Setiap menjelang musim pilkada dan pemilu, selalu muncul wacana tentang Islam dan politik hendaknya dipisahkan. Bukankah Al-Quran dan Hadits adalah petunjuk hidup, baik di ranah privat maupun publik?
Wartapilihan.com, Jakarta –Bagi bangsa Indonesia, tahun 2018 dan 2019, adalah tahun politik. Spirit 212 yang telah menyadarkan umat Islam akan pentingnya ukhuwah, rupanya, membuat banyak pihak merasa khawatir. Mereka mencoba dengan berbagai cara untuk memisahkan umat Islam dari “melek” politik. Tujuannya jelas, partai-partai ber-asas Islam harus kalah dalam ajang pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota DPR/DPRD dan DPD, serta Presiden.
Adalah Yayasan Mardiko Indonesia, sebuah lembaga badan pelayanan gereja, Kamis(14/12) lalu menggelar seminar nasional dengan tajuk “Agama dalam Pemilu 2019; Membangun atau Meruntuhkan?” di Hotel Pullman, Jakarta. Di antara pembicara, dua orang menolak simbol-simbol Islam di bawah ke ranah politik. Mereka adalah Imdadun Rahmat, mantan Ketua Komnas HAM dan Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta. Dalam forum tersebut, Imdadun berpendapat, sebaiknya agama dipisahkan dari politik. “Ke depan, tidak boleh ada lagi ayat-ayat dalam kampanye politik,” katanya.
Musdah Mulia juga setali tiga uang dengan Imdadun. “Tidak ada ayat yang melarang perempuan menjadi pemimpin, kalaupun ada hadits, itu pun lemah,” lancangnya. Hadits yang lemah tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
Apa yang diutarakan oleh Imdadun maupun Musdah bukanlah hal yang baru. Kaum Sekuler-Liberalis, baik yang tua maupun dari kalangan muda, terus menerus meneriakkan agama tidak boleh dibawa-bawa ke ranah politik.
Petunjuk Hidup
Jika kita beli motor atau mobil yang baru, selalu mendapatkan “Buku Petunjuk” yang menerangkan seluk-beluk kendaraan tersebut. Salah satunya adalah berkaitan dengan bahan bakar yang digunakan. Jika dalam “Buku Petunjuk” disebutkan bahwa bahan bakarnya adalah bensin, maka bahan bakar tersebut yang mesti kita pakai. Bagaimana jika bahan bakarnya diganti dengan gas atau minyak tanah, misalnya? Tentu saja kendaraan yang telah diprogram dengan bahan bakar bensin tersebut tidak akan bisa jalan. Awalnya mogok, kelanjutannya rusak.
Begitu pula tentang hidup ini. Kita diciptakan oleh Allah, lalu diberi “Buku Petunjuk” berupa Al-Quran oleh Sang Pencipta. Dengan buku petunjuk itulah, ditambah dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa hadits-hadits shahih, maka hidup kita akan tertuntun sesuai dengan aturan Ilahi. Dan dalam Al-Quran itu, semua ranah kehidupan sudah ada aturannya, termasuk bagaimana memilih seorang pemimpin.
Al-Quran melarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (QS. Ali Imran: 28; An-Nisa: 144; Al-Maidah: 57). Bagaimana jika aturan Ilahi itu dilanggar? Allah ta’ala memvonis Munafiq kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin(QS. An-Nisa: 138-139), Zalim(Qs. Al-Maidah: 51), dan Fasiq(QS. Al-Maidah: 80-81).
Al-Quran dan Hadits Shahih
Jika Musdah menyoal tidak adanya dalil dari Al-Quran dan Hadits shahih yang melarang perempuan menjadi pemimpin, mari kita kaji lebih jauh argumentasinya.
Al-Quran surah An-Nisa ayat 34 menginformasikan kepada kita:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم (سورة النساء: 34)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Adalah Ibnu Katsir, dalam tafsirnya memberi penjelasan, bahwa, “Maksudnya adalah seorang laki-laki pemimpin bagi perempuan. Dialah kepalanya, pemimpinnya dan pemberi keputusan serta mendidiknya jika bengkok.” Mengapa? “Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan). Semua Nabi yang diutus ke dunia adalah para lelaki.
Musdah juga menyoal bahwa hadits tentang larangan perempuan menjadi pemimpin itu lemah. Mari kita tengok hadits yang dinarasikan oleh Abu Bakrah:
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Ketika ada berita yang sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (Persia) menjadi raja, Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Suatu kaum tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan”. ” (HR. Imam Bukhari : 4425). Ini hadits shahih.
Atas dasar itu para ulama bersepakat bahwa syarat seorang kepala negara atau presiden atau khalifah hendaknya seorang laki-laki.
Sikap Seorang Mukmin
Di dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 59, Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman untuk mentaatiNya dan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada persoalan, maka kembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita ingin selamat di dunia dan akherat, maka, selain mengikuti perintah Ilahi, petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mutlak kita ikuti. Dalam surat Al-Hasyr ayat 7, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (سورة الحشر: 7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
Begitulah ketentuan Ilahi, Sang Maha Pencipta. Ia memerintahkan mahluk-Nya mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya, agar selamat dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia sebgai bekal menuju kampung akherat. Wallahu A’lam.
Herry M. Joesoef