Bila Sampah Tak Sempat Menjadi Tanah

by

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah bersiap membangun empat unit Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA). Sebagian menyebutnya terobosan.

Wartapilihan.com, Bogor — Katanya, ini cara paling masuk akal untuk mengubah tumpukan bau menjadi arus listrik. Listrik bersih dari kota yang kotor. Apa yang salah dari itu?

Mungkin tidak ada. Tapi saya teringat kebiasaan masa kecil di rumah dulu: memisahkan sisa dapur dari plastik. Ibu menyuruh kami membuang kulit pisang ke lubang tanah di belakang rumah. “Biar besok jadi tanah lagi,” katanya.

Ibu saya tak pernah sekolah soal daur ulang. Tapi dia tahu satu hal yang hari ini mulai kita lupakan: bahwa apa yang berasal dari bumi sebaiknya kembali ke bumi. Dengan hormat. Dengan doa, meskipun diam.

Hari ini, kita ingin segalanya cepat. Sampah disapu ke truk, dikirim ke insinerator, dibakar habis, dan kita merasa sudah berbuat baik. Tapi apakah benar kita telah membersihkan sesuatu? Atau sebenarnya hanya menyembunyikannya dari pandangan?
Sebab tak semua sampah sama.

Sampah organik, sisa makanan, kulit buah, daun kering, bukanlah limbah yang harus dibakar. Ia masih hidup. Ia punya potensi: dikonversi menjadi protein (maggot) menjadi kompos, biogas, jadi pupuk alami yang kembali menyuburkan tanah. Semua peluang itu hilang jika sampah langsung dilempar ke tungku api atas nama efisiensi.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 57% sampah nasional adalah sampah organik. Bila dikelola secara terpisah, potensi ekonominya bisa mencapai triliunan rupiah per tahun, baik dalam bentuk kompos, energi biogas, maupun penguatan ekosistem pertanian kota. Tapi semua ini mustahil tanpa pemilahan dari sumber.

Pertanyaannya, apakah teknologi PLTSA yang akan diterapkan, hanya membakar sampak anorganik, atau semua masuk sekaligus ke sistem bakar? Di banyak negara, seperti Jepang dan Jerman, PLTS hanya diberlakukan setelah proses pemilahan dan pengurangan volume secara maksimal (ITB Waste Management Research Group, 2022).

Ada yang lebih penting dari listrik: kesadaran.
Bahwa apa pun yang kita buang, kita tetap punya tanggung jawab. Bahwa membakar semua tanpa memilah adalah cara halus untuk melatih diri jadi bangsa yang tak mau repot. Tak mau kotor. Tak mau belajar.

Maka, mari jangan buru-buru menyebut PLTSA sebagai solusi mutlak. Ia bisa jadi bagian dari solusi, jika dan hanya jika dibangun bersama sistem pemilahan yang rapi dan edukasi publik yang sungguh-sungguh. Kita bisa punya listrik, tanpa kehilangan peluang memperbaiki tanah.

Negeri ini tidak butuh solusi instan yang mahal. Yang kita butuh adalah ketekunan. Kembali ke dapur, ke sekolah, ke pasar. Mengajarkan tangan-tangan kecil untuk memilah. Membiarkan sisa dapur kembali jadi tanah, bukan jadi asap.

Negara yang besar bukan yang pandai membakar, tapi yang berani mengolah. Sebab di sanalah pembangunan karakter bermula. Bukan hanya dari teknologi, tapi dari kerelaan untuk tidak lari dari yang remeh.

Karena di dalam tiap sisa makanan yang membusuk itu, mungkin ada satu pesan kecil yang kita lewatkan: bahwa bumi ini tak minta banyak. Ia hanya minta diperlakukan dengan kasih, bahkan untuk hal-hal yang sudah kita buang.

Dr. Ir. Agus Somamiharja