Otoritarianisme Orde Baru menyebabkan segala bentuk pemikiran yang menentang menjadi sexy di mata aktifis mahasiswa. Oleh karena itu, menjadi marxis adalah sebuah kebanggaan dan perlawanan terhadap junta militer yang fasis dan korup.
Wartapilihan.com, Jakarta –Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid urun tanggapan terkait isu kebangkitan komunisme yang sedang hangat diperbincangkan menjelang tanggal 30 September 2017. Sebab, kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, pada tahun 1965 suasana Negara Indonesia tidak kondusif dan terjadi terror, begitupun bulan September tahun 1948 PKI melakukan pemberontakan sangat bengis.
“Memang sadis waktu itu Madiun Affair, peristiwa 18 september 1948 PKI memproklamasikan berdirinya negara Republik Soviet Indonesia dengan Presidennya adalah Muso dan perdana menterinya adalah Amir Syarifuddin. Dan warga dipaksa untuk mengikuti pilihan mereka, kalau tidak akan dibunuh,” kata Hidayat Nur Wahid kepada wartawan di ruang kerjanya, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (26/9).
Sebagaimana yang terjadi pada Professor Edi Suharsono, lanjut Hidayat, pada peristiwa Madiun itu, mereka (PKI) melakukan kejahatan yang luar biasa kepada pejabat negara seperti M. Suryo Gubernur Utama Jawa Timur yang mereka culik dan mereka bunuh di daerah Magetan, kemudian pesantren takeran Magetan dimana santrinya di tangkap dan dikubur hidup-hidup.
“Jadi PKI itu sudah melakukan kejahatan yang sangat mengerikan, yang sudah menjadi Komunis Indonesia. Pada tahun 1966 MPRS (Majelis Permusayawaratan Rakyat Sementara) di bawah Jenderal Nasution membuat TAP MPRS tentang pembubaran PKI dan pelarangan di seluruh Indonesia Komunisme dan Leninisme, dan TAP MPRS ini berlaku,” papar Hidayat.
Sebab, kata Hidayat, MPR diberikan kewenangan di TAP MPR dan MPRS salah satunya adalah nomor 24 tahun 1966. Visinya terhadap pelarangan kepada PKI dan pelarangan penyebaran paham terhadap Komunisme dan Leninisme. Regulasi ini juga dikuatkan lagi dalam KUHP di UU nomor 47 tahun 1999 tegas dinyatakan, paham Komunisme adalah pelanggaran hukum yang bisa dikenakan sanksi pidana.
“Sekarang ada Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang keormasan, juga lagi-lagi pasal 59 ayat 4 di huruf c ada penegasan tidak diperbolehkan tentang penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila, yang dimaksud bertentangan dengan paham pancasila adalah, Atheisme, Komunisme, Marxsisme, dan Leninisme. Jadi dengan pendekatan ini sudah sangat jelas posisi dari PKI sebagai partai terlarang,” tegasnya.
Dengan demikian, simpul Hidayat, maka apa yang dinyatakan Presiden Jokowi berkali-kali bahwa kalau ada paham yang bertentangan dengan pancasila seperti PKI muncul, gebuk saja.
“Kalau yang bilang nonton bareng film G30S/PKI memecah belah bangsa, itu adalah pernyataan yang tidak bertanggung jawab dan kemudian Pancasila akan digusur, maka Indonesia bukan lagi jadi negara NKRI, tapi menjadi negara komunis,” tutupnya.
Sementara itu, PD (Pusat Dakwah) Al-Mahabbah memandang bahwa polemik tahunan tentang PKI adalah isu yang jauh dari kata produktif (maslahat). Baik yang membela PKI mati-matian, dengan yang mengutuk PKI, sama-sama terjebak dalam romantisme sejarah. Alih-alih bisa membangkitkan rasa bangga pada sanubari anak bangsa, yang ada justru memantik api permusuhan.
“Pemberontakan PKI adalah luka sejarah. Luka ini sudah lama kita obati dan kita balut dengan perban, meski goresan-goresannya masih menyisakan rasa sakit yang mendalam di hati para pihak yang berseteru. Membuka kembali luka yang sudah lama kita balut adalah upaya yang hanya akan membuat kita mundur beberapa langkah ke belakang,” kata Ketua Umum PD Al Mahabbah Khairi Fuady kepada Warta Pilihan di Jakarta, Selasa (26/9).
Lebih lanjut, kata Fuady, sejarah pemberontakan PKI bukanlah sejarah perlawanan terhadap kolonialisme, namun konflik saudara antar sesama anak bangsa. Maka membincang ulang peristiwa Pemberontakan PKI dengan tendensi tertentu, baik pro maupun kontra, hanya akan memantik kembali perang saudara.
“PD Al-Mahabbah menghimbau kepada segenap Da’i dan Da’iyah Muda Al-Mahabbah yang tersebar di seluruh penjuru negeri, untuk dengan serius dan ikhlas menjadi “Khaadimul Ummah”, pelayan umat dalam menjalankan peran pentingnya sebagai “Mundzirul Qawm” (Penyeru) yang terus bersuara untuk menjaga kerukunan dan persatuan,” saran dia.
Selain itu, lanjutnya, PD Al Mahabbah juga menghimbau kepada masyarakat untuk melek dan responsif terhadap perkembangan dunia. Konflik 65 adalah bagian yang tak terpisahkan dari geopolitik perang dingin (Cold War). Pada era perang dingin, polarisasi dunia terpetakan kepada bipolaritas Komunis-Anti Komunis. Seiring berjalannya waktu, bipolaritas dunia sudah bergeser pada peta yang lebih kompleks. Mentalitas cold war ini lah yang sejatinya sudah lama harus kita tinggalkan.
“PD Al-Mahabbah memandang bahwa Persatuan dan Kesatuan adalah mutlak harus sama-sama kita jaga dan perjuangkan. Hentikan segala upaya untuk memantik kembali api permusuhan soal PKI, hapus luka lama, dan kembali tegak menatap masa depan,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi