Rencana impor garam yang diputuskan pemerintah memperlihatkan penanganan yang serba instan. Tidak memberikan efek penyelesaian menyeluruh terkait persoalan garam.
Wartapilihan.com, Jakarta –etelah keputusan melakukan impor beras, kini Pemerintah juga meniatkan untuk mengimpor garam industri sebanyak 3,7 juta ton demi memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
Garam impor ini rencananya akan dimanfaatkan oleh industri yang bergerak petrokimia, kaca, lensa, hingga makanan dan minuman. Keputusan ini dihasilkan dari rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (19/1).
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan memang sudah seharusnya pemerintah mengimpor garam untuk industri. Kebijakan ini harus dilakukan demi memenuhi kebutuhan garam untuk industri. Adapun garam konsumsi, menurut Luhut, masih aman dengan pasokan dari dalam negeri.
Luhut menjelaskan, pemerintah kemungkinan baru bisa tidak mengimpor garam setelah dua tahun mendatang. Pemerintah saat ini sedang menunggu proyek yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dalam harmonisasi teknologi untuk pengembangan garam di Madura.
Impor garam sendiri dibutuhkan lantaran musim panen garam diperkirakan berlangsung pada bulan Juni 2018. Sementara kebutuhan garam hanya bisa terpenuhi hingga Februari 2018, dari 1,2 ton hasil produksi garam nasional hingga minggu pertama November 2017.
Selain itu, juga dikarenakan tidak semua industri bisa menggunakan garam rakyat. Namun, bagaimana pun impor garam merupakan respon kebijakan pemerintah yang tidak tepat, karena tidak memberikan insentif terhadap petambak.
Ini yang menjadi lingkaran setan. Yang menjadi sebab kualitas garam dalam negeri, terutama garam dari petambak, kurang bagus. Karenanya, banyak pihak, mengritisi langkah pemerintah ini. Apalagi impor garam, bertentangan dengan semangat pemanfaatan hasil laut, yang sudah dicanangkan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Hal ini juga memperlihatkan pemerintah belum bisa mengendalikan tata kelola garam dalam negeri. Banyak faktor yang mempengaruhi belum kuatnya tata kelola garam dalam negeri. Selama ini, kebutuhan garam industri memang tidak bisa dipenuhi oleh produksi sendiri. Produksi garam industri nasional sekitar 3 juta ton per tahun. Sementara kebutuhannya mencapai 4 juta ton.
Produksi nasional sendiri juga belum bisa memenuhi kebutuhan standar industri, seperti dari segi mutu, sehingga kebutuhan garam industri dan garam farmasi dipenuhi dari impor.
Karena itulah, meski kebutuhan impor hanya sekitar 1 juta ton, ternyata angka impor bisa terjadi hingga 2 juta ton. Hal ini yang kemudian membuat garam industri merembes ke pasar garam konsumsi. Dampaknya membuat harga garam anjlok, petambak garam merugi, dan tak merangsang perluasan ladang garam.
Sebagai negara dengan panjang pantai 81 ribu kilometer, seharusnya Indonesia bisa memenuhi kebutuhan garamnya sendiri. Namun produksi dalam negeri saat ini yang kebanyakan dipenuhi oleh petambak garam, memang belum bisa mengimbangi kebutuhan industri yang meminta spesifikasi produk tertentu.
Sementara produksi garam kita juga masih menggunakan teknologi sederhana. Di sisi lain, lokasi produksi garam juga tak ideal, jauh dari pusat distribusi, berada di wilayah dengan curah hujan dan tingkat kelembapan yang tinggi.
Tingkat salinasi atau kadar garam lautnya juga rendah dan kotor, karena terletak dekat muara sungai. Semua itu menyebabkan produktivitas, kualitas, dan daya saingnya rendah.
Karena itulah, pemerintah perlu segera mendorong peningkatan produksi garam yang berkualitas. Ini bisa dimulai dengan membuka sentra-sentra produksi garam baru yang luas di daerah yang paling ideal.
Sentra garam yang baru harus memiliki curah hujan rendah, berpantai landai, tak ada muara sungai agar kadar garam laut tinggi, memiliki musim kemarau panjang, dengan tingkat kelembaban yang sangat rendah dan evaporasi yang tinggi. Seperti di Madura, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Juga di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Teluk Palu.
Produksi garam dalam negeri juga perlu memiliki daya saing tinggi, sementara produksinya juga harus efisien. Sehingga perlu penggunaan teknologi maju dan mekanisasi.
Pemerintah juga tak bisa menghindari kenyataan bahwa petani garam adalah salah satu komponen penting dalam mekanisme produksi garam dalam negeri. Karena itu, kerja sama pengembangan industri garam bisa melalui program inti plasma. Sehingga investor yang masuk bisa mendorong mekanisasi dan meningkatkan kesejahteraan petambak.
Rizky Serati