Assalamualaikum brother, today we faced problem with authorities to do qurbani in Than Taw Li village. The police kept inquiring about qurbani cattle and not allowed to do qurbani freely. Finally we did secretly in a house and distributed meals. So police didn’t know.
Demikian mitra Laznas Dewan Dakwah berkabar dari Myanmar, Sabtu (1/8). Ia mengungkapkan, betapa panitia qurban harus sembunyi-sembunyi untuk memotong seekor sapi kiriman dari pequrban Indonesia. Itu dilakukan demi menghindari ‘’pajak keamanan’’.
Dengan ngumpet di salah satu halaman rumah warga, akhirnya panitia berhasil menyembelih qurban hasil patungan tujuh alumnus IPB University tersebut.
Hal yang sama terjadi dalam pelaksanaan qurban di Desa Thet Kay Pyin. Sebagaimana Than Taw Li, kampung ini salah satu dari ratusan desa pengungsi Muslim di pinggiran Sittwe, Myanmar. Tidak saja dimiskinkan, warga Thet juga dipaksa menerima national verification cards (NVC). Kartu ini menyatakan bahwa Muslim Myanmar adalah imigran dari Bengali. Bukan bagian dari penduduk asli yang mendiami distrik Arakhan sebagai Bangsa Rohingya.
Padahal, Bangsa Rohingya Muslim di Myanmar sudah berabad-abad menetap di negara bagian Arakan.
Islam di Rohingya berkembang dengan kedatangan para juru dakwah sejak abad ke-8 Masehi.
Shah Barid Khan dalam bukunya yang berjudul “Mohammad Hanifa O Khaira Pari” (yang ditulis sekitar tahun 1517-1550), mencatat, kafilah yang dipimpin putra Ali bin Abi Thalib ra yaitu Muhammad Abu Abdullah alias Muhammad Al Hanafiah, datang ke Arakan sebagai dai. Ia kemudian menikahi Ratu Kaiyapuri, dan tinggal di daerah Mayu Range (sekitar Sungai Naf, perbatasan dengan Bangladesh).
Pribumi dan keturunan asimilasi Kafilah Muhammad Al Hanafiah itulah yang merupakan masyarakat muslim Rohingya di Arakan. Jumlah muslim Rohingya terus berkembang seiring dengan pesatnya dakwah di sana, terutama pada masa Kekuasaan Dinasti Mrauk-U (1430-1784).
Nama “Arakan”, menurut Ulama Rohingya, berasal dari kata “أركان “ yang merupakan bentuk jamak dari “al-rukun”, yang artinya pilar, prinsip, sendi, atau asas.
Namun pada masa kekuasaan pemerintahan Myanmar (1948-sekarang), nama Arakan diganti menjadi Rakhine State. Ibukota Arakan yang semula adalah Akyab juga diganti menjadi Sittwe.
Dan kini, muslim Rohingya menjadi manusia paling teraniaya di muka bumi. Demikian menurut Tomas Ojea Quintana, Utusan Khusus PBB untuk Myanmar.
Nah, kembali ke cerita soal qurban tadi, setelah kucing-kucingan dengan aparat keamanan, akhirnya panitia berhasil memotong qurban dari Ma’had eLKISI Mojokerto Jawa Timur itu.
Selain di Myanmar, qurban untuk Warga Rohingya juga dilangsungkan di Kamp Pengungsi Distrik Cox’s Bazaar, Bangladesh. Sapi dari eLKISI Mojokerto dinikmati pengungsi di Balukhali yang menampung sekitar 500 ribu pengungsi Rohingya dari Myanmar. Sedangkan kambing-kambing dari pequrban Laznas Dewan Dakwah hadirkan kegembiraan bagi pengungsi di Kutupalong, Balukhali, Madrasah Taklimus Sunnah di Ramu Upazila, Thengkali, hingga ke kamp Teknaf yang merupakan daerah perbatasan langsung dengan Myanmar.
Para pengungsi di kamp-kamp tersebut merupakan eksodus tahun 2017 demi menghindari serbuan militer Myanmar. Terang-terangan, juru bicara tentara Burma (Myanmar), Zaw Htay, mengungkapkan, dari target operasi pembersihan sebanyak 471 desa Rohingya di Arakan sejak akhir Agustus 2017, sudah 176 desa yang kosong dan menyusul 34 desa lainnya (The Guardian, 13/09/2017).
Sekitar 370.000 penduduk desa kosong tersebut, melarikan diri melalui darat dan laut serta sungai, melintasi perbatasan Bangladesh.
Untuk mencapai Bangladesh, pengungsi Rohingya melintasi Sungai Naf yang berhulu di Bukit Myanmar dan berhilir di teluk Bengali.
Sisi kiri Sungai Naf masuk wilayah Myanmar, dan seberangnya masuk Bangladesh. Sungai ini lebarnya antara 1,61 hingga 3,22 km dengan kedalaman antara 39 sampai 120 meter.
Dengan perahu kayu kecil yang penuh sesak, para pengungsi Rohingya nekad menyeberangi Sungai Naf. Tidak gratisan, tapi harus membayar mahal pada para pemilik perahu. Begitupun, tidak ada jaminan keselamatan.
Tak ayal, Sungai Naf jadi semacam ‘’kuburan’’ buat Rohingya. Misalnya pada Februari 1992, paramiliter Myanmar Lun Htin membunuh 20 warga Rohingya yang bermaksud menyeberang ke Bangladesh. Lalu pada Januari 2005, patroli perbatasan Burma menembaki 50 boat yang mengangkut pengungsi Rohingya. Sebanyak 70 pengungsi gugur karenanya. Dan pada eksodus 2017, lebih 100 pengungsi Rohingya meninggal di Sungai Naf, baik akibat diserang maupun tenggelam.