Oleh : Mudrikatul Aminah, Mahasiswa PAI Universitas Islam Negeri Malang.
Problematika yang saat ini berkembang dikalangan masyarakat adalah semakin banyaknya kenakalan remaja, diantaranya tawuran, pelecehan seksual, mengkonsumsi barang-barang haram seperti minuman keras, sabu-sabu, narkoba, dll. Salah satu persoalan yang ramai diperbincangkan adalah hamil diluar nikah atau zina, yang mana hampir setiap daerah mengalami permasalahan tersebut. Pelaku yang berzina tersebut malah dikawinkan oleh keluarganya untuk menutupi aib keluarganya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah perkawinannya tersebut sah dan bagaimana nasab dari hasil zina tersebut?
Wartapilihan.com, Jakarta – Zina itu sendiri memiliki pengertian adalah perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai ikatan pernikahan atau perkawinan. Zina bukan hanya terjadi karena hubungan seksual akan tetapi segala perbuatan seksual yang dapat merusak kehormatan manusia itu juga dikategorikan perbuatan zina. Zina terbagi menjadi dua yaitu, pertama zina Mukhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Kedua, zina ghairu mukhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masih bujang atau pelaku zina yang belum pernah menikah.
Hukum zina adalah haram, sebagaimana dijelaskan dalah Qs. Al-Isra’ ayat 32 yang berbunyi:
سَبِيلًا وَسَاءَ فَاحِشَةً كَانَ إِنَّهُ ۖ الزِّنَا تَقْرَبُوا وَلَا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Mengenai persoalan apakah pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang sudah berzina tersebut sah atau diperbolehkan? Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para madzhab. Madzhab Hambali dan Maliki berpendapat tidak boleh menikahi perempuan yang hamil sebab zina. Baik yang menikahi tersebut laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili. Apabila keduanya tersebut menikah maka tidak boleh melakukan hubungan suami istri dan harus menikah kembali ketika anak dalam kandungan tersebut telah lahir ke dunia. Pendapat tersebut berdasarkan Firman Allah Qs. Ath-Thalaq ayat 4 yaitu :
ۚ حَمْلَهُنَّ يَضَعْنَ أَنْ أَجَلُهُنَّ الْأَحْمَالِ وَأُولَاتُ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Para ulama madzhab Hambali dan Maliki juga berhujjah berdasarkan hadis Rasulullah saw, yang artinya “tidak boleh melakukan hubungan dengan wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan.”
Sedangkan menurut kalangan madzhab Syafii berpendapat bahwa menikahi wanita yang hamil karena zina itu diperbolehkan, karena air mani yang ada dalam wanita tersebut tidak mempunyai kemuliaan sehingga dianggap tidak ada. Jadi, menikahinya diperbolehkan.
Selanjutnya, mengenai anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari persetubuhan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan tindak pidana kejahatan. Penjelasan mengenai anak hasil zina menurut pendapat empat madzhab Fikih yaitu Syafi’iyyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Malikiyah yang mengatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah sebab adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain sebab tersebut, maka tidak ada akibat hubungan dengan nasab. Dengan penrnyataan tersebut berarti anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai atau ayah biologisnya. Sebagaimana dikutip dalam sabda Rasulullah saw:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapat kerugian.” (HR. Bukhari 6749 dan Muslim 1457).
Secara harfiah, firasy adalah tempat tidur atau ranjang. Maksudnya adalah istri yang pernah disetubuhi suaminya atau budak wanita yang telah disetubuhi tuannya, keduanya dinakaman firasy karena istri atau tuan tersebut tidur bersamanya. Sedangkan maksud hadis tersebut yaitu anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena pezina itu bukan suaminya, maka anaknya tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya dan dia (pezina laki-laki) hanya mendapat kekecewaan dan penyesalan saja.
Penjelasan dari hadis tersebut merupakan pendapat dari mayoritas ulama bahwa anak dari hasil zina tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya, alias anak tersebut adalah anak tanpa bapak. Sehingga anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga dari ibunya. Apabila wanita yang hamil dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap dinasabkan kepada ibunya. Sedangkan status anak untuk suami yang menikahinya adalah robib (anak tiri). Jadi, hukum yang berlaku padanya adalah anak tiri.
Dalil lain yang menegaskan hal tersebut adalah hadis Nabi Muhammad saw dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan:
يَرِثُ وَلا بِهِ يَلْحَقُ لا فَإِنَّهُ بِهَا عَاهَرَ حُرَّةٍ مِنْ أَوْ ,يَمْلِكْهَا لَمْ أَمَةٍ مِنْ كَانَ مَنْ أَنَّ: وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النبي قَضَى
“Nabi saw memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya…” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Jadi, secara jelas telah diterangkan bahwa nasab anak dari hasil zina itu tidak bisa dinasabkan kepada bapak biologisnya. Anak tersebut akan dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya. Wallahu a’lam. II