Gelar Al-Faruq dinisbatkan pada diri Umar bin Khaththab ra, salah satunya, tanggung jawab sebagai pemimpin sangat menonjol.
Wartapilihan.com, Jakarta –Khalifah Umar bin Khaththab ra. memiliki kebiasaan melakukan ‘ronda’ malam. Bukan menjaga keamanan, tapi lebih pada melihat keadaan ummat saat itu.
Saat melihat ada ummat yang kesulitan hidup, maka Umar ra. akan memenuhi keperluannya. Hal yang tampak biasa jika Umar memanggul sekarung gandum untuk ummat yang ditemuinya karena kelaparan, misal.
Tanggung jawab sebagai pemimpin amat menonjol pada diri Umar ra, sehingga gelar Al-Faruq dinisbatkan padanya.
Suatu ketika pada larut malam, Umar ra. melakukan kebiasaan ‘ronda’ malamnya, dan menemukan hal yang tidak biasa. Di sebuah rumah yang ditemuinya, terdengarlah senandung syair yang mengibakan dari seorang perempuan…
“Mungkinkah ada jalan yang mengantarkanku pada khamr… Atau jika tidak, mungkinkah ada jalan untukku dalam pelukan Nashr bin Hajjaj?”
Syair itu diulang-ulangnya hingga membuat Umar ra. merasa heran. Bagaimana mungkin seorang perempuan di malam selarut ini bersenandung syair, dan bisa jadi mengabaikan amalan-amalan sunnah malam hari yang dianjurkan agama.
Siapa Nashr bin Hajjaj itu, sehingga namanya disebut-sebut perempuan itu, pikir Umar ra.
Keesokan harinya, Umar ra. memerintahkan pada salah satu sahabatnya untuk mencari lelaki itu, membawanya ke hadapannya…
Saat Nashr bin Hajjaj dihadapkan, terbelalaklah mata Umar ra. Yang ada di hadapannya adalah seorang pemuda yang teramat tampan. Ya teramat tampan…
Nashr bin Hajjaj adalah pemuda dengan tingkat ketampanan yang nyaris sempurna; badan tinggi tegap, wajah tampan dengan rambut ikal yang menawan. Secara fisik tidak ada kekurangan sedikit pun.
Inilah pemuda yang membuat “fitnah” karena ketampanannya. Inilah pemuda yang menjadikan tidak cuma seorang perempuan yang ‘ditemui’ Umar ra. di larut malam itu ‘tergila-gila’ padanya, tapi bisa jadi banyak perempuan lain yang juga tidak mustahil terpesona padanya.
Maka perintah Umar ra. seketika adalah mencukur habis rambut pemuda itu, menggundulinya. Di rambutnya itulah bisa jadi “fitnah” itu dimulai, pikir Umar ra.
Apa yang terjadi? Setelah rambut Nashr bin Hajjaj botak tanpa sehelai rambut pun yang tersisa, wajahnya bukannya menjadi biasa-biasa saja layaknya pemuda lainnya. Wajah Nashr bin Hajjaj justru makin terlihat tampan.
Melihat itu, Umar ra. memerintahkan untuk memakaikan jubah layaknya orang berumur. Dan lagi-lagi, wajah Nashr bin Hajjaj tampak makin tampan dengan aura wibawa.
Maka, perintah selanjutnya, adalah “Asingkan lelaki itu ke Bashrah,” perintah Umar ra. (Diasingkan ke Bashrah, artinya ditempatkan dan bergabung bersama pasukan muslim yang berada di sana).
Kisah Nashr bin Hajjaj, ini dikisahkan di banyak buku, tentu dengan redaksi yang berbeda, sebagaimana saya pun menuliskannya dengan redaksi berbeda. Diantaranya, Ibnul Jauzi, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan masih banyak lainnya.
‘Mengasingkan” seseorang, sebagaimana Nashr bin Hajjaj, itu ijtihad Umar ra. sebagai seorang pemimpin. Bisa jadi Umar ra. melihatnya sebagai “lebih baik ‘merugikan’ satu orang demi kemaslahatan yang lebih besar”. Rasulullah SAW pun pernah mengasingkan seorang waria dari Madinah, itu dimaksudkan juga agar tidak terjadi fitnah.
Inilah bisa jadi “tampan” Nashr bin Hajjaj yang tidak selalu indah, tapi justru ketampanannya membawanya ke pengasingan.
Bagaimana dengan fenomena di zaman ini?…
Jika Nashr bin Hajjaj ditarik ke zaman kita ini, maka ia akan menjadi pemuda yang begitu gampang memperoleh istri cantik dan kaya. Dan tidak mustahil sedikitnya akan menjadi bintang iklan dan sinetron di televisi-televisi kita, yang menebar hidup hedonisme, kepura-puraan dan absurd.
Kisah Nashr bin Hajjaj di atas, bisa menjadi ibrah, bahwa tampan tidaklah “indah” jika tidak diikuti kesalehan ibadah dan sosial yang baik. Dan jika tidak, ia akan menjadi ketampanan sia-sia…
Wallahu A’lam…
Ady Amar