Waspada “Order Out of Chaos”!

by
Sumber Foto: Faktualnews.co

Kalau rakyat Indonesia tidak waspada, bukan tidak mungkin perseteruan antara #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi berujung pada konflik berdarah. Jika ini terjadi, kekalahan mutlak ditanggung sepenuhnya oleh rakyat Indonesia.

Wartapilihan.com, Depok– Memasuki tahun 2019, Indonesia menjadi negara yang potensial untuk terselenggaranya Order Out of Chaos. Sejumlah pengamat mengkhawatrikan adanya ‘gejolak’ seperti yang terjadi pada kasus 1998 di Jakarta. Masing-masing saling tuding pasca pemilu 2019 akan terjadi kerusuhan yang dimotori pihak lawan yang kalah. Ini artinya, siapapun yang menang dalam pertarungan legislatif nanti terindikasi terjadinya kerusuhan.

Kubu Prabowo Sebut ada Potensi Kerusuhan Jelang Pemilu 2019, https://www.merdeka.com/peristiwa/kubu-prabowo-sebut-ada-potensi-kerusuhan-jelang-pemilu-2019.html.

Bilang Negara Punah Jika Kalah Pilpres, IPW Curiga Prabowo Mau Bikin Perang Saudara, http://wartakota.tribunnews.com/2018/12/22/bilang-negara-punah-jika-kalah-pilpres-ipw-curiga-prabowo-mau-bikin-perang-saudara.

Gerindra Prediksi Pilpres 2019 Bakal Rusuh, Gara-Gara Jokowi, https://www.wartaekonomi.co.id/read190098/gerindra-prediksi-pilpres-2019-bakal-rusuh-gara-gara-jokowi.html.

Dalam perjalanan sejarahnya, Order Out of Chaos telah berhasil memporak-porandakan sebuah prinsip dan ideologi yang tengah dibangun. Jika kita menelisik kembali Perang Dunia (PD) I dan II. Solution goal PD I yaitu pembentukkan bank sentral, yang pada hakikatnya bank sentral itu bertujuan untuk menghilangkan kedaulatan ekonomi sebuah negara. Sementara PD II adalah untuk mendirikan PBB.

Tahun 1907 Jacob Schiff mengusulkan pembentukan bank sentral Amerika saat berpidato di hadapan kongres. Gagasan ini sempat ditolak karena dirasa tidak perlu. Namun opini publik digiring untuk mempercayai kehadiran bank sentral untuk menstabilkan perekomomian dengan problem-problem yang sengaja dimunculkan, yaitu isu melalui media bahwa bank-bank lokal akan kolaps. Reaksi yang muncul adalah peristiwa “Panic 1907”, krisis ekonomi yang melanda seluruh wilayah Amerika Serikat. Hasilnya, 7 bulan setelah undang-undang bank sentral disetujui pada tahun 1913, terjadilah PD I tahun 1914 sampai 1918.

Belum puas sampai disitu, PD II kembali dimunculkan untuk meyakinkan dunia agar membentuk lembaga “yang suci dari yang suci”, PBB (yang disebut oleh Soekarno sebagai refleksi dari Neo Imperialisme dan Kolonialisme -NeKoLim-). Ironinya, pasca pembentukkan PBB tahun 1945 justru banyak peperangan yang muncul, beberapa diantaranya masih berlanjut hingga kini. Perang Arab-Israel (1948), Perang Suez (1956), Perang Vietnam (1964), Perang Kamboja (1967), Perang Afghanistan (2001), Konflik Suriah (2011).

Lalu apa agenda terselubung jika terjadi konflik pasca pemilu 2019? Berdasarkan penelusuran dan data yang diperoleh, indikasi adanya kolonialisme bangsa China di Indonesia menunjukkan gejala-gejala yang positif. Mulai dari pemukiman, pasar, tenaga kerja, kita bisa mengamati sendiri perkembangannya di lapangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui adanya pelonjakan tenaga kerja asing di Indonesia yang didominasi berasal dari China, http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/04/30/fakta-may-day-2018-jumlah-tenaga-kerja-asing-china-di-indonesia-terus-meningkat. Hal senada juga diungkapkan oleh  Kementerian Tenaga Kerja, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180306201957-92-280945/jumlah-tenaga-kerja-asing-membludak-mayoritas-dari-china

Roy Suryo -mantan Menteri Pemuda dan Olahraga- menilai ada praktik ilegal terselubung dalam memasukkan warga negara asing asal China ke Indonesia. Modusnya adalah dengan menunggangi pola kerjasama investasi yang kompensasinya memberi kemudahan bagi pekerja China untuk masuk ke Indonesia. “Awalnya kerjasama usaha. Masuk tenaga kerja China sebanyak banyaknya di PT PMA. Lalu mereka bikin “Keamanan” sendiri. Pribumi sulit masuk. Mereka bikin daerah atau kavling terbatas sendiri. Pribumi sulit kontrol. Lalu boleh mendirikan ormas asing. Bikin pasukan dan satgas sendiri. Lalu asing boleh beli property dan tanah sendiri,” papar Roy Suryo. https://www.bangsaonline.com/berita/29445/indonesia-terancam-invasi-china-ada-infiltrasi-dalam-eksodus-besar-besaran-tenaga-kerja.

Spekulasi-spekulasi ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan alasan mengamankan aset, PM China telah memberikan gertakan akan mengirimkan pasukannya ke Indonesia jika kejadian 1998 terulang, https://www.goriau.com/berita/baca/pm-cina-menggertak-jika-tragedi-98-terulang-dia-akan-kirim-pasukan-ke-indonesia.html.

Entah dari mana epistimologi Order Out of Chaos ini berasal. Yang jelas strateginya memang telah teruji di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Perang dan konflik adalah megaproyek industri untuk  menghancurkan sebuah tatanan nilai suatu negara. Para makelar dan pemodal adalah satu-satunya pihak yang paling banyak meraup keuntungan dari industri perang ini. Karena perang butuh dana, mulai dari perban sampai peluru ada harganya. Semua kebutuhan itu akan meningkat harganya seiring dengan perkembangan perang, semakin lama dan dahsyat sebuah perang maka semakin defisit anggaran negara. Amerika yang diklaim sebagai pemenang pada PD II kini tercatat sebagai negara dengan hutang terbesar di dunia ($19 Triliun lebih).

Lagi-lagi, rakyat Indonesia harus cerdas bukan hanya dalam memilih pemimpin saat pemilu yang akan berlangsung tanggal 17 April mendatang. Rakyat harus cerdas dalam menggunakan akal sehat sehingga berhasil menciptakan reaksi yang tepat pada segala kondisi. Diam bukan solusi, namun terpancing dalam konflik adu domba Order Out of Chaos juga bukan buah dari kecerdasan akal sehat. Rakyat Indonesia harus menang secara elegan. Perang saudara jangan dijadikan solusi untuk membela salah satu kandidat untuk maju berkuasa.

Ingat, jika konflik terjadi, posisi rakyat hanya sebagai prajurit. Prajurit dalam makna filosofinya, adalah barisan yang paling pertama mati di sebuah medan perang. Kalah menang tak jadi soal, asalkan ia gugur dalam membela ideologinya. Sayang, ia hanya tak tahu kalau pemenang peperangan itu bukan dari kawan atau lawannya. Tetapi dari pihak yang sama sekali tidak ikut bertempur, para makelar konflik.

Foto: Koleksi Pribadi

Penulis: Ilham Firdaus Alviasnyah Rinjani

(Pemerhati Politik)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *