Perang Jamal kerap jadi momok untuk sebagian aktivis dakwah saat berbicara tentang sejarah Islam, karena rentan diserang oleh orientalis dan kaum liberal dengan narasi yang menyudutkan sistem politik dan kesatuan masyarakat Islam.
Wartapilihan.com, Jakarta –Perang yang terjadi tahun 36 H ini pada umumnya sering diinterpretasikan sebagai peperangan antara kelompok Ummul Mukminin Aisyah dan kelompok Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Memang, kedua belah pihak yang terlibat perseteruan merupakan pasukan Khalifah Ali dan rombongan Aisyah, namun jangan dilupakan, pergerakan yang dilakukan kelompok Aisyah dalam berkampanye hingga ke Bashrah awalnya merupakan usaha ishlah di samping mencari pelaku pembunuh Khalifah Utsman bin Affan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang atau pun pemberontakan.
Dalam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad jilid 6, h. 52; dan h. 97, misalnya ada riwayat tentang anjing hauab yang menyalak saat rombongan Aisyah singgah di telaga Bani Amir, Aisyah ingin pulang namun segera dicegah oleh Zubair dengan argumentasi bahwa Aisyah merupakan sosok yang tepat untuk ishlah. Perjalanan rombongan Aisyah ke Bashrah jelas bukan untuk membentuk pergerakan pemberontak. Diriwayatkan Al-Hakim, Mustadrak, jilid 3 h. 366-367, tentang Zubair yang dicegah pulang saat menghindari pecahnya perang, oleh putranya sendiri Abdullah bin Zubair, Zubair beralasan ia ikut rombongan Aisyah karena ingin ishlah bukan ingin perang.
Jika memahami atsar-atsar Ath-Thabari, Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk, jld 4, no. 343-348, 348-353, daerah Bashrah, selain Mesir dan Kufah, merupakan wilayah yang menjadi sarang para pembunuh Utsman, tiga wilayah tersebut merupakan tempat berkembangnya kaum pemberontak dan gagasan-gagasan Abdullah bin Saba serta kaum Sabaiyah.
Di pihak lain, pergerakan pihak Khalifah Ali yang keluar dari Madinah kerap kali diinterpretasikan untuk memerangi dan meredam pergerakan pasukan Aisyah, hal ini keliru, karena pihak Ali sebenarnya bukan hendak berangkat ke Bashrah, melainkan ke Kufah. Tetapi saat mereka tiba di Zaqar mereka mendapat kabar tentang kerusuhan di Bashrah. Ali khawatir di Bashrah akan ada fitnah yang lebih besar dari fitnah yang terjadi di masa Utsman bin Affan, sebagaimana riwayat dari Khalifah bin Khayyath, Tarikh Khalifah bin Khayyath, h. 146; dan Ath-Thabari, Shahih Tarikh Ath-Thabari, jld 3, ed. Bahasa Indonesia, h. 703 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012).
Kisahnya dimulai saat rombongan Aisyah hendak memasuki kota Bashrah, pihak Aisyah di hadapan warga Bashrah hendak menjelaskan kewajiban untuk bersegera menangkap dan menghukum kelompok pembunuh Utsman bin Affan, pihak Aisyah berupaya menggalang dukungan rakyat Bashrah, sebagaimana dipahami dari atsar kitab Khalifah bin Khayyath, h. 146, serta Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Nihayah Masa Khulafaurasyiddin ed. Bahasa Indonesia (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 456-459.
Ada dua riwayat terkenal dari Al-Ahnaq bin Qais yang tinggal di Bashrah ketika mengetahui rombongan Aisyah tiba di pintu gerbang Bashrah, dalam Ath-Thabari, Shahih Tarikh Ath-Thabari, jld 3, atsar no. 258-259. Tidak ada ungkapan-ungkapan dari Aisyah dan tokoh-tokoh dalam rombongannya yang mengarah pada pergerakan pemberontakan terhadap Khalifah Ali.
Wilayah Bashrah sendiri memang salah satu wilayah di mana kelompok pembunuh Utsman berada. Demikianlah, pergerakan rombongan Aisyah ke Bashrah hanya untuk ishlah melalui penjelasan hukum serta menggalang dukungan umat agar bisa mempengaruhi pemerintah Ali untuk bersegera menangkap para pembunuh Utsman bin Affan, sebagaimana dipahami dari kitab Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Nihayah Masa Khulafaurasyiddin ed. Bahasa Indonesia (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 456-459 dan Ath-Thabari, Shahih Tarikh Ath-Thabari, jld 3, atsar no. 258-259.
Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam