Bagi Shī’ah, metode tafsīr bāṭinī adalah satu-satunya metode penafsiran yang paling valid. Shī’ah membatasi bahwa ilmu al-Qur´ān, termasuk di dalamnya makna bāṭinī, hanya dimiliki oleh para imām yang ma’ṣūm.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Tafsīr al-Qur´ān merupakan ilmu yang sangat digemari oleh para ulama. Banyaknya kitab-kitab tafsir klasik yang ada saat ini adalah bukti antusias mereka dalam mempelajari dan mendokumentasikan ilmu tersebut. Selain itu, mereka juga menetapkan dan menyepakati metode-metode dalam penafsiran.
Namun, seiring berjalannya waktu, muncullah firqah-firqah yang keluar dari manhāj Ahlussunnah wal Jamā’ah dan melakukan penafsiran al-Qur´ān secara bebas. Salah satunya adalah Shī’ah, firqah yang mengaku bagian dari Islām. Mereka tidak hanya menyelisihi tafsir-tafsir ulama Sunnī, tetapi juga mengingkari metode-metode penafsiranyang telah disepakati para Salaf sebelumnya. Shī’ah memiliki metode tersendiri dalam menafsirkan al-Qur´ān, yaitu metode tafsīr bāṭinī. Hal ini berawal dari doktrin keyakinan mereka bahwa al-Qur´ān memiliki makna tersirat (bāṭinī) dan makna tersurat (ẓāhir).
Manusia secara umum hanya dapat mengetahui makna ẓāhirnya saja, sementara makna bāṭinī hanya diketahui oleh para imām dan orang-orang yang mereka kehendaki. Dengan demikian, Shī’ah dapat secara bebas manafsirkan setiap ayat, hingga akhirnya berdampak pada penyimpangan ‘aqīdah dan sharī’ah.
“Salah satu cara melihat indikasi kesesatan Shī’ah adalah dari tafsir yang mereka yakini. Namun, kita tidak bisa langsung menghakimi mereka sesat. Karena ada Shī’i ideologis dan Shī’i karena kepentingan pragmatis,” ujar peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) XI UNIDA Gontor Muhammad Abdul Malik Al-Furqon dalam seminar Pemikiran dan Peradaban Islam di kantor INSIST, Kalibata Utara, Jakarta Selatan, Sabtu (20/1).
Tafsīr bāṭinī adalah metode penafsiran yang kerap digunakan oleh Shī’ah dalam menta´wīlkan naṣ-naṣ al-Qur´ān, terkhusus adalah ayat-ayat yang dapat dikait-kaitkan untuk melegalkan ideologi imāmah. Secara bahasa, lafal bāṭinī adalah ṣifat isim fa`il yang berasal dari kata baṭana-yabṭunu, yang berarti sesuatu yang tidak nampak atau tersembunyi.
Dalam al-Qur´ān, terdapat beberapa ayat yang menyebutkan lafal tersebut, diantaranya: “Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi.” (QS. Al-An’ām: 120). Apabila lafal bāṭinī diawali dengan tafsīr, maka susunan dua kata tersebut menjadi istilah tersendiri yang memiliki arti khusus.
Dikatakan tafsīr bāṭinī maka maknanya adalah metode penafsiran dengan mendahulukan makna yang tersembunyi (bāṭinī) dari makna tersuratnya (ẓāhir) dengan merujuk kepada pendapat orang-orang yang ma’ṣūm. Metode ini adalah metode yang kerap digunakan oleh firqah-firqah sesat yang menyimpang dari Islām, seperti: al-Mulāḥidah, al-Qarāmiṭah, al-Bāṭiniyah, Shī’ah, dan lain-lain.
“Kaum Shī’ah sendiri meyakini bahwa al-Qur´ān mempunyai makna tersirat (bāṭinī) dan tersurat (ẓāhir). Manusia secara umum hanya dapat mengetahui makna ẓāhirnya saja, sementara makna bāṭinī hanya diketahui oleh para imām dan orang-orang yang mereka kehendaki,” jelas Furqan.
Keterangan dan riwayat tentang hal ini banyak tercantum dalam kitab-kitab induk dan tafsir mereka. Muhammad bin Mas’ūd al-Samarqandī, dalam tafsirnya mencantumkan sebuah riwayat yang cukup masyhur. Dari Jābir al-Ja’fī, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abū Ja’far tentang permasalahan tafsīr al-Qur´ān dan ia menjawabnya. Kemudian aku bertanya lagi untuk yang kedua dan ia menjawabnya dengan jawaban berbeda. Lantas aku bertanya kenapa demikian, padahal engkau telah menjawabnya dengan selain ini sebelumnya.” Abū Ja’far berkata kepadaku: “Wahai Jābir, sesungguhnya dalam al-Qur´ān terdapat makna implisit yang di dalamnya terkandung makna bāṭinī dan ẓāhir; dan juga makna eksplisit yang di dalamnya terkandung makna ẓāhir.”
“Apabila melihat pada literatur Ahlussunnah, tidak dipungkiri bahwa sebagian mufassir Sunnī juga membenarkan adanya makna ẓāhir (tersurat) dan ishārī (tersirat) dalam al-Qur´ān. Tetapi berbeda dari mereka, kelompok Shī’ah melampaui teoritisasi Sunnī dan mengklaim bahwa makna ẓāhir al-Qur´ān di sisi Allāh adalah dakwah kepada tauḥīd, kenabian dan risālah. Sedangkan makna bāṭinī-nya adalah seruan kepada wilāyah imāmah Ahlulbait. Dengan demikian, jelaslah bahwa di balik seruan Shī’ah kepada tafsīr bāṭinī adalah untuk mendoktrin seseorang agar menerima ideologi mereka,” papar Alumni Ma’had Aly An-Nuur Sukoharjo itu.
Selain melakukan penafsiran ayat dengan cara bāṭinī, Shī’ah juga sebelumnya telah menyatakan bahwa al-Qur´ān yang ada di tangan manusia telah mengalami taḥrif (penyimpangan penafsiran) pasca wafatnya Nabī. Sebenarnya, metode penafsiran bāṭinī dan tuduhan mereka terhadap taḥrif al-Qur´ān, hanyalah alasan yang sengaja dirancang untuk dapat menyelamatkan dan menutupi celah pada doktrin inti, yaitu imāmah.
Hal ini berawal dari kenyataan bahwa apa yang mereka serukan ternyata tidak didapati satu naṣ pun yang secara eksplisit menjelaskannya. Sehingga, sebagai dalihnya mereka hanya bisa berargumen dengan dalil-dalil yang tersirat sekaligus mengatakan bahwa ayat tentang imāmah telah dihapus oleh orang-orang yang memusuhi Ahlulbait (versi Shī’ah).
“Dengan demikian,tafsīr bāṭinī dan taḥrif al-Qur´ān adalah bentuk kebohongan dan tuduhan keji mereka terhadap para sahabat,” terang Furqan.
Kesesatan Tafsīr Bāṭinī Shī’ah
1. Menyimpangkan Makna Tauhīd Menjadi Kewalian Imāmah
Penyimpangan penafsiran atau taḥrīf ayat-ayat al-Qur´ān diarahkan untuk
menegaskan kedudukan imām dalam tauhīd. Abū Ja’far mengatakan: “Setiap kali Allāh mengutus seorang Nabī, pastilah dengan membawa kewalian kami dan berlepas diri dari musuh kami, sebagaimana tersebut dalam firmanNya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allāh (saja), dan jauhilah Ṭāġūt itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allāh dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
“Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” QS. Al-Naḥl: 36. Artinya, riwayat ini ingin menyatakan bahwa kedudukan wilāyah/imāmah para imām Shī’ah adalah sepadan dengan tauhīd dan menyembah Allāh, sedangkan para penentang iman adalah ṭāġūt yang wajib dijauhi. Sebenarnya, tidak ada kalimat atau kata yang mengarah pada pengertian iman, tapi inilah tafsīr Shī’ah.
2. Menyimpangkan Makna Allāh Menjadi Makna imām
Penyimpangan kedua adalah menafsirkan keesaan Tuhan dengan keesaan dalam mengangkat imām. Maka firman Allāh: “Janganlah kamu menyembah dua Tuhan; sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu
takut”, ditafsirkan oleh Abū Abdillāh dengan jangan engkau mengangkat dua imām karena imām itu hanya satu seorang.
3. Menyimpangkan Makna al-Faṣl Menjadi Para imām
Ihwal firman Allāh: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain
Allāh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allāh?Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allāh) tentulah mereka telah dibinasakan. “Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Al-Shūrā: 21). Lafal al-Faṣl pada ayat ini mereka tafsirkan dengan makna imām-imām Shī’ah.
4. Menyimpangkan Makna Masjid
Shī’ah memalingkan kata-kata masjid dalam al-Qur´ān menjadi para imām,
seperti yang terdapat pada ayat berikut: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allāh. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allāh.” (Q.S Al-Jinn: 18). Ayat ini ditafsirkan oleh mereka bahwa imām adalah dari keluarga Muhammad, maka jangan angkat seseorang selain mereka sebagai imām.
5. Menyimpangkan Makna Taubat
Jika sebelumnya kata-kata tertentu dalam al-Qur´ān diartikan sebagai imām, kini mereka menafsirkan makna taubat menjadi keluar dari kewalian Abū Bakar, ‘Umar dan ‘Uṡmān. Firman Allāh: “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arash dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.” (Q.S Gafir: 7). Kata taubat pada ayat tersebut ditafsirkan bahwa maksudnya adalah bertaubat dari kewalian tiga ṭāġūt (Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Uṡmān) dan Bani Umayyah. Sedangkan makna: “dan mengikuti jalan Engkau” maksudnya adalah kewalian ‘Alī.
Riwayat di atas dinisbatkan kepada Abū Ja’far Muhammad al-Bāqir. Padahal, al-Bāqir sendiri menafikan penisbatan tafsir semacam itu. Contoh-contoh di atas hanya sedikit dari sekian banyak penafsiran mereka yang menyesatkan. Sumber penafsiran mereka kebanyakan mengikuti corak bāṭinī (makna tersirat) yang diadopsi dari Abul Khaṭāb, Jābir al-Ju’fī, al-Muġīrah bin Sa’īd dan orang-orang sesat lainnya.
“Makna bāṭinī lebih utama dari makna ẓāhir. Apabila terjadi kontradiksi, maka ẓāhir naṣ ter-mansūkh oleh makna bāṭinī-nya. Ahlussunnah mengakui adanya makna tersurat (ẓāhir) dan tersirat (ishārī) dalam al-Qur´ān. Tetapi berbeda dari mereka, kelompok Shī’ah melampaui teoritisasi Sunnī dan
menyimpang dari penafsiran yang sahih,” tandas Furqan.
“Metode tafsīr bāṭinī adalah sebuah propaganda Shī’ah untuk menutupi celah pada doktrin inti mereka, yaitu imāmah. Dengan cara penafsiran seperti itu, mereka telah membuka pintu bagi kelompok-kelompok sesat lainnya untuk menafsirkan naṣ secara bebas. Sehingga, selayaknya bagi kaum Muslimin untuk menolak dan menghindari buku-buku tafsir mereka, serta memahamkan umat akan dampak bahaya dari metode penafsiran tersebut. Wallāhu Waliyut Taufīq,” tutupnya.