Oleh M. Anwar Djaelani
Lewat puisinya, Sukmawati Soekarnoputri menista Islam. Sukmawati lalu tak hanya menuai kritik, bahkan banyak kalangan memidanakannya ke Polisi. Meski kemudian Sukmawati minta maaf, penegakan hukum harus terus jalan antara lain agar kita mendapat pelajaran.
Wartapilihan.com, Jakarta –Bermula pada 28/03/2018. Di Indonesia Fashion Week 2018, Sukmawati membaca puisi ciptaannya yang berjudul “Ibu Indonesia”:
Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar dirimu/ Gerai tekukan rambutnya suci/ Sesuci kain pembungkus ujudmu/ Rasa ciptanya sangatlah beraneka/ Menyatu dengan kodrat alam sekitar/ Jari-jemarinya berbau getah hutan/ Peluh tersentuh angin laut.
Lihatlah Ibu Indonesia/ Saat penglihatanmu semakin asing/ Supaya kau dapat mengingat/ Kecantikan asli dari bangsamu.
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif/ Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia.
Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/ Lebih merdu dari alunan adzanmu/ Gemulai gerak tarinya adalah ibadah/ Semurni irama puja kepada Ilahi/ Nafas doanya berpadu cipta/ Helai demi helai benang tertenun/ Lelehan demi lelehan damar mengalun/ Canting menggores ayat-ayat alam surgawi.
Pandanglah Ibu Indonesia/ Saat pandanganmu semakin pudar/ Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu/ Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada Ibu Indonesia dan kaumnya.
Sontak, puisi plus video bermasalah itu viral di media sosial. Tentu saja, siapapun yang faham agama dan peraturan perundang-undangan tak bisa menerima perlakuan Sukmawati terhadap Islam itu. Simaklah –sekadar contoh- respon pengurus dari dua ormas Islam terbesar di negeri ini. “PP Muhammadiyah Nilai Sukmawati Menistakan Syariat Islam” (www.hidayatullah.com 03/04/2018). “PWNU Jatim Adukan Sukmawati ke Polisi” (www.republika.co.id 03/04/2018).
Mari kita cermati puisi tersebut. Sukmawati menulis: Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar dirimu.
Sangat mengherankan, Sukmawati –mengaku sebagai Muslimah- tanpa malu mengumumkan dirinya, “Aku tak tahu syariat Islam”. Bahkan, seperti ingin menegaskan, kalimat “Aku tak tahu syariat Islam” itu dia ulang dua kali.
Bacalah penilaian Sukmawati: Konde Ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar dirimu. Maka, sulit untuk tak membayangkan bahwa Sukmawati sedang mengunggulkan konde ketimbang cadar (hijab) yang merupakan bagian dari syariat Islam. Maka, sungguh aneh, menyatakan diri tak tahu syariat Islam tapi berani mendudukkan cadar (hijab) dalam posisi lebih rendah ketimbang konde.
Aneh, sebab perbandingan itu jelas tidak pada tempatnya. Di satu sisi, cadar (hijab) adalah syariat atau ketentuan Allah yang wanita beriman harus menegakkannya. Sementara, konde adalah produk budaya lokal yang belum tentu semua wanita berkenan memakainya.
Sukmawati menulis: Lihatlah Ibu Indonesia/ Saat penglihatanmu semakin asing/ Supaya kau dapat mengingat/ Kecantikan asli dari bangsamu. Sangat boleh jadi, lewat kalimat simbolik “Saat penglihatanmu semakin asing”, Sukmawati sedang menyindir umat Islam karena agamanya disampaikan oleh seorang Nabi yang berasal dari jazirah Arab.
Sukmawati mengaku: Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/ Lebih merdu dari alunan adzanmu. Terasa, kalimat tersebut sungguh merupakan penghinaan. Bagaimana mungkin, adzan –panggilan suci bagi umat Islam untuk menegakkan shalat dan tatacaranya diatur oleh Rasulullah Saw- posisinya ditempatkan di bawah “Kidung Ibu Indonesia”?
Sulit untuk mengelak dari persepsi, bahwa Sukmawati tak suka mendengar adzan. Padahal kita tahu, kalimat “Alahu-Akbar” –sebagai kalimat pembuka adzan- telah sangat lama mewarnai perjuangan panjang bangsa Indonesia. Sekadar kenangan yang paling mudah diingat, lihatlah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dunia tahu, dengan kalimat “Allahu-Akbar” Bung Tomo berhasil menggugah semangat jihad para pejuang. Dunia-pun mencatat, bahwa di pertempuran itu pejuang Indonesia secara heroik menunjukkan jiwa kepahlawanannya yang menyejarah.
Sukmawati menulis: Pandanglah Ibu Indonesia/ ….. / Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu/ Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada Ibu Indonesia dan kaumnya.
Sukmawati seorang ibu. Termasuk bagian dari Ibu Indonesia-kah jika tanpa perasaan dia melecehkan Islam dan ajaran-ajarannya? Seperti apa pemahaman dia tentang Pancasila dan terutama dengan sila pertamanya?
Lalu, tahukah Sukmawati tentang Adab? Adab –kata Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas- adalah disiplin ruhani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Orang beradab tahu yang haq dan yang bathil.
Beradabkah Sukmawati jika dia tidak “Mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar”? Beradabkah Sukmawati jika yang dikerjakannya menimbulkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat? Beradabkah dia jika tak bisa membedakan yang haq dengan yang bathil?
Sukmawati telah membuat masalah besar. Lalu, menyusul banyaknya kritik dan pengaduan ke Polisi, Sukmawati meminta maaf pada 04/04/2018. Tapi, selesaikah persoalan?
Sungguh tidak pada tempatnya jika perkara delik biasa dapat ditutup karena si pelaku meminta maaf. Maka, benarlah sikap ini: “Sukmawati Minta Maaf, Pelapor Tetap Minta Proses Hukum Jalan Terus” (www.sindonews.com 04/04/2018). “Meski sudah minta maaf, Sukmawati kembali dilaporkan ke polisi” (www.merdeka.com 04/04/2018).
Ghirah, Ghirah! Sukmawati telah membuat masalah besar. Alhamdulillah, umat Islam meresponnya secara cepat dan tepat. Tampak, ghirah umat Islam masih terjaga kuat. Maka, mengingat ghirah adalah buah dari iman, semoga Allah istiqomahkan kita dalam Islam dan iman. []