Aktivis Islam Sejak Awal Bela Palestina

by
Kajian di INSISTS Saturday Forum, Sabtu, (7/7), di Kalibata, Jakarta Selatan.

Sejak jaman penjajahan Belanda dan Portugis terhadap Indonesia, Palestina merupakan bangsa yang telah dijajah oleh Israel. Kendati bangsa Indonesia sibuk berperang memperjuangkan kemerdekaannya, tetapi para aktivis muslim di Indonesia tetap membela Palestina dan menolak penjajahan terhadap Palestina.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar, Lektor sejarah di Universitas Padjadjaran Bandung. Ia merunut sejak awal, perampasan wilayah ini terjadi diawali dengan kekalahan Turki Usmani dalam Perang Dunia I pada tahun 1914 hingga 1917.

Dari situlah, Inggris dan sekutunya mulai merubah peta politik di Timur Tengah. Usmani yang awalnya menjadi penguasa, harus kehilangan banyak wilayah, termasuk Baitul Maqdis (Islamic Jerusalem).

“Kawasan ini sudah sejak lama menjadi incaran Inggris dengan alasan ingin merelokasi orang-orang Yahudi yang bermasalah di Eropa,” tutur Tiar, dalam acara INSISTS Saturday Forum, di Kalibata, (7/7/2018).

Pasca kekalahan Usmani, Sultan Abdul Hamid tidak bisa mencegah Arthur Balfour ketika mengeluarkan pengumuman diperbolehkannya orang-orang Yahudi membangun pemukiman di kawasan Baitul Maqdis, karena saat itu Baitul Maqdis secara de jure berada di bawah kekuasaan Inggris.

Dengan demikian, runtuhnya kekhalifahan Utsmani sekaligus jatuhnya warisan umat Islam sedunia, Baitul Maqdis, telah menarik perhatian bagi umat Islam sedunia, tak terkecuali Indonesia. Kendati tengah menghadapi penjajahan bangsa Belanda, umat Islam di Indonesia menaruh perhatian besar kepada Palestina sejak kurun waktu 1917 hingga hari ini, di 72 tahun kemerdekaan RI.

“Kisah ini juga menjadi dasar historis yang kuat terhadap berbagai sikap luar negeri Indonesia setelah merdeka, seperti penolakan pemerintah Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel,” terang peneliti di Institute Al-Aqsha (ISA) ini.

Tiar menjelaskan, ada sikap para aktivis yang terbagi dua, yaitu nasionalis-Islam dan juga nasionalis-sekuler. Para aktivis nasionalis-Islam melihat, Baitul Maqdis merupakan penjajahan atas umat Islam.

“Akan tetapi kalangan nasionalis-sekuler melihatnya hanya sebagai konflik agama belaka antara Islam dan Yahudi memperebutkan tempat ibadah di komplek masjid Al Aqsha,” imbuhnya.

Respon sangat keras langsung datang dari para aktivis gerakan modernis, seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdhatul ulama, Al-Irsyad, Persatuan Islam dan lainnya. Mereka membentuk komite khusus yang dinamai Comite Palestina dan diketuai oleh Wondoamiseno dari Sarekat Islam.

“Comite Palestina dilaksanakan dalam satu acara rapat Akbar umat Islam pada tanggal 5 Juli 1937. Kita melihat bahwa perhatian terhadap masalah ini sejak awal menjadi urusan elit pemimpin Indonesia, atau paling tidak para elit pemimpin muslim,” tukas Tiar.

Tiar pun meneliti dari berbagai berita tempo dulu yang mencantumkan penggalangan dana untuk Palestina dan berbagai aksi gerakan lainnya, seperti membuat petisi dan mengingatkan pada masyarakat.

“Walaupun ada saja dari kalangan sekuler yang menganggap masalah di Baitul Maqdis ini sebagai konflik antara penduduk Palestina Arab dan Yahudi yang tidak ada sangkut pautnya dengan rakyat Indonesia, namun pandangan ini tidak memengaruhi kebijakan resmi pemerintah yang tetap ikut memberikan perhatian terhadap masalah Palestina hingga saat ini,” tegas dia.

Lebih jauh, Tiar menekankan, sikap ini merupakan sikap ideologis para pendiri negara, yang apabila terjadi perubahan berarti terjadi pengkhianatan atas cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia.

“Ini merupakan sikap dan kebijakan dasar negara, walaupun pelaksanaannya naik turun bergantung pada siapa yang berkuasa di negeri ini. Penguasa yang dekat dengan kalangan aktivis Islam akan memberikan perhatian lebih besar dibandingkan penguasa-penguasa sekuler,” pungkasnya.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *