Kreatifitas dari Kembang Kamonesan

by

Di Indonesia, beragam jenis bebungaan sangat melimpah; belum lagi limbah yang tidak dipakai seperti kulit jagung dan lain sebagainya. Namun di tangan Ani Ratnaningsih, kembang yang telah layu ataupun limbah kulit jagung dapat menjadi kerajinan yang sangat cantik dan bernilai ekonomis.

Wartapilihan.com, Bandung – Kembang Kamonesan merupakan kerajinan tangan yang berbahan baku berupa rumput, daun dan bunga asli yang dikeringkan (craft berbahan baku limbah tanaman). Tidak hanya sekedar memanfaatkan sumber daya alam yang sangat melimpah, Ani berupaya memberdayakan masyarakat setempat untuk hidupkan perekonomian. Untuk mengetahui perjalanan berdirinya Kembang Kamonesan sejak awal, Warta Pilihan menemuinya. Berikut cuplikan wawancara dengan Bu Ani:

1.Bagaimana awalnya Anda terinspirasi untuk mengolah bunga atau limbah tumbuhan ini menjadi kerajinan tangan?

Dari kecil sudah suka bunga ranting yang unik, sering ngumpulin dan dikeringin, kemudian dibiarkan begitu saja. “Ngaruntah wae” kalau kata orangtua saya mah. Tadinya sempet off dan sempet berkreasi dengan yang lainnya, semacam sulam pita, sulam benang, seni rajut juga. Tapi ngerasanya saya enggak di situ. Seperti enggak sreg, sukanya tetep yang berbau tumbuhan.

Lalu saya tahu ada yang namanya “press flower”, itu di Eropa, di Indonesia gak ada ya. Itu Cuma keinginan terpendam aja. Waktu itu ke gramedia ada Oshibana (khas Jepang), mirip dengan press flower. Saya kontak Oshibana, gurunya ada di Bogor. Nah, ini mirip-mirip lah dengan press flower yang di Eropa.

Setelah saya masuk ke Komunitas Bunga Kering, tahun pertama belajar tahun 2013, itu pun masih hobi awalnya. Di tahun 2014 sempat mengajar di sekitar rumah, dari habis ashar, jam empat sampai jam enam. Free semuanya. Pada tahun 2015 bulan Desember, baru saya ke Mandalasari (Bandung).

2. Mengapa Anda ingin berbagi dengan masyarakat sekitar?

Saya hobi ke tanaman, membuat dan meng abadikan sesuatu yg unik, cantik dari tanaman karena bahan baku melimpah di sekitar kita dan usianya cukup pendek. Saya lebih ke pemberdayaan masyarakat. Kulit jagung kan melimpah, biasanya hanya dibakar, paling banter untuk pupuk atau makan sapi.

Ada yang minta rekomendasikan ke saya, pemberdayaan di sana soal kulit jagung. Saya datang kesana, daerah Garut. Waktu itu ada sekitar 20 orang yang ikut, sekarang tinggal satu, banyak hal yang membuat berkurang. Ada juga pernah, saya ada murid 40 orang, yang tersisa tinggal 3 orang.

3. Apa saja kira-kira faktor yang menyebabkan peserta selalu berkurang?

Banyak faktor sebetulnya. Ada yang bukan passion, keterbatasan waktu. Padahal bahan baku ada di sekitar daripada bikin dari plastik. Setelah mengajar di mandalasari 6 bulan, pelajaran sudah diberikan ke ibu-ibu, mereka bilang, “Kami sudah dapat ilmu tapi kami mau jual kemana? Kalau dipakai di sini kayanya gak mungkin (di Mandalasari),” Maka dari itu, saya sekalian menjualkan produk yang sudah mereka buat.

4. Jenis-jenis karya yang dibuat biasanya dalam bentuk apa saja?

Kita ada dua jenis ya, ada bunga kering dan bunga buatan. Bunga kering terbuat dari bunga asli, bisa dan dijadikan lukisan, aksesoris seperti anting, kalung, gelang dan home dekor. Sedangkan bunga buatan terbuat dari bahan alam, seperti kulit jagung, kalatea, yang dijadikan tiruan bunga, seperti bunga tulip, bunga ros, dan bunga sedap malam, itu bunga buatan.

5. Jenis bunga atau tumbuhan apa saja yang bisa dijadikan kerajinan?

Pada prinsipnya, semua tumbuhan bisa, asal tepat metodenya. Ada tiga metode yang kita gunakan, yaitu pengeringan alami menggunakan (1) sinar matahari untuk mengeringkan biji-bijian, (2) gantung terbalik untuk pembuatan bunga tiga dimensi, dan (3) press yang flat. Misalnya, kita punya mawar yang gak jatuh, kalau kuat digantung terbalik, kalau rontok langsung dipress. Jadi tidak ada yang terbuang.

6. Bagaimana soal tingkat keawetannya? Apakah bisa hingga 10 tahun?

Keawetannya kita juga harus memilih dari bahannya. Kalau sudah layu tapi masih kenceng kelopaknya, itu masih lanjut. Mawar ini sudah tiga tahun lebih, hanya digantung terbalik. Kalau sudah lembab harus segera dikasih silica gel agar tetap kering.

Bisa sampai 10 tahun, tergantung penanganan di awalnya, misal sejak metik bunganya. Harus jam berapa, kalau setelah hujan jangan karena nanti busuk kena lembab. Bunga apakah baru mekar ataukah hampir berguguran. Yang lebih kuat biasanya yang baru mekar.

7. Apakah Anda memiliki misi untuk menyelamatkan lingkungan dengan melakukan ini?
Iya, arahnya juga kesana. Produk kerajinan tangan juga banyak, tapi soal tumbuhan kan sayang banget dibuang hanya jadi kayu bakar atau abu. Misi saya sebenarnya di kota. Banyak orang sudah jarang mengenal nama tanaman, minim sekali. Misal seperti nama-nama rumput, kalau rumput teki, rumput gajah mereka jarang tahu.

Saya berada di tengah. Saya mengedukasi melalui hasil karya yang mereka pakai. Jadi, mereka pun nggak hanya mengandalkan barang impor, lokal pun bisa bagus. Di sisi lain, di daerah pemberdayaan, mereka kan sumber bahan alam melimpah, tapi mereka tidak tahu pemanfaatannya, semoga mereka bisa mendapatkan penghasilan dari yang tanda kutip sampah.

8. Bagaimana soal market atau sasaran pasar sendiri?

Marketnya selama ini masih di bazaar, masih membangun. Menempatkan orang dari sisi marketingnya, hanya offline, biasanya yang paling diminati aksesoris anting, kalung, gelang, itu pun marketnya tertentu, seperti anak muda atau ibu muda yang fashionable. Kebanyakan sih perempuan yang suka ke produk craft.

9. Bagaimana peluang ke arah ekspor sendiri?

Kalau ekspor harus betul-betul bagus, dan partai besarnya dan timnya belum siap. Jadi saya ngajarin 40 orang dari Desember 2015, di tahun 2018 tinggal 3 orang. Ada teman yang membesarkan hati saya, yang juara itu ada 3. Itu juga sudah hukum alam. Nggak masalah, jangan berkecil hati nanti kalau mau ngajarin orang tinggal 5% memang seperti itu, tapi itu yang terpilih.

10. bagaimana harapan Anda soal bisnis Kembang Kamonesan ini?

Mudah-mudahan semakin banyak yang sadar akan lingkingan, dan juga tidak menyia-nyiakan. Kadang suka ada yang bertanya, “Buat apa sih, Bu, kulit jagung dikumpulin, biji-bijian itu.

Harapannya bisa sadar bahwa ini memiliki nilai ekonomis, bisa terjual. Selama ini kan orang-orang bilangnya enggak punya modal kalau mau bisnis; modal yang dimaksud adalah uang, padahal modal SDA juga bisa, asal mau dan kreatif.

Insyaa Allah dari yang ada. Saya menekankan pada yang diajar, walaupun ngambil rumput di pinggir jalan setidaknya bismillah dulu. Apalagi ngambil di halaman orang. Temui, izin dulu, bilang sama pemiliknya. Kalau jatuh bilang juga kalau ada orangnya.

Suatu waktu pernah saya ambil pinus bijinya saya ambil , saya izin dulu saya telepon. Saya mau ngambilin itu, boleh nggak, jadinya halal, nggak ngerasa dosa. Intinya keseimbangan alam tetap dijaga, jangan sampai, karena nafsunya semua dicabut tapi kita gak punya waktu untuk bikin.

11. Kalau binatang, apakah juga pernah diawetkan seperti bunga ini?

Kalau ke binatang saya belum, lebih tertarik ke tumbuhan. Ini pun sebetulnya kalau yang saya bikin cuma dilaminating, suka ada yang komentar. Kalau orang lokal bilangnya, “Ini bisa digunting gak?”. Saya jawab, yang namanya barang apa saja ada masa pakainya.

Jual harga berapa ditawar seperempatnya, dan bilang, “Ini kan cuma rumput,”. Kalau begitu silahkan bikin sendiri. Kan butuh ide untuk nempelinnya, kalau gak ada seninya juga numpuk gak karuan. Orang luar cenderung lebih menghargai daripada orang lokal.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *