Wibawa Ulama Yang Merosot

by
Jokowi dan Ma'ruf Amin. Foto: Istimewa

Oleh: M Rizal Fadillah

Sedih membaca dan melihat berbagai info media sosial. Semakin tidak tega Ketum MUI KH Ma’ruf Amin semakin jadi bulan-bulanan media. Pidato soal menjaga ideologi dan mewujudkan Islam Nusantara, foto berkumpul dengan wanita-wanita umat lain, berapologi bahwa dirinya didukung oleh yang benar-benar ulama, dan ini berarti menganggap dukungan ulama kepada yang lain bukan dari ulama-ulama yang benar, serta ungkapan ambisi kekuasaan dengan meminggirkan teman ‘sejawat’ nya saat penentuan cawapres Jokowi.

Wartapilihan, Jakarta — Sungguh tak terbayangkan kelak ‘jika benar jadi wapres’ betapa teriris hati ini akan posisi ulama besar bakal dikecilkan di ruang sempit sebagai Wakil Presiden. Semua tahu dan sadar bahwa ulama adalah pewaris Nabi, bukan asesoris Jokowi.

 

‘Kehebatan’ Jokowi memilih ulama sebagai cawapres nya, adalah ‘kehebatan’. Jokowi memerosotkan wibawa ulama. Mungkin ini pandangan subyektif, tapi banyak atau ada yang merasakan seperti ini. Membawa KH Ma’ruf Amin ke ruang politik praktis yang bernuansa pragmatis adalah bagian dari kezaliman politik jika dibaca dari faktor usia, kondisi fisik, pengalaman politik, serta status sebagai pucuk pimpinan dari Majelis Ulama Indonesia yang sangat dihormati dan didengar fatwa-fatwanya di kalangan umat.

Selama proses kompetisi yang diawali dengan masa kampanye akan menyeret ulama besar kita ke lingkungan yang biasa terjadi dalam panggung-panggung kampanye. Tak berwibawa. Berbagai komunitas mesti didatangi dan diayomi, sulit menyeleksi dalam semangat, keinginan dan kebutuhan untuk mendapat dukungan suara yang besar.

Jika kalah dalam kompetisi kelak, rontoklah wibawa dari semua sisi. Orang menilai ambisi lebih kuat daripada mengukur diri dan menjaga kealiman. Orang menilai betapa tipuan kekuasaan dapat mengaburkan pandangan seorang ulama. Orang menghukumi betapa jahatnya Jokowi menghancurkan reputasi. Ya segala penghukuman tervoniskan pada pesakitan. Itu hukum kegagalan.

Jika menang, tak jelas sebagai wapres akan dan dapat berperan signifikan. Berkaca pada posisi wakil presiden sebelum-sebelumnya, selalu posisinya tidak menentukan. Lebih pada peran seremonial daripada pengambil kebijakan fundamental. Belum lagi jika Presiden nyatanya dikelilingi oleh orang-orang yang sangat mengendalikan. Bakal lebih parah kedudukan Wakil Presiden tersebut.

Di negara yang ditengarai sedang mengalami keadaan carut-marut ini, ulama hendaknya mengambil posisi strategis untuk menyelamatkan umat, bangsa dan negara. Ia adalah kekuatan kontrol yang meluruskan perjalanan. Bukan yang ikut berjalan dipimpin oleh sopir yang kurang faham route dan cara mengendalikan kendaraan. Salah- salah ada yang tertabrak atau masuk ke dalam jurang.

Ulama harus menjaga muru’ah dirinya sebagai panutan umat, Ia adalah “ummul ‘ilmi” yang menjadi tempat umat bertanya dengan jawaban yang mencerahkan. Ulama adalah pemimpin umat yang tegak kepalanya di depan penguasa demi wibawa umat dan Islam. Ulama adalah pelanjut kepemimpinan profetik yang hanya takut kepada Allah. Bukan subordinat manusia atau penguasa. Jangan rendahkan posisinya. Ulama yang menempel pada penguasa akan kelu lidah kebenarannya. Ayat-ayat terpaksa dipilih demi kepentingan kekuasaan itu. Maka keutuhan ajaran akan terpotong-potong dan digantungkan pada keadaan. Saat itulah seolah-olah ia sedang berijtihad padahal hakikatnya sedang berkhianat. Khianat dari amanat sebagai pewaris Nabi yang diperintahkan untuk berjuang menegakkan kalam Ilahi di muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *