Perang Badar merupakan perang besar pertama yang dialami oleh kaum Muslimin. Jumlah yang tidak berimbang antara musuh dan pasukan Islam membuat peristiwa ini dianggap sebagai ujian keimanan besar bagi umat Rasulullah SAW. Hari meletusnya perang Badar sendiri disebut Yaum Al-Furqan, hari pembeda antara golongan yang Haq (Islam) dan Bathil (kaum kafir).
Wartapilihan.com, Jakarta –Betapa tidak, 315 orang kaum Muslimin harus berhadapan dengan seribu pasukan kafir. Hebatnya, pasukan yang dikomandoi oleh Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Mush’ab bin Umair ini bisa meraih kemenangan secara telak.
Perang Badar memang menarik dikaji setiap masa. Tidak hanya proses peperangannya, sebab-sebab terjadinya pun memunculkan beragam interpretasi. Dalam diskursus sirah Nabawiyah, wacana yang berkembang terkait alasan Madinah (kaum Muslimin) menghadang kafilah dagang Quraisy yang menjadi sebab timbulnya perang Badar cukup beragam. Dari mulai, 1) Quraisy merampas harta kaum Muslimin Muhajirin di Makkah sebelum peristiwa hijrah, 2) Memperlemah Quraisy yang hendak memperkuat ekonominya untuk memerangi Madinah, 3) Merebut jalur dagang hijaz, sekaligus menegaskan hegemoni Madinah di jalur dagang tersebut, hingga 4) Status Madinah dan Quraisy Makkah sedang berperang: darul Islam (Madinah) versus darul kufur/darul harb (Makkah), sehingga dibenarkan jika Madinah menyerang kafilah dagang Quraisy. Wacana-wacana tersebut tentunya bisa saling memperkuat satu sama lain, di samping memperkaya khazanah analisis-interpresi kita terhadap diskursus sirah menjelang peristiwa Perang Badar, tanggal 15/17 bulan Ramadhan 2 H.
Tampaknya dari pembacaan akan kitab-kitab sirah ada riwayat yang sering terlupakan. Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadban menyatakan kritik dan pandangannya tentang wacana ini, karena kebanyakan wacana sirah hanya mengandalkan riwayat dari Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam untuk membicarakan sebab-sebab terjadinya perang Badar Al-Kubra. Padahal seharusnya riwayat dalam Sirah Ibnu Hisyam harus digabungkan dengan riwayat kitab-kitab hadits shahih yang menjadi rujukan. Syaikh Munir Al-Ghadban dalam Manhaj Haraki juz 1 menyatakan, bahwa dalam riwayat Sunan Abu Dawud justru al-mala Quraisy telah menulis surat ancaman kepada Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pembesar Madinah kala itu. Surat ancaman agar warga Madinah mengembalikan Muhajirin ke Quraisy. Quraisy mengancam Abdullah bin Ubay dengan kata-kata, “Kalian telah melindungi orang-orang kalangan kami (Quraisy) dan kami bersumpah dengan nama Allah agar kalian (warga Madinah) turut memeranginya atau mengusirnya, atau kami akan mengerahkan seluruh kekuatan kami untuk membunuh prajurit kalian dan menawan wanita-wanita kalian.” (HR Abu Dawud, Manhaj Haraki juz 1) Tentu saja pribadi semacam Abdullah bin Ubay lebih setuju jika kaum Muhajirin dari Quraisy itu diperangi atau diusir. Selain dianggap telah mengambil kepemimpinan di Madinah, Muhajirin juga dianggap ‘buronan’ kerabat mereka sendiri di Makkah.
Sedangkan surat Quraisy yang ditujukan kepada kaum Muhajirin di Madinah juga berupa ancaman. “Janganlah kalian bangga karena telah berhasil meninggalkan kami menuju Yastrib, kami akan datang kepada kalian untuk memberangus kalian dan menghancurkan ladang-ladang kalian di tengah-tengah negeri kalian sendiri.”
Lalu ada juga riwayat tambahan, “…Ketika berita itu sampai kepada Abdullah bin Ubay dan musyrik Madinah (nantinya menjadi kaum munafiq), mereka berkumpul untuk merencanakan memerangi Rasulullah.”
Maka melihat faktanya, justru serangan-serangan dari Madinah ke kafilah dagang Quraisy memang diawali ancaman perang dan pembunuhan dari Quraisy sendiri. Tentu sebagai kepala negara dan pemerintahan sangat rasional jika Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin Muhajirin untuk menyerang Quraisy terlebih dahulu. Mengingat menyerang adalah pertahanan terbaik. Wacana-wacana yang telah ada pun makin memperkuat alasan serangan itu, terlebih jika serangan-serangan terhadap kafilah dagang Quraisy dalam rentang tahun pertama hingga menjelang perang Badar tersebut untuk memperlemah ekonomi Makkah sebagai darul harb yang senantiasa akan menghancurkan Islam. Sekaligus pula sebagai upaya mempertegas Madinah sebagai pemilik hegemoni jalur dagang hijaz. Wallahu’alam.
Ilham Martasyabana, penggiat sirah Nabawiyah