Wanita Muslim Rohingya menjadi korban pemerkosaan tentara Myanmar. Pada 2011, sebelum Suu Kyi terpilih, ia mengatakan bahwa pemerkosaan digunakan militer untuk meneror etnis tertentu.
Wartapilihan.com, Cox’s Bazaar –Dokter yang merawat beberapa dari 429.000 Muslim Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar dalam beberapa pekan terakhir melihat puluhan wanita dengan luka-luka yang konsisten dengan serangan kekerasan seksual.
Laporan petugas medis, yang didukung beberapa kasus melalui catatan medis yang direview oleh Reuters, memberi bobot pada tuduhan berulang, mulai dari penganiayaan hingga pemerkosaan, yang menimpa wanita Rohingya.
Pejabat Myanmar sebagian besar menolak tuduhan tersebut sebagai propaganda militan yang dirancang untuk mencemarkan nama baik militernya.
Zaw Htay, juru bicara pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, mengatakan bahwa pihak berwenang akan menyelidiki tuduhan yang diajukan kepada mereka. “Korban-korban pemerkosaan itu harus mendatangi kami,” katanya. “Kami akan memberikan keamanan penuh kepada mereka, kami akan menyelidiki dan kami akan mengambil tindakan.”
Suu Kyi sendiri belum berkomentar mengenai banyaknya tuduhan penyerangan seksual yang dilakukan oleh militer terhadap wanita Rohingya yang dipublikasikan sejak akhir tahun lalu.
Kekerasan meletus di negara bagian Rakhine, Myanmar barat laut, menyusul serangan terhadap pasukan keamanan oleh militan Rohingya Oktober 2016. Serangan lebih lanjut pada 25 Agustus memprovokasi serangan militer baru-baru ini yang disebut PBB sebagai “pembersihan etnis”.
Reuters berbicara dengan delapan petugas kesehatan dan perlindungan di distrik Cox’s Bazar di Bangladesh. Mereka mengatakan bahwa telah merawat lebih dari 25 kasus pemerkosaan sejak akhir Agustus.
Petugas medis mengatakan bahwa mereka tidak berusaha menetapkan secara pasti apa yang terjadi pada pasien, namun telah melihat pola yang tidak salah lagi dalam cerita dan gejala fisik belasan wanita, yang selalu mengatakan bahwa tentara Myanmar adalah pelakunya.
Sangat jarang dokter dan agen bantuan PBB berbicara tentang pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh angkatan bersenjata negara bagian, mengingat begitu sensitifnya masalah tersebut.
Serangan yang Tidak Manusiawi
Dokter di sebuah klinik yang dikelola oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi PBB di pengungsian sementara Leda mengatakan bahwa mereka merawat ratusan wanita dengan luka-luka yang mereka katakan berasal dari kekerasan seksual selama operasi militer pada bulan Oktober dan November tahun lalu.
Ada sedikit perkosaan yang dilaporkan di antara masuknya pengungsi sejak Agustus, kata Dr. Niranta Kumar, koordinator kesehatan klinik tersebut. Namun mereka yang melihat luka-luka menunjukkan adanya serangan “lebih agresif” kepada wanita.
Dokter di klinik Leda menunjukkan kepada seorang reporter Reuters tiga file kasus, tanpa membocorkan identitas pasien tersebut. Ia mengatakan bahwa seorang wanita berusia 20 tahun dirawat pada 10 September, tujuh hari setelah dia mengatakan bahwa dia diperkosa oleh seorang tentara di Myanmar.
Dalam catatan tulisan tangan disebutkan, tentara telah “menarik rambutnya” dan sebuah “senjata memukulnya” sebelum tentara memperkosanya.
Pemeriksaan sering menemukan luka yang menandakan penetrasi paksa, pemukulan, dan bahkan pemotongan alat kelamin yang disengaja.
“Kami menemukan tanda di kulit, ini menunjukkan serangan yang sangat kuat, serangan yang tidak manusiawi,” kata petugas medis IOM, Dr. Tasnuba Nourin.
“Dia telah melihat tanda kejadian perkosaan, tanda gigitan, dan tanda luka yang sepertinya menunjukkan senjata api digunakan untuk penetrasi ke bagian intim wanita,” katanya.
