Selamatkan Indonesia (Serial Cerita Politik 4)

by
foto:istimewa

Malam itu Akal dan Budi naik Grab Car pulang ke Depok. Budi menerangkan isi buku Amien Rais, Selamatkan Indonesia, yang diterbitkan PPSK tahun 2008.

Wartapilihan.com, Jakarta — Menurut Amien Rais, kondisi Indonesia saat ini seperti ‘kondisi pada zaman Belanda’ terutama dalam masalah kemandirian bangsa. Kata Amien dalam bukunya ‘Selamatkan Indonesia’ : “Apa yang kita alami dan saksikan dalam beberapa dasawarsa terakhir abad 20 dan dasawarsa pertama pada abad 21 sesungguhnya, dalam banyak hal, merupakan pengulangan belaka dari apa yang kita alami pada zaman penjajahan kompeni dan pemerintahan Belanda di masa lalu.

Perbedaan antara tempo dulu dengan masa sekarang hanyalah dalam bentuk atau format belaka. Dahulu pendudukan fisik dan militer Belanda menyebabkan Indonesia kehilangan kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan politik, ekonomi, sosial, hukum dan pertahanan. Sedangkan sekarang ini pendudukan fisik dan militer asing itu secara resmi sudah tidak ada dan tidak kelihatan. Tetapi sebagai bangsa kita telah kehilangan kemandirian, dan sampai batas yang cukup jauh, kita juga sudah kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal, bangsa Indonesia tetap tergantung dan meggantungkan diri pada kekuatan asing.”

Lebih lanjut Amien menjelaskan : “Kedaulatan ekonomi yang telah kita gadaikan pada kekuatan asing itu hakekatnya telah melemahkan kedaulatan politik, diplomatik, pertahanan dan militer
kita…Kekuatan-kekuatan korporasi telah mendikte bukan saja perekonomian nasional, seperti kebijakan perdagangan, keuangan, perbankan, penanaman modal , kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non migas, dan lain sebagainya tetapi juga kebijakan politik dan pertahanan.

Amien mengingatkan bagaimana organisasi bisnis VOC sejak awal abad ke 17 telah mencengkeram Indonesia. Kemudian penjajahan itu diteruskan pemerintah Belanda, diselingi penjajahan Jepang beberapa tahun, hingga sampai 1949. Kenapa VOC begitu mudah dan berjaya mengeruk kekayaaan dan menguasai bangsa Indonesia? Pertama, menurut Amien,

Pemerintah Belanda memberikan dukungan politik sepenuhnya. VOC diberi hak monopoli dagang di Hindia Timur (Nusantara) dan dibantu menyingkirkan para pesaing dari Eropa seperti Inggris dan Belanda. Sebuah Piagam Pemerintah Belanda diterbitkan yang bukan saja memberikan monopoli dagang pada VOC, tapi juga wewenang untuk menduduki wilayah manapun yang dikehendaki dan menjajah penduduk asli sesuai dengan tuntutan pasar dan kebutuhan politik VOC sendiri.”

Tokoh Muhammadiyah ini menambahkan: “Dukungan militer juga melekat
dalam hampir semua kegiatan VOC. Mustahil VOC mampu membuka wilayah baru untuk diduduki dan penduduknya dijajah tanpa kekuatan militer sebagai ujung tombak. Para jenderal yang menjadi pimpinan VOC seperti Jan Pieterzoon Coen (1619-1629), Anthony van Diemen (1636-1645), dan Joan Maetsyker (1653-1678) adalah tokoh-tokoh militer yang menggerakkan kekerasan dalam rangka membunuh dan memperbudak penduduk setempat untuk mencapai tujuan dagang VOC. Yang dilakukan oleh JP Coen malah mendekati kategori genosida.” Pernyataan JP Coen yang terkenal adalah “Janganlah putus asa, jangan biarkan musuh-musuhmu bebas, karena Tuhan bersama kita.”

Tahun 1669 VOC telah menjadi organisasi bisnis terbesar di dunia dengan memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat 10.000 prajurit dan pembayaran dividen sebanyak 40 persen. Kata Amien : “Kekayaan yang demikian dahsyat untuk ukuran jaman itu tentu dapat diperoleh karena kerjasama korporatokratik dari tiga pilar utama, yakni VOC sendiri sebagai korporasi raksasa, kekuatan politik Pemerintah Belanda, dan kekuatan militer Belanda yang selalu siap untuk menggebuk setiap rintangan yang dihadapi VOC…

Untuk mempertahankan imperialisme dan kolonialisme mereka, negara-negara Barat memerlukan komponen-komponen yang berupa perbankan, dukungan kaum intelektual, media massa dan dukungan elite nasional bangsa yang terjajah. Hakekatnya korporatokrasi pada awal abad 21 ini merupakan turunan belaka dari korporatokrasi empat abad silam.”

Dukungan imperialisme Belanda ini juga diperkuat terutama oleh kaum intelektual. “Snouck Hugronje (1857-1936) adalah salah satu contoh intelektual-orientalis yang mengabdikan kehidupannya untuk kepentingan imperialisme Belanda. Ia seorang sarjana terkemuka di bidang peradaban dan bahasa-bahasa Oriental dan menjadi tangan kanan Gubernur Jenderal JB Van Heutsz. Ia menasehati Van Heutsz bagaimana cara memerangi rakyat Aceh. Atas dasar nasehatnya Perang Aceh menelan korban 50.000 sampai 100.000 nyawa rakyat Aceh dan jumlah yang lebih besar menderita luka-luka. Contoh lainnya adalah Charles Olke Van der Plas (1891-1977) yang pernah menjadi Gubernur Jawa Timur. Van der Plas dikenal sebagai tukang adu domba antar golongan dan kelompok bangsa Indonesia untuk memperlemah perlawanan Indonesia terhadap Belanda.”

Bila dicermati mengapa VOC dan Pemerintah Belanda dapat menjajah Indonesia, tentu karena elit penguasa saat itu, katakanlah para raja tidak semuanya melakukan perlawanan bersama rakyat melawan kaum imperialis itu. Justru sebagian mereka berkolaborasi dengan penjajah. Sebagai missal, Amangkurat I dan II yag menggantikan Sultan Agung sebagai Raja Mataram justru mempermudah jatuhnya sebagian besar Jawa Barat ke tangan VOC pada akhir abad 17. Ketika Amangkurat II digantikan oleh Pamannya, Pakubuwono I, konsesi tanah yang lebih luas lagi diberikan pada pemerintah Belanda. Pada 1755 wilayah Kerajaan Mataram telah mengkerut kecil. Seluruh pulau Jawa telah jatuh ke tangan Belanda, kecuali Yogyakarta dan Surakarta, itupun dipecah menjadi dua kerajaan, kesultanan dan kasunanan.

Akibat penjajahan VOC yang lama itu, menurut Amien, mempengaruhi struktur mental anak bangsa. Membongkar mentalitas inlander ternyata tidak mudah. Contohnya, banyak pemimpin bangsa yang ketakutan dan panas dingin ketika Presiden Bush akan mampir Indonesia pada akhir 2006. Pengamanan yang diberikan pada presiden Bush yang sudah tidak popular itu, kata Pak Amien, ‘sungguh berlebih dan agak memalukan’.

“TIdak ada negara manapun di dunia yang menyambut Presiden Bush seperti maharaja diraja, kecuali Indonesia di masa kepemimpinan Susilo B Yudhoyono. Seolah Indonesia telah menjadi vazal atau negara protektorat AS,”tulis Amien.

Bank Dunia dan IMF

Amien Rais juga mengritik keras Bank Dunia dan IMF dalam bukunya “Selamatkan Indonesia”. Menurut Amien, peran IMF sangat negatif dalam keruntuhan ekonomi Afghanistan 2001. Rusia ekonominya makin parah karena resep IMF dan kini setelah semua hutangnya dilunasi ke IMF, ekonominya makin maju.

“Di negara-negara Afrika peran IMF dan WB juga dinilai destruktif. Sangat terasa proses pemelaratan negara-negara Afrika gara-gara percaya dengan hutang yang diberikan oleh kedua alat imperialisme ekonomi Barat itu. Kesehatan rata-rata penduduk Afrika makin buruk, pendidikan makin amburadul dan standar kehidupan umumnya makin melorot, karena hal-hal ini tidak diunggulkan dalam SAP ala IMF dan WB,”tulis Amien. Hugo Chavez, presiden Venezuela bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Bank Dunia dan IMF adalah alat imperialism Amerika (tools of US Imperialism).

Di dalam negeri Amien mengritik keras kontraktor-kontraktor minyak asing yang menguasai negeri ini. Misalnya Blok Cepu yang diserahkan kepada Exxon Mobil untuk pengelolaannya sampai 2036. Dradjad Wibowo menghitung seandainya Blok Cepu itu dikelola sendiri oleh Pertamina, sementara Exxon Mobile semacam mitra yunior (sesuatu yang realistis, masuk akal dan yang seharusnya), Pertamina akan memperoleh tambahan asset senilai 40 milyar dolar. Itu didasarkan asumsi harga minyak US$50 per barel dan gas US$3 per mmbtu. Cadangan minyak di Blok Cepu minimal 600 juta barel sedangkan cadangan recorevable gas paling sedikit 2 trilyun standar kaki kubik (TCF). Pertamina bisa mendapat dana segar katakanlah US$6-8milyar untuk keperluan ekspansi usaha dan segala kegiatan yang bermanfaat bagi bangsa.

Marwan Batubara dan kawan-kawan telah menerbitkan buku “Tragedi dan Ironi Blok Cepu: Nasionalisme yang Tergadai (2006)”. Dalam buku setebal 288 itu Marwan dkk menyebut kebodohan sengaja sehingga “Kabinet Indonesia Bersatu berpihak pada kepentingan Exxon Mobil”. Sehingga Kwik Kian Gie dalam cover belakang buku itu berkomentar :
“Jika setelah 60 tahun merdeka tidak ada orang Indonesia yang mampu mengeksploitasi gas Cepu, maka kemungkinannya hanya ada dua : semuanya sudah disuap Exxon Mobil atau semuanya masih bermental budak/inlander.”

Dalam masalah perbankan, Indonesia juga sudah bertekuk lutut pada kaki tangan internasional. Bank Indonesia tidak membatasi kepemilikan asing terhadap perbankan, karena investor atau badan hukum asing boleh memiliki hingga 99 persen saham bank di Indonesia. Padahal negara lain membatasi di bawah 50 persen. Filipina membatasi pemilikan asing hanya sampai 51 persen, Thailand 49 persen, India 49 persen, Malaysia 30 persen, China 25 persen, Vietnam 30 persen. “Negara-negara Asia itu sadar kalau pihak asing diperbolehkan menguasai perbankan nasional mereka, ekonomi mereka akan tersandera oleh asing dan mereka tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. Amerika Serikat, pemimpin puncak globalisasi dan liberalisasi ekonomi saja, membatasi kepemilikan asing di perbankan nasionalnya hanya sampai 30 persen,”tegas tokoh Muhammadiyah ini.

Mentalitas inlander kita juga nampak jelas dalam pengelolaan tambang baik migas maupun non migas. Freeport Mac Moran di Papua, sejak 1967 menambang emas, perak dan tembaga di propinsi paling timur yang kaya raya dengan sumber daya alam. Kontrak Karya I diperbarui pada 1991 untuk masa setengah abad, sehingga Kontrak Karya II baru berakhir pada 2041. “Bayangkan tatkala generasi saya, Yudhoyono, Jusuf Kalla dan seanteronya sudah lama jadi almarhum, Freeport masih terus menguras habis kekayaan alam Papua,”jelas Amien.

Korporasi Amerika itu menurut Amien, melakukan beberapa kejahatan sekaligus. Pertama, kejahatan lingkungan : tailings atau buangan limbah yang setiap hari berjumlah 300 ribu ton telah menjadikan sistem sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa mengalami kerusakan total. Tidak ada lagi ikan dan tanda-tanda kehidupan lainnya disana. Kedua, Freeport melakukan kejahatan perpajakan. “Ketika pada pertengahan 1990-an saya menulis Freeport tidak membayar pajak seperti seharusnya karena hanya menjadi pembayar pajak terbesar nomor delapan atau sembilan, tiba-tiba setelah tulisan saya di harian Republika, pada tahun berikutnya Freeport menjadi pembayar pajak urutan pertama,”tegas Amien dalam buku monumentalnya “Selamatkan Indonesia”.

Ketiga, kejahatan etika dan moral dilakukan oleh Freeport dengan memberi uang sogokan kepada oknum-oknum polisi dan militer dengan dalih administrative costs, security costs dan dalih-dalih lainnya. Harian New York Times 27 Desember 2005 menulis sangat panjang tentang berbagai hal negatif mengenai Freeport. Koran Amerika itu bahkan menyebut nama-nama perwira-perwira menengah dan tinggi TNI dan Polri yang mendapat kucuran dolar dari Freeport. Di samping 35 juta dollar dikeluarkan Freeport untuk ikut membangun infrastruktur militer, 70 Land Rovers dan Land Cruisers diberikan pada para komandan.

Keempat, kejahatan kemanusiaan. Tujuh suku Papua yang punya hak ulayat digusur begitu saja dari tanah warisan turun temurun dan diantara mereka meninggal karena peluru satgas Freeport. Chris Ballard, antropolog Australia yang pernah bekerja di Freeport dan Abigail Abrash, pembela hak asasi manusia dari Amerika, memperkirakan sekitar 160 orang terbunuh antara 1975-1997 di daerah pertambangan dan sekitarnya.

Kelima, kejahatan menguras kekayaan Indonesia lewat manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan misterius dan rahasia. Kekayaan Freeport sesungguhnya jauh lebih besar daripada kekayaan yang diungkap dalam laporan resminya. Kalau Freeport dapat mengakuisisi Philip Dodge Corp dengan membayar tunai 70% darin 25,6 milyar dolar, tentu kekayaan Freeport sesungguhnya jauh lebih besar daripada apa yang dilaporkan ke Indonesia, sebagai pemilik dan pemangku kekayaan alam di Papua itu.

000

Akhirnya, Amien Rais mengutip dua kalimat penting tentang Bank Dunia dan IMF ini :
“Mereka (kaum imperialis) dulu menggunakan peluru dan tali… sekarang mereka menggunakan Bank Dunia dan IMF (They used to use the bullet or the rope…now they use World Bank and the International Monetery Fund).” (Jesse Jackson)

“IMF bertindak bagaikan anjing pengintil Departemen Keuangan Amerika (IMF acts as a lap dog of the Use Treasury).” (The New York Times).

Mencermati isi buku yang dibacakannya sahabatnya itu, Akal jadi bertanya: “Pada 12-14 Oktober 2018 nanti kan ada Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia Tahun 2018 atau International Monetary Fund-World Bank Annual Meetings 2018 (IMF-WB 2018). Kenapa pemerintah sekarang kok mengundang Bank Dunia dan IMF? Dan malahan menganggarkan dana 800 milyar untuk acara itu, ada apa?”

“Wajib ganti presiden 2019,” jawab Budi sambil tersenyum. (bersambung) II

Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *