Jangan sampai statistik dipakai menghibur elite dan opini tapi rakyat tambah sengsara.
Oleh: Fahri Hamzah
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korkesra
Wartapilihan.com, Jakarta — Beberapa hari ini kita sedang mendengar siaran statistik dari BPS tentang data kemiskinan terbaru tahun 2018. Sembari menunggu detail dari survey BPS, saya ingin mengomentari beritas seperti ini:
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4118156/sri-mulyani-pertama-dalam-sejarah-kemiskinan-ri-di-bawah-10
Apakah benar kemiskinan semakin menurun? Secara statistik ya. Tapi kita jangan juga mudah terhibur oleh statistik. Statistik itu ilmu yg kompleks, membacanya juga harus lebih jeli. Selain itu kembalilah ke realitas sekeliling kita dan bertanyalah, apakah benar orang miskin semakin berkurang?
Hari-hari belakangan ini kita menghadapi realitas kenaikan harga, itu tidak bisa kita bantah. Kenaikan BBM dan listrik terutama pada masa pemerintahan Pak Jokowi membuat harga sembako terus naik, hari demi hari. Kelompok yang kaya mungkin tidak terasa, tetapi kelompok menengah ke bawah, dampaknya luar biasa.
Tetapi kenapa statistik kemiskinan kita berbicara beda? Saya kasih catatan tentang cara mengukur orang miskin di negeri kita. Orang dikatakan miskin jika pengeluaran (bukan pendapatan) ada dibawah garis kemiskinan (GK). GK terdiri dari GK makanan dan non-makanan tetapi GK makanan lebih mendominasi perhitungannya.
BPS mencatat GK per maret 2018 sebesar Rp 401.220,- per bulan. Kalo dibagi 30 hari jadi sebesar Rp 13.777,-. Ini ada batas orang dikatakan miskin atau tidak miskin. Jadi kalo ada tetangga kita pengeluarannya dlm sehari per kepala Rp 14.000,- saja. Itu tidak miskin. Tidak tertangkap oleh statistik sebagai orang miskin.
Padahal 14ribu sehari di kehidupan nyata dapat makan apa? Berapa kali kita makan? Buat ongkos ke sekolah gimana? Bagi yang kerja buat ongkos transport berapa? Apa cukup?? Oleh statistik yang diyakini pemerintah anda tidak miskin. Tidak perlu bantuan. Tidak perlu kebijakan untuk anda. Bukankah ini tragis?
Itulah mengapa, kita jangan mudah terhibur dgn statistik! Jangan mudah tepuk tangan yang membuat kita lalai dan kehilangan kesadaran bahwa ekonomi kita sedang bermasalah kesejahteraan rakyat kita dipertaruhkan.
Kalau bicara kesejahteraan rakyat, masih banyak indikator kesejahteraan kita yang berbicara lain dan dalam kondisi memprihatikan. Misalnya saja tingkat upah riil buruh yang terus merosot, nilai tukar petani semakin menurun. Padahal mayoritas SDM kita ada di sektor pertanian dan buruh.
Selama 4 tahun Pemerintahan Jokowi, upah nominal buruh tani naik dari Rp 43.808,- perhari ke Rp 50.213,- perhari. Tetapi, Upah riilnya justru turun dari Rp39.383,- menjadi Rp 37.711,-.Ini berarti kenaikan upah nominal tidak mampu mengatasi inflasi (kenaikan harga-harga kebutuhan pokok) yang dihadapi buruh tani.
Di era pemerintah Pak Jokowi Nilai Tukar Petani yang mencerminkan daya beli petani juga mengalami penurunan khususnya dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini. Tentu ini sebuah paradoks, karena dalam waktu yang sama tingkat kemiskinan diklaim mengalami penurunan. Padahal sumber utama kemiskinan adalah kemiskinan pedesaan yang sumber pencaharian utamanya adalah pertanian
Inilah yang Perlu disampaikan secara jujur sebab rakyat tidak berubah nasibnya hanya karena ada statistik yang memotret kemiskinan secara sumir. Pemerintah barus berani menganbil terobosan untuk mengukur kemiskinan dan kesejahteraan rakyat secara nyata.
Penyembunyian keadaan rakyat dengan menggunakan statistik dapat di-katagorikan sebagai kebohongan yang disamarkan. Praktik ini harus dihentikan. Saya menonton sebuah video presiden mengarakan agar BPS mengadakan survey kemiskinan setelah pembagian Raskin (beras miskin).
Sekarang ia bernama RASTRA (beras sejahtera). Kita tahu bahwa penghitungan kemiskinan kita menggunakan konsumsi kalori. Maka dengan sekali bagi beras kemiskinan bisa hilang. Tega sekali pemerintah kita.
http://katadata.co.id/berita/2018/03/14/bantuan-non-tunai-meleset-pemerintah-kembali-beralih-ke-beras-rastra
Cukuplah, jangan ada lagi dusta seperti ini. Kalau kota miskin ya miskin saja. Mari kita miskin bersama-sama. Jangan sampai statistik dipakai menghibur elite dan opini tapi rakyat tambah sengsara. Wallahualam.