Momen 212 memberikan posisi yang kuat bagi umat Islam. Dari berbagai penjuru, umat muslim berbondong-bondong menunjukkan aksi damainya, tidak tinggalkan sampah, apalagi darah. Kurang lengkap rasanya jika tak diabadikan dalam bentuk buku, agar menjadi sejarah bagi anak cucu.
Wartapilihan.com, Jakarta –Lautan manusia kala itu meluap. Dari atas langit, gelombang putih dapat dilihat hampir mengelilingi seluruh bagian Monumen Nasional, di Jakarta. Jutaan masyarakat datang unjuk rasa dengan kedamaian. Dzikir kala itu bersahut-sahutan, membuat merinding siapapun yang mendengarnya.
Hujan sayup-sayup membasahi tanah Jakarta. Jutaan orang yang datang itu tak bubar, justru tetap bersikukuh menjalani shalat dzuhur dengan khusyu. Bagi umat Islam, momen Ahok yang dinilai menistakan agama kala itu jadi wadah bagi seluruh kalangan umat Islam untuk bersatu padu membela agama Allah.
Salah satu kisah yang sangat personal berbekas jejak dalam buku ‘Mengetuk Pintu Langit’ berupa catatan reportase Aksi Bela Islam yang disusun oleh Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Berisi 50 kisah yang menggugah hati, para wartawan muslim berhasil merekam peristiwa-peristiwa para peserta Aksi Bela Islam dalam bentuk tulisan; mulai dari yang jalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta, disabilitas yang merangkak ke Ibukota ini, hingga seorang lajang Aceh yang memecah tabungan menikahnya untuk ikut meramaikan aksi.
Para wartawan JITU meyakini, perjuangan menulis di tengah kantuk dan letih belum seberapa dibandingkan dengan para peserta aksi dari berbagai kota.
“Kami hanya menulis, sedangkan umat Islam rela membayar dengan apa saja demi membela kemuliaan Al-Qur’an. Merekalah sejatinya para pahlawan yang layak diabadikan dalam sejarah,” ungkap JITU, dalam kata pengantarnya.
Sisi Lain 212
Tidak hanya para jurnalis muslim yang mengabadikan dalam buku “Mengetuk Pintu Langit’, tapi juga berbagai elemen masyarakat menuangkan perasaannya dalam momen tersebut di dalam buku ‘Diary 212’ yang disusun oleh Nurbowo.
Di dalam buku ini, banyak berbagai kisah dari berbagai perspektif untuk melihat sejauh mana pihak-pihak lain turut berbicara dan mendeskripsikan secara humanistik dalam buku setebal 436 halaman ini.
Bekerjasama dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI), Aksi Cepat Tanggap (ACT), Forum Alumni Muslim ITB, dan Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) menghimpun cerita-cerita dari berbagai kalangan, mulai dari para guru sampai kalangan non-muslim yang turut mengapresiasi adanya momen 212 yang berlangsung damai ini.
Kedua buku ini penting untuk dimiliki oleh siapapun yang peduli pada kedamaian di Tanah Air Indonesia, juga umat Islam. Pasalnya, sejarah ini tidak boleh dilewatkan oleh anak cucu di masa depan.
Eveline Ramadhini