Pemilihan Kepala Daerah serempak yang digelar tahun ini, akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah perlu mengevaluasi gaya pembangunan yang masih kurang singkron.
Wartapilihan.com, Jakarta –Tahun 2018 menjadi tahun politik bagi masyarakat Indonesia. Karena pada bulan Juni nanti setidaknya ada 171 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah.
Tiga provinsi dengan jumlah penduduk terpadat, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, juga akan memilih kepala daerah pada Pilkada gelombang ketiga ini.
Karena panasnya suasana, Indonesia dikhawatirkan akan memasuki masa sulit di bidang ekonomi, setelah mencatat pertumbuhan ekonomi 5 persen sepanjang 2017. Meski tahun politik bisa berdampak negatif, sebenarnya juga ada manfaat positifnya.
Manfaat positifnya, ekonomi bisa tumbuh melalui belanja partai politik. Namun, di tahun 2018 efek negatif akan lebih terasa. Investor akan ‘wait and see’, menunggu keamanan dan resiko yang lain terkait dengan investasi yang ditanam.
Karenanya target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen bisa meleset. Diprediksi pertumbuhan ekonomi hanya 5,3 persen.
Di sisi lain, Indonesia juga terancam siklus krisis ekonomi setiap 10 tahun merujuk pada krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008.
Penyebab utama krisis 1998 adalah nilai tukar mata uang, terutama di Asia, yang tidak fleksibel, juga tidak ada sinkronisasi terhadap kurs dan ‘capital inflow’ (arus modal masuk).
Namun, menghadapi tahun politik ini, pemerintah memasang target positif bagi pertumbuhannya. Berdasarkan RAPBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok optimistis, mencapai angka 5,4%.
Angka itu lebih besar dibanding pertumbuhan ekonomi 2017 yang dipatok pada 5,2%. Ini juga berarti, perekonomian 2018 nanti diprediksi akan berkembang, tidak mengalami stagnan.
Pemerintah memang boleh saja mematok target, namun pengusaha punya kalkulasi tersendiri. Awal Desember lalu misalnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merilis prediksi mereka akan kondisi perekonomian 2018 yang angkanya jauh lebih rendah.
Dari perkhitungan Apindo, pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan hanya akan berada di angka 5,05% – 5,2%. Dasarnya tidak akan banyak perubahan pada 2018.
Asumsi pertumbuhan itu dipatok Apindo dengan pertimbangan pemerintah tidak bakal meluncurkan kebijakan ekonomi terobosan pada 2018.
Artinya, bila tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia dan pola kerja juga tidak banyak berubah, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2018 hanya akan berada di level 5,05% – 5,2%.
Sebenarnya Apindo tidak sendiri dalam meneropong perekonomian Indonesia di tahun ini. Dana Moneter Internasional (IMF) misalnya, mematok pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 diprediksi akan berada di kisaran 5,3%.
Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada November lalu menyebutkan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2017 hanya mencapai 5,06%, cuma naik sedikit dibanding kuartal I dan II yang sama-sama mencapai 5,01%.
Dengan kata lain, dalam kurun tiga kuartal di 2017, pertumbuhan ekonomi 2017 tidak pernah menembus angka 5,2%. Maka itu Apindo pun melihat target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2017 tidak akan tercapai.
Pemerintah sendiri mengakui bahwa target pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,2% bisa saja tidak tercapai.
Pada minggu terakhir Desember lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 2017 secara keseluruhan kemungkinan berada di level 5,05%.
Sebab data pertumbuhan kuartal pertama hingga ke tiga sudah masuk. Sedang pertumbuhan ekonomi kuartal IV (Oktober-November), menurut Sri, diproyeksikan hanya 5,12%.
Hal yang sama juga disampaikan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo yang menyebut pertumbuhan ekonomi 2017 cuma 5,05%. Angka itu cuma sedikit lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi 2016 yang sebesar 5,02%.
Dari hal tersebut, pemerintah seharusnya melakukan koreksi. Seperti mengapa program infrastruktur yang dicanangkan ternyata tidak bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan.
Pasalnya pembangunan infrastruktur, secara teori seharusnya mampu menumbuhkan perekonomian.
Salah satu penghambatnya kurang mujarabnya pembangunan infrastruktur untuk menggenjot ekonomi adalah pada terputusnya pola pembangunan.
Yaitu tidak ada kecocokan antara konsep pembangunan infrastruktur dengan sasaran yang hendak dicapai.
Selain itu. jumlah pekerja sektor konstruksi sedikit mengalami penurunan, dari 6,74% menjadi 6,73%. Sementara itu pada 2016, jumlah serapan tenaga kerja sektor konstruksi berkurang sampai 230.000 orang.
Selain itu, tidak ada koneksi antara proyek infrastruktur dengan industri manufaktur. Jalan tol dan rel kereta dibangun, tapi tidak berkaitan dengan jalur distribusi di kawasan industri.
Pemerintah memang membangun banyak kawasan industri baru, tapi kawasan industri yang sudah ada justru terabaikan.
Kini, saatnya pemerintah kembali fokus menggenjot industri manufaktur. Karena salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 dan 2017 stagnan diyakini akibat lesunya industri sektor ini
Jadi bagaimana pun, di tahun politik ini, pemerintah harus tetap konsisten melakukan strategi ulang terhadap kebijakan proyek infrastruktur, yaitu dengan membuatnya bersinergi dengan sektor manufaktur, sehingga Infrastruktur bisa mendorong industrialisasi.
Rizky Serati