Oleh: M. Musa Ibrahim
(Santri PRISTAC, PP at-Taqwa Depok)
Dr. Adian Husaini dalam bukunya, Liberalisasi Islam di Indonesia, mengatakan bahwa program liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1). Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama. (2). Liberalisasi bidang syari’ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad; dan (3). Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran. (Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), hlm. 12.)
Salah satu contoh penafsiran liberal terhadap al-Quran adalah tafsir atas QS Ali Imran ayat 19: “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Oleh orang liberal, “al-Islam” dalam ayat itu dimaknai secara generik sebagai sikap tunduk-patuh dan taat-pasrah. Jadi, siapa pun yang berserah diri pada Tuhan, bisa disebut muslim. Islam bukan nama agama tertentu yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (Lihat, Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 41-42.).
Budhy Munawar-Racman dalam buku “Islam dan Liberalisme”, menulis: “Demikian juga makna Islam pada QS 3:85 adalah Islam yang “umum” yang meliputi semua risalah langit, bukan islam dalam arti istilah, bukan Islam dalam arti agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad.” (Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2011) hlm. 232).
Contoh lainnya, adalah penafsiran orang-orang liberal terhadap QS Al-Baqarah ayat 62: “sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (2:62)
Luthfi Assyaukanie dalam bukunya Islam Benar VERSUS Islam Salah menyatakan: “…Allah menjamin para penganut agama-agama lain (Yahudi, Kristen, Sabean) akan mendapatkan pahala sesuai dengan perbuatan baik mereka dan dijamin berada dalam lindungan Allah (QS 2: 62 dan QS 5: 69). Ayat-ayat seperti ini memperkuat ayat-ayat lainnya yang menyatakan, semua agama — selama mengakui ketertundukannya kepada Allah (yang merupakan mana dari kata ‘Islam’) — pada dasarnya adalah sama…” (Luthfi Assyaukanie, Islam Benar VERSUS Islam Salah (Jakarta: KataKita, 2007) hlm. 74.)
Adapun Budhy Munawar-Rachman dalam bukunya, Islam dan Liberalisme menulis: “Ayat ini sangat jelas menggambarkan adanya keselamatan dalam agama-agama (apapun agamanya), yang tergantung pada tiga nilai Universal yang ditekankan oleh ayat tersebut, yakni beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh. Nilai-nilai universal yang terkandung dalam ayat tersebut berlaku untuk semua agama dan bahwa ayat tersebut diabrogasi (dihapus)”. (Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme, Op.Cit, hlm. 229).
Tafsir Syekh Nawawi
Tafsiran orang-orang liberal seperti itu tentu sangatlah berbahaya bagi orang muslim. Sebab, tafsiran semacam ini akan memberikan pemahaman bahwa “Islam” bukanlah nama suatu agama, melainkan hanyalah sebuah ajaran ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan yang bisa diamalkan oleh semua umat beragama apa saja. Semua agama yang mengajarkan ketundukan dan kepasrahan pada tuhannya bisa disebut “Islam” dan ummatnya adalah “Muslim”, dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa semua agama diridhai oleh Allah.
Dalam tradisi keilmuan Islam tidak semua orang berhak menafsirkan al-Quran. Hanya seorang yang sudah memenuhi syarat — baik secara keilmuan maupun kejiwaan — yang boleh menafsirkan al-Quran. Salah seorang ulama yang sudah tidak diragukan lagi otoritas keilmuannya ialah Syaikh Nawawi al-Bantani. Ia merupakan seorang ulama nusantara bertaraf internasional. Beliau merupakan ulama yang produktif. Karyanya tidak kurang dari 115 kitab. Salah satunya merupakan kitab al-Tafsir al-Munîr atau yang lebih dikenal Marâh Labîd.
Muhammad Nawawi dilahirkan di Tanara, Serang, Banten pada 1230 H/1813 M. Ayahnya bernama kiai Umar, yang sanadnya bersambung sampai Sunan Gunung Jati. Sedangkan ibunya bernama Nyai Zubaidah binti Singaraja. Nama yang diberikan ayahanda terinspirasi dari nama seorang ulama yang kitabnya sering ia kaji. Sosok ulama tersebut ialah Syaikh Abu Zakaria bin Syaraf bin Murri bin Hasan al-Hizami al-Haurani an-Nawawi ad-Dimasyqi (631-676 H/1233 -1277 M) atau yang lebih dikenal dengan Imam an-Nawawi dari daerah Nawa, Damaskus, Suria.
Kedalaman ilmu Syaikh Nawawi al-Bantani diakui oleh para ulama pada masa itu. ‘Saking’ alimnya, beliau mendapat banyak gelar. Ulama Mesir menyebutnya Sayyidu al-Ulama al-Hijaz (Penghulu Para Ulama Hijaz), sedangkan ulama timur menyebutnya ‘Aalimu al-Hijaz (Orang Alimnya Hijaz). Selain itu beliau juga mendapatkan julukan al-Imam al-Ulama al-Haramain wal Fuqaha wal Hukama al- Mutaakhirin.
Tentang QS Ali Imran ayat 19, Syekh Nawawi menulis dengan tegas bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah adalah agama Islam, yang mengajarkan Tauhid dan mengamalkan syariat: “(Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam) maka tiada agama yang diridhai Allah selain agama Islam, yaitu yang mengajarkan tauhid dan mengamalkan syariat yang mulia yang menjadi pegangan para rasul.” (Al-‘Allamah Asy-Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir; Marah Labid: Jilid 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2017), hlm. 330).
Tentang QS Ali Imran ayat 85: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”, Syekh Nawawi menjelaskan: “(Barangsiapa yang mencari agama selain dari Islam) yakni selain ajaran tauhid dan tunduk patuh kepada hukum Allah (sebagai agama, maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi) karena tidak mendapat pahala, memperoleh siksaan, dan merasa sangat kecewa karena menyia-nyiakan masa di dunianya tanpa amal shaleh, serta beban berat yang ditimpakannya di dunia karena menuruti ajaran agama yang bathil.” (Ibid. hlm. 397-398).
Tentang QS al-Baqarah ayat 62, Syekh Nawawi menjelaskan: “Makna ayat ini, sesungguhnya orang-orang yang beriman sebelum kedatangan Nabi Muhammad yaitu mereka yang hidup pada masa fatrah atau kekosongan nabi, yaitu mereka yang beriman kepada ‘Isa seperti Qis bin Saidah, Buhairah Ar-Rahib, Habib An-Najjar, Zaid ibnu ‘Amr ibnu Naufal, Waraqah ibnu Naufal, Salman al-Farisi, Abu Zar Al-Gifari, delegasi An-Najasyi, dan mereka yang dinilai sesat oleh pemeluk agama Yahudi, Nasrani dan Shabi’in. Siapapun diantara mereka yang beriman akan diutusnya Muhammad, dan beriman kepada Allah serta adanya hari kemudian juga beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan mendapat pahala dari Tuhan mereka.” (Ibid, hal. 55).
Jadi, Tafsir Syekh Nawawi al-Bantani ini sangat berbeda dengan tafsiran orang-orang liberal. Syekh Nawawi menegaskan, satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah SWT adalah agama Islam, yakni agama Tauhid, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Maka, dalam tafsirnya terhadap QS al-Baqarah ayat 62, Syekh Nawawi juga mensyaratkan iman kepada Nabi Muhammad saw, agar orang Yahudi dan Nasrani bisa selamat dan mendapat pahala dari Allah. Penafsiran seperti inilah yang benar dan diterima semua ulama Islam.
Oleh sebab itu MUI dalam fatwanya No 7/Munas-VII/11/MUI/2005 menetapkan bahwa paham Pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram memeluk paham tersebut. MUI menjelaskan definisi paham Pluralisme yang diharamkan, yaitu: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Tidak beradab
Pada dasarnya, ideologi liberalisme mengantarkan penganutnya kepada pemahaman bahwa al-Quran adalah teks terbuka yang multi-tafsir. Setiap orang menurut mereka boleh melakukan penafsiran dan tidak ada satupun tafsir yang mutlak kebenarannya. Belum lagi mereka menggunakan ayat al-Quran sebagai pembenaran terhadap pemikiran mereka yang sangat bertentangan dengan syari’at. Tentu semua ini mencerminkan kerusakan aqidah mereka sehingga hal ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama tafsir, karena syarat pertama yang harus dimiliki oleh seorang penafsir adalah aqidah yang lurus.
Hampir seluruh ulama nusantara memiliki sanad keilmuan yang bersambung kepada Syaikh Nawawi al-Bantani, termasuk dua ulama besar yang mendirikan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Kyai Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah dan Kyai Hasyim Asy-‘ari yang mendirikan NU. Maka pemikiran liberal adalah suatu perilaku su’ul adab (tidak beradab) kepada kedua ulama tersebut dan juga kepada Syaikh Nawawi al-Bantani, karena telah menciderai sanad keilmuan yang telah beliau sambungkan melalui para muridnya. Wallahu A’lam. (PRISTAC at-Taqwa Depok, 22 Februari 2019).