Diantara arus baru Rohingya, dia merawat setidaknya lima wanita yang tampaknya baru saja diperkosa. Ia menambahkan bahwa dalam setiap kasus, luka fisik yang diamati sesuai dengan pengakuan pasien tentang apa yang telah terjadi.
Di klinik pemerintah Bangladesh yang didukung oleh PBB di daerah Ukhia, para dokter melaporkan telah merawat 19 wanita yang telah diperkosa, kata Dr. Misbah Uddin Ahmed, kepala kompleks kesehatan utama di sana.
Dalam satu hari saja, pada 14 September, enam wanita muncul di salah satu klinik, semua mengatakan bahwa mereka diserang secara seksual. “Mereka semua mengatakan tentara Myanmar telah melakukan ini.”
Seorang dokter IOM yang meminta untuk tidak diidentifikasi, bekerja di salah satu klinik di dekat kamp pengungsi Kutapalong, mengatakan, seorang wanita yang menyeberang dari Myanmar pada akhir Agustus mengaku bahwa dia diperkosa oleh setidaknya tujuh tentara.
“Dia sangat lemah dan trauma dan mengatakan bahwa dia berjuang untuk sampai ke klinik,” kata dokter tersebut. “Dia mengalami laserasi di vagina.”
Dokter tersebut merawat 15 dari 19 kasus wanita yang tampaknya telah diperkosa, dan delapan wanita lainnya yang telah diserang secara fisik. Beberapa diberi kontrasepsi darurat, dan semua diberi perawatan untuk mengurangi risiko tertular HIV dan untuk melawan hepatitis. Gejalanya termasuk bekas gigitan di lengan dan punggung, robek dan laserasi pada vagina dan pendarahan vagina, kata dokter tersebut.
Laporan internal yang disusun oleh lembaga bantuan di Cox’s Bazar mencatat bahwa 49 “korban SGBV” diidentifikasi hanya dalam empat hari antara tanggal 28-31 Agustus. SGBV, atau kekerasan seksual dan berbasis gender digunakan untuk merujuk hanya pada kasus perkosaan. Data untuk kasus perkosaan yang dilaporkan tidak tersedia untuk tanggal lain.
Sebuah laporan situasi dari lembaga bantuan mengatakan lebih dari 350 orang telah dirujuk untuk “perawatan yang menyelamatkan jiwa” yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender – sebuah istilah yang mencakup pemerkosaan, percobaan pemerkosaan dan penganiayaan, serta pelecehan emosional dan penolakan sumber daya berbasis jenis kelamin – sejak 25 Agustus.
Kate White, koordinator medis darurat untuk Médecins Sans Frontières (MSF) di Cox’s Bazar mengatakan bahwa badan amal tersebut telah menangani setidaknya 23 kasus kekerasan seksual dan berbasis gender termasuk penganiyaan dan pemerkosaan seksual sejak 25 Agustus.
“Ini adalah sebagian kecil dari kasus yang mungkin ada di luar sana,” katanya.
Perkosaan sebagai Senjata
Reuters pertama kali melaporkan tuduhan pemerkosaan massal terhadap wanita Rohingya dalam beberapa hari setelah serangan militan di Rakhine utara pada bulan Oktober tahun lalu.
Laporan yang sama juga didengar oleh peneliti PBB yang mengunjungi Bangladesh pada bulan Januari 2017.
Sebuah laporan dari Sekretaris Jenderal PBB pada bulan April mengatakan bahwa kekerasan seksual “tampaknya dilakukan secara sistematis untuk mempermalukan dan meneror komunitas mereka”.
Sebelum dia naik ke tampuk kekuasaan tahun lalu, Suu Kyi telah berbicara tentang pemerkosaan yang digunakan sebagai alat perpecahan dalam konflik etnis yang beragam di negara ini.
“Ini digunakan sebagai senjata oleh angkatan bersenjata untuk mengintimidasi etnisitas dan untuk membagi negara kita, “ katanya pada tahun 2011 dalam pesan video ke sebuah konferensi tentang kekerasan seksual dalam konflik.
Juru bicaranya Zaw Htay mengatakan bahwa “tidak ada yang perlu dikatakan” ketika ditanya apakah pandangannya telah berubah sejak saat itu. “Semuanya harus sesuai dengan aturan hukum,” katanya. “Para pemimpin militer juga mengatakan akan mengambil tindakan.”
Moedja Adzim