukan kritik sosial dan politik terhadap pemerintah. Saya kira alam demokrasi dimanapun sama saja, tidak boleh dibelenggu,” terang politisi PAN itu.
Sebab itu, simpulnya, Fraksi PAN menolak Perppu karena ada tiga hal yang mendasar. Pertama tidak adanya unsur kegentingan yang menonjol, tidak ada unsur kegentingan yang memaksa. Kedua, tidak ada kekosongan hukum, karena tidak ada satu unsur pun yang di kaji dalam pasal 22 itu. Ketiga, jalan paling mungkin merubah Undang-Undang Nomor 17/2013 itu tidak lain melalui revisi Undang-Undang, tidak perlu penerbitan Perppu.
“Itulah nalar saya sebagai orang hukum, yang paling ideal kalau mau merubah memang harus revisi undang-undang, sehingga tidak ada kesan bahwa negara memaksakan kehendak di dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi