Surat Sejarah untuk Sukmawati

by
foto:istimewa

Oleh: Hadi Nur Ramadhan, Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamadun

“Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah“ (Presiden RI Ir. Sukarno).
“Sebelum mati peliharalah nama baik. Karena nama baik adalah umur manusia yang kedua”. (Buya Hamka- Ketua MUI).

Wartapilihan.com, Jakarta –Ibu Sukma yang saya hormati, surat ini saya tulis sebagai bentuk tausiyah saya sebagai sesama Muslim. Bu Sukma, juga mengetahui. Bahwasanya ibumu Fatmawati, adalah keluarga besar Persyarikatan Muhammadiyah. Sebuah gerakan dakwah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Yogyakarta. Salah satu landasan Muhammadiyah didirikan di Indonesia adalah melakukan gerakan amar ma’ruf nahyi mungkar. Jadi tugas amar ma’ruf nahyi mungkar bukan hanya tugas Front Pembela Islam (FPI), tapi tugas kita semua sebagai umat Islam, saling “watawa shawbil haq watawa shawbil shabr” (saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran) itulah ajaran yang paling terpenting dalam agama Islam.

Bu Sukma, tahukah engkau bahwasanya rahmat dan hidayah Allah SWT telah dilimpahkan kepada keluarga ta’at dan istiqamah dalam beragama yang tinggal di sebuah rumah bergandeng di Pasar Malro kota Bengkulu, Sumatera Selatan, keluarga suami istri yang sakinah (tenang dan bahagia dalam bimbingan ajaran Islam) itu bernama Hasan Din dan Siti Khadijah. Disaat tanggal 5 Febuari 1923, hari Senin siang, Ibumu Fatmawati dilahirkan. Tentu kakekmu Hasan Din memberikan nama putrinya bernama Fatimah agar kelak bisa dapat mengikuti jejak putri Rasulullah Saw, Fatimah Az-Zahra radhiyallahu anha.

Bu Sukma, pada tahun 1923, Kakekmu yang bernama Hasan Din, menjadi Sekretaris Muhammadiyah Bengkulu dan selaku pegawai yang mendapat gaji dari sebuah perusahaan modal Kolonial Belanda, suatu saat dipanggil oleh pimpinan Borsumy. Kakekmu diberi peringatan keras bahwa kegiatannya dalam gerakan Muhammadiyah tidak disukai oleh penjajah Kafir Belanda, lalu saat itu Kakekmu disuruh memilih “Tetap bekerja untuk Borsumy atau keluar dari perkumpulan Muhammadiyah”. Akan tetapi Kakekmu saat itu yakin bahwasanya yang memberikan rezeki di dunia ini bukanlah si Kafir Belanda itu, tetapi Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi Rezeki. Maka kakemu Hasan Din memilih keluar dari tempat kerjanya. Ia takut jika rezekinya malah tidak barakah alias istidraj (Allah SWT murka dan merendahkan derajat). Keyakinan Tauhid itulah yang dimiliki kakekmu Hasan Din dalam perjalanan hidupnya.

Bu Sukma, tahukah engkau disaat ibumu Fatmawati dilahirkan oleh Nenekmu, saat itu eyangmu yang bernama Nisa dan Datukmu yang bernama Abdul Ghafur hadir. Disaat itu Kakekmu Hasan Din yang taat pada ajaran agama Islam. Berdo’a dan memohon kepada Allah SWT dengan hati yang penuh pengharapan: “Ya Tuhan. hamba-Mu mengucapkan syukur kepada-Mu, karena Engkau telah memberi teman (baca: istri) hidupku. Ya Rabb, semoga dalam pernikahan kami dianugerahi anak yang sholeh dan berbakti kepada agama, bangsa dan tanah air. Jika tidak ada gunannya kepada agama, bangsa dan tanah air, hamba rela anakku laki-laki atau perempuan untuk tidak berumur panjang”. Pada saat itu juga menjelang kelahiran ibumu Fatmawati, Nenekmu Siti Khadijah bermimpi kejatuhan “Cinde” (semacam selendang yang disulam dengan benang emas) di atas kepalanya.

Bu Sukma, disaat ibumu Fatmawati, berumur 6 tahun, ia dan teman-teman sebayanya setiap sore sudah berada di surau untuk belajar mengaji membaca al-Qur’an kepada Datuknya Abdul Gaffar mulai dari Juz ‘Amma yang merupakan juz terakhir dari kitab suci Al-Qur’an Al-Karim. Ketika itu teman-teman sebayanya ada sekitar 15 orang yang mengikuti pengajian al-Qur’an. Selain mengajarkan al-Qur’an Datuk ibumu Fatmawati, juga mengajarkan bernyanyi berjudul “Islam Raya”. Bahkan ibumu Fatmawati saat itu sangat senang dan gembira menyanyikan lagu “Islam Raya” tersebut. Dirumah Kakek dan Nenekmu di Pasar Malro kota Bengkulu, Sumatera Selatan, ibumu Fatmawati setiap hari mendengar suara alunan adzan yang indah dan bersegera ia bergegas shalat berjama’ah di Surau. Suatu hari Kakekmu Hasan Din dan Nenekmu Siti Khadijah pergi ke Bukit Tinggi untuk mengikuti Kongres Muhamadiyah di Sumatera Barat. ketika itu Ibumu dititipkan oleh Tetangga yang baik dan Shaleh, keluarga Indo Belanda, Dia mempunyai kebiasaan membaca Al-Qur’an sehabis Shalat. Dia juga membaca al-Qur’an dengan logat Mesir. Dan disaat itu juga ibumu Fatmawati bertekad dan berdo’a agar diberikan kemampuan untuk dapat membaca, mendalami dan mengamalkan al-Qur’an Al-Karim.

Bu Sukma, tahukah engkau dikala ibumu Fatmawati masuk ke sekolah HIS (Holand Inlande School) milik persyarikatan Muhammadiyah di daerah Kebon Ros. Di saat itu juga Kakekmu Hasan Din menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, sedangkan Nenekmu Siti Khadijah sebagai Konsul Aisyiyah. Setiap tahun ketika itu Muhammadiyah mengadakan acara Konfrensi. Bahkan selama dua tahun menjadi murid di Sekolah Muhammadiyah, tiga kali ibumu Fatmawati mengikuti nenekmu Siti Khadijah ke Konfrensi Muhammadiyah. Subahannalah… Disaat itu ibumu Fatmawati selalu membacakan tilawah ayat-ayat suci Al-Qur’anul Karim. Bahkan kakekmu Hasan Din sebagai Konsul Muhammadiyah pernah memberikan sebuah hadiah sepeda kepada ibumu Fatmawati karena sering terlibat aktif pada acara Kongres Muhammadiyah. Bahkan ibumu Fatmawati cukup disegani oleh teman-teman sebayanya, mungkin karena seorang putri dari Pimpinan Pesyarikatan Muhammadiyah. Jadi tirulah ibumu Fatmawati yang selalu dekat dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an bukan kepada kidung, syair ataupun nyanyian.

Bu Sukma, di saat tahun 1936 kota Palembang mendapat sebuah kehormatan untuk menyeleranggarakan Kongres Besar Muhammadiyah. Gedung kongres acara itu berdekatan dengan sekolah ibumu Fatmawati. Murid-murid Muhammadiyah saat itu diminta untuk memeriahkan kongres. Ibumu Fatmawati ditunjuk untuk membacakan sari tilawah ayat-ayat suci al-Qur’anul Karim pada pembukaan Kongres tersebut. Di dalam kongres itu ibumu Fatmawati hadir dan bertemu dengan beberapa tokoh-tokoh mujahidah dakwah perkumpulan Aisiyah dari berbagai daerah. Ada ibu Siti Mundjiyah, ibu Siti Handjimah, ibu Siti Badilah Zubeir, dan para muslimah Aisiyah lainnya.

Di saat itu nenekmu Siti Khadijah dan ibumu Fatmawati diminta di pondok Pengurus Besar dari Yogyakarta yang tidak jauh dari gedung Kongres, untuk menambah semangat eratnya persaudaraan. Semua peserta tidur di atas lantai berlapis tikar. Subhanallah. Bahkan nenekmu adalah seorang Mujahidah Dakwah yang seakan-akan tidak pernah merasah capek dan lelah dalam mengurusi kegiatan perjuangan dakwah Islam. Pada waktu berlangsungnya Kongres Muhammadiyah itu, ibumu Fatmawati merasa meningkat menjadi seorang “dewasa”.

Bu Sukma, dikala ibumu tumbuh menjadi seorang gadis remaja muslimah yang berumur 15 tahun. Di saat itu keluargamu pindah ke Curup. Sebuah kota yang terletak dipertengahan jalan antara Lubuk Linggau dengan Bengkulu. Hawanya sangat sejuk, disitu tumbuh sayur mayur yang begitu segar. Kota itulah yang paling baik menghasilkan sayururan di daerah Sumatera Selatan. Kakekmu Hasan Din saat itu berdagang Sayur Mayur di Pasar Curup. Di saat itu ibumu Fatmawati tidak melanjutkan sekolah lagi. Ia dirumah membantu nenekmu dengan pekerjaan rumah dan mengisi waktu luang dengan membaca buku-buku umum dan keislaman, belajar menyulam, dan tadarus membaca al-Qur’an. Setiap mendengar “suara merdu alunan adzan” ibumu bergegas untuk melaksanakan shalat Maghrib berjama’ah. Tentu ibumu Fatmawati akan menangis dan kecewa berat melihat tingkah laku putrinya Sukmawati yang menucapkan “Aku tak tahu Syari’at Islam yang ku tau suara kidung ibu Indonesia sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan adzanmu”. Astagfirullah…

Bu Sukma, dalam sebuah buku yang cukup legendaris berjudul “Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno” yang ditulis oleh ibumu Fatmawati dan terbit tahun 1978, pada halaman 40 disitu dicantumkan sebuah foto bersejarah. Dalam foto itu terdapat gambar Kakekmu Hasan Din (Konsul Muhammadiyah) bersama-sama murid-murid pelajar HIS Muhammadiyah Bengkulu tahun 1935. Digedung inilah Nenekmu Siti Khadijah sering mengadakan dakwah Islam dan perjuangan kaum muslimah dalam melawan penjajahan Kolinial Belanda. Di dalam gambar foto tersebut banyak sekali aktifis perkumpulan dakwah Aisiyah yang memang berkerudung dan terlihat indah dan anggun. Tentu ibumu Fatmawati akan menangis dan kecewa berat melihat tingkah laku putrinya Sukmawati yang mengucapkan: “Aku tak tahu Syari’at Islam yang ku tau sari konde ibu Indonesia sangatlah indah lebih cantik dari cadar dirimu, gerai tekukan rambutnya suci sesuci kain pembungkus wujudmu”. Astagfirullah…

Bu Sukma, dikala Bendera Merah Putih yang ibumu Fatmawati jahit untuk dikibarkan setelah pernyataan proklamasi yang dibacakan oleh ayahmu Bung Karno, yang mengibarkan bendera saat itu adalah Pak Latief Hendraningrat dari PETA (Pembela Tanah Air). Tampak paling kiri dari ayahmu Bung Karno adalah Bung Hatta. Dan ibumu Fatmawati saat itu tampak hadir menggenakan kerudung bersebelahan dengan ibu SK. Trimurti. Tentu ibumu Fatmawati akan merasa sakit hati dan menangis melihat tingkah laku putrinya Sukmawati yang mengucapkan “Aku tak tahu Syari’at Islam yang ku tau sari konde ibu Indonesia sangatlah indah lebih cantik dari cadar dirimu gerai tekukan rambutnya suci sesuci kain pembungkus wujudmu”. Astagfirullah…

Bu Sukma, tentu engkau sudah membaca buku “Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno” yang ditulis oleh ibumu Fatmawati, pada halaman 272 disitu dicantumkan sebuah foto bersejarah. Dalam foto itu terdapat gambar ibumu Fatmawati dalam kunjungan ke kota Solo yang disambut meriah oleh ibu-ibu muslimah dari perkumpulan dakwah Aisiyah disana. Bahkan dalam berbagai cerita ibumu Fatmawati begitu dekat dengan para kaum muslimah seperti: Ibu Haji Agus Salim (Maatje Salim), Ibu Puti Nurnahar (Istri Mohammad Natsir), Ibu Aisiyah Hilal (pimpinan Aisiyah Yogya, tokoh Muslimat Masyumi dan putri KH. Ahmad Dahlan), Ibu Maisarah (pendiri Kowati HMI, murid Tuan Ahmad Hassan, dan cucu KH. Ahmad Dahlan) dan para muslimah-muslimah yang lain. Lanjutkanlah silaturahmi yang pernah dijalin oleh mereka selama di dunia. langkah itulah yang akan menambah amal kebaikan orang tua yang saat ini ada di alam barzah.

Bu Sukma, tentu engkau tahu dikala ibumu Fatmawati melahirkan dengan jerih payah lahir putra pertama tepat jam 05:00 WIB, pada waktu azan subuh sayup-sayup sampai terdengar ketelinga ibumu, terdengarlah tangis bayi yang baru saja lahir kedunia. Kemudian ayahmu Bung Karno kemudian masuk dan mendekatkan kemukanya ketelingan bayi yang baru saja menikmati dinginnya udara pagi. Dibacakannya kalimat thayibah (baik) ketelinga bayi itu “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Bayi yang lahir itu diberi nama Muhammad Guntur Sukarno Putra alias Osamu. Tentu ibumu Fatmawati akan merasa sakit hati, marah dan menagis melihat tingkah laku putrinya Sukmawati yang menucapkan “Aku tak tahu Syari’at Islam yang ku tau suara kidung ibu Indonesia sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan adzanmu”. Astagfirullah… bersegeralah engkau bertaubat kepada Alllah Subhanahu wa Ta’ala, Maha Pengampun dan Penerima Taubat.

Bu Sukma, ada salah satu cerita human interest dari salah seorang Jurnalis senior yang merupakan guru saya, namanya Bapak Badruzzaman Busyairi Allahu yarham (semoga Allah SWT merahmati-Nya), ia pernah bercerita kepada saya tentang sebuah “pertengkaran” Nyonya Fatmawati, istri Presiden Sukarno dengan Nyonya Puti Nurnahar, istri Perdana Menteri M. Natsir. suatu hari datang ke Jakarta tamu negara dari suatu negara sahabat. Protokol kedua negara sudah mengatur dan bersepakat supaya semua pertemuan dilaksanakan di Istana Presiden dan di Kantor Perdana Menteri. Tidak ada agenda kunjungan ke rumah Perdana Menteri.

Entah bagaimana, ketika tiba di Jakarta, tamu negara malah besikukuh “ngotot” hendak bertamu kerumah PM. M. Natsir. sebagai tuan rumah yang baik. Natsir tidak mungkin menolak keinginan tamu negara itu. Persoalan kembali muncul. Dirumah PM. Natsir ternyata tidak ada piring dan cangkir yang layak digunakan untuk menyuguhi tamu terhormat. Saat itu, Ny. Puti Nurnahar ingat, di Istana Presiden ada piring dan cangkir yang biasa digunakan untuk menjamu para tamu penting. Segera istri Perdana Menteri itu menelpon istri Presiden untuk meminjam peralatan yang diperlukan. Saat telepon tersambung. Maka dialog terjadi. Ny. Fatmawati menolak permintaan Ny. Puti Nurnahar. “Piring dan cangkir itu milik negara. Tidak boleh keluar dari istana”. Betapapun Ny. Puti Nurnahar meyakinkan bahwa peminjaman barang itu pun untuk kepentingan negara, Ny. Fatmawati bergeming. Alhasil, tamu negara itupun dijamu menggunakan peralatan makan dan minum seadanya. Bu Sukma, saya mendengar cerita human interest itu termenung. Alangkah mulianya para pendahulu kita. Untuk sekedar piring dan gelas milik negara, mereka rela “bertengkar”. Walaupun keduanya bersahabat dengan begitu baik.

Bu Sukma dan segenap para keluarga Yayasan Bung Karno, sepanjang sejarah pergerakan Indonseia ayahmu Bung Karno dan ibumu Fatmawati banyak berkawan dan bersahabat baik dengan para ulama dan pemimpin pergerakan Islam Indonsia, seperti: HOS. Tjokrominoto (Sarekat Islam), KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ustadz Ahmad Hassan (Persatuan Islam), Haji Rasul (Muhammadiyah), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari (Nadlatul Ulama), Haji Agus Salim (Sarekat Islam), M. Natsir (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia), Ki Bagus Hadikusuma (Muhammadiyah), KH. A. Wahid Hasyim, (Nadlatul Ulama), KH. Abdul Halim Majalengka (Persatuan Umat Islam), KH. Ahmad Sanusi Sukabumi (Persatuan Umat Islam), Buya Hamka (Muhammadiyah), Kartosuwiryo (Sarekat Islam), KH. Isa Anshary (Persatuan Islam), dan para tokoh pejuang Islam yang lainya. Sebagai anak yang shaleh dan berbakti kepada kedua orang tua yang telah tiada lanjutkanlah tali persaudaraan yang pernah orang tuamu jalin dengan baik selama di dunia. Baginda Kanjeng Rasulullah Saw pernah menyampaikan pesan sabdanya:“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” .

Bu Sukma, Insya Allah saya akan kembali menuliskan kembali kisah-kisah human interest pergaulan dan perkawanan baik antara orang tuamu bersama dengan keluarga Buya Hamka, keluarga Mohammad Natsir dan para tokoh Islam lainnya. Di akhir tulisan ini saya lampirkan sebuah buku legendaris karangan Buya Hamka Allahuyarham yang berjudul “ Kedudukan Perempuan Dalam Islam”. Konon buku yang terbit tahun 1960an ini adalah hadiah Buya Hamka kepada ibumu Fatmawati tatkala sedang mengalami ujuan hidup. Semoga buku ini mengingatkan ibu Sukma akan kedudukan peran dan tanggung jawab sebagai seorang muslimah. Buku ini juga membahas kisah perjuangan Siti Khadijah radhiyallahu anha dan Fatimah Az-Zahra radhiyallahu anha . Dimana dua nama tokoh besar ini diabadikan dalam nama kelurga besarmu, yaitu nenekmu Siti Khadijah dan ibumu Fatmawati.
Terakhir, ku do’akan selalu semoga Bu Sukma diberikan hidayah (bimbingan petunjuk) dan ilmu oleh Allah SWT dalam memahami ajaran Islam dengan baik dan diberikan keta’atan dalam menjalankan agama al-Haq (Kebenaran) yaitu Islam. sehingga terucap “Aku Tahu Syari’at Islam” itulah kunci kebahagian yang perlu engkau cari selama di dunia, sebelum ajal tiba menjemput nyawamu.

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memohon ampun, semoga apa yang kita lakukan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Amîn yârabbâl ‘alamîn.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